Sebagai seorang pria pasti akan sangat saat mengetahui perempuan yang sangat kita sayangi mendapatkan perlakuan tidak senonoh dari orang lain. Ibarat kata muka kita dilempari kotoran. Tentu wajar kalau aku naik pitam. Darah ditubuhku seakan mendidih dibuatnya. Ingin rasanya kubuat lelaki bangsat itu babak belur. Tapi, perempuan memang sangat berhati lembut. Ia mampu menyejukkan hati yang panas. Begitulah perempuan diciptakan dengan sifat welas asihnya.
Laasya juga marah saat mengetahui sosok yang menerornya dengan pesan senonoh itu. Ia sangat terkejut dan kecewa setelah mengetahui sosok yang dihormatinya menganggap dirinya serendah itu.
“Sudahlah, Nu. Buat apa dendam. Cukup tahu saja karakter dia seperti apa. Berteman secukupnya, bergaul sewajarnya.” Laasya mengemasi peralatan tarinya ke dalam tas ransel.
“Tanganku sudah tak tahan untuk memberi pelajaran pada orang itu, Sya!”
“Buat apa? Yang rugi nanti kamu, bisa kena pasal nanti. Aku tidak mau kamu capek-capek mengurusi orang yang bermuka dua seperti dia.”
Aku tak bisa berkata-kata lagi. Laasya cukup dewasa menghadapi masalah seperti ini. Laasya memberikan ponsel yang baru dua hari kemarin diambilnya. Ia sudah menangkap semua bukti pelecehan yang ia dapat dari Pandu. Jika Pandu tetap macam-macam pada Laasya, Laasya akan menempuh cara yang lebih keras dengan melibatkan pihak penegak hukum.
Aku tak mengira sosok yang selalu mencampuri urusanku dengan Laasya itu bisa berbuat sebodoh ini. Kukira ia sosok pria baik-baik karena tampilan luarnya juga sangat meyakinkan. Ternyata isi kepalanya lebih kotor dari yang kukira. Benar-benar kita tak bisa menilai buku hanya dari sampulnya. Begitu juga dalam menilai seseorang, jangan lihat dari tampilan luarnya saja.
Kami berdua menikmati waktu sore untuk mengambil baju seragam milik Laasya. Sebuah rumah jahit sederhana menjadi tujuan kami. Di situ Laasya berlangganan menjahitkan baju-baju yang digunakan untuk menyempurnakan aksi panggungnya. Sosok wanita ramah menyambut kedatangan kami. Laasya sangat akrab dengan perempuan berbadan tambun itu. Ia meminta Laasya untuk mencoba baju yang sudah dijahitnya. Mataku mengamati baju-baju yang dibuat wanita itu. Walaupun terlihat sederhana, jahitannya cukup ramai. Beberapa baju sudah digantungnya di almari kaca untuk menunggu pemiliknya. Sedangkan di meja ada setumpuk kain yang harus disulapnya menjadi sebuah baju yang indah.
“Ah, kamu memang sangat cocok dengan baju seperti ini,” puji wanita itu saat melihat Laasya keluar dari kamar ganti. Laasya tersenyum mendapat pujian itu. Aku hanya terpana melihat tubuh Laasya yang cantik dengan balutan baju itu. Cukup normal sebagai seorang pria untuk mengagumi tubuhnya yang proporsional. Wajar saja jika banyak lelaki bangsat yang menginginkan tubuh Laasya.
“Siapa Mas Ganteng ini, Sya?” tanya wanita itu saat mengecek baju itu di tubuh Laasya.
“Calon suami,” jawab Laasya sambil merapikan bajunya. Aku mendongak kepadanya. Betapa berbunga-bunga hatiku mendengar ucapan Laasya. Wanita itu ber-oh ria. Kurasakan sebuah embun yang menetesi hatiku yang gersang akibat keraguan yang menjalar akhir-akhir ini. Wanita yang masih sibuk melakukan fitting terakhir itu meminta Laasya untuk menjahitkan baju pernikahan kami kepadanya. Laasya hanya mengiyakan permintaan penjahit andalannya itu. Kurasa wanita itu juga patut menjadi penjahit baju sepenting itu setelah melihat-lihat hasil jahitannya yang rapi.
Laasya mencurigaiku karena selalu senyum-senyum sendiri. Ia takut aku kena jin nakal. Cubitan kecil berusaha ia berikan agar aku sadar.
“Kamu kenapa sih?”
“Aku tuh takut, dari tadi kamu senyam-senyum sendiri!” gerutu gadis itu dengan wajah cemberut.
“Aku terlalu senang, Sya. Akhirnya…”
“Akhirnya apa?”
“Setelah beberapa waktu dalam keraguan. Akhirnya kamu bisa mengambil sikap.” Gadis yang sedang berjalan di depanku itu berbalik. Ada senyum yang mengembang di bibirnya. Bibir yang selalu ingin kucium, tapi selalu kutahan diri ini. Aku berusaha menjaganya sebaik mungkin. Ia terlalu berharga, aku akan menunggu melakukan itu saat waktunya sudah tepat.
“Sudah waktunya aku membuat keseriusan dalam sebuah hubungan, Nu. Setelah kuliahku selesai, mari kita mulai kehidupan kita bersama-sama,” ucapnya sambil menebar senyum manis itu. Mataku seakan tersihir oleh senyumannya. Debaran jantungku seakan mengguncang segala bagian tubuhku. Seperti anak kecil Laasya sesekali berlarian. Kami menyusuri taman untuk menghabiskan waktu. Kami juga berdiskusi untuk menyiapkan persiapan pementasan. Sesekali aku mendengar Laasya menyanyikan langgam yang akan dibawakannya. Ia memintaku mengoreksi nada-nada yang masih kurang pas. Di telinga kami mengantung sebuah earphone. Kami mendengarkan beberapa langgam yang terputar di ponselku. Sesekali Laasya berguman menirukan suara sang penyanyi. Sudah lama sekali kami tak melakukan hal ini. Ternyata hal kecil seperti ini mampu membuat kenangan manis di antara kami.
Iyon menghubungi Laasya. Ada kabar mengejutkan yang membuat Laasya terperanjat.
“Hah! Mak Sri dan Paklik Haryanto ke rumah sakit?” tanya Laasya memastikan.
“Iya, tadi aku sempat ke rumahmu. Mbah Putri bilang kalau Bude Sri dan Pakde Haryanto sempat gontok-gontokan. Dia bilang kalau Bude tidak terima Pakde Hadi memaksakan kehendak padamu, Mbak. Pakde Haryanto sudah berusaha membujuknya, tapi Bude Sri tetap ingin bertemu dengan Pakde Hadi,” jelas Iyon dari seberang.
“Hah! Kacau, bisa ada perang dunia di rumah sakit, kalau dua orang itu bertengkar,” desah Laasya.