Pasukan Kyy bergerak cepat di bawah langit malam yang gelap, hanya diterangi oleh bintang-bintang dan obor-obor yang berkedip samar di kejauhan. Suasana mencekam merayap di tengah pasukan, semua merasa waktu semakin menipis. Mereka berkejaran dengan bayangan, dengan musuh yang tak kasat mata di belakang dan ancaman yang nyata di depan. Kyy tahu, Nara sedang mendekati kamp mereka dengan rencana liciknya.
Sementara itu, di dalam pikiran Kyy, perhitungan terus berputar. Nara memang cerdik, dan jebakan ini menunjukkan seberapa jauh musuhnya itu bersedia mengorbankan wilayah demi kemenangan yang lebih besar. Tetapi Kyy tidak mau menyerahkan pertempuran begitu saja. Ia merencanakan sesuatu yang lebih rumit, sebuah langkah balasan yang mungkin tidak terduga oleh Nara.
“Apa kau yakin kita akan tiba tepat waktu, Jenderal?” tanya Rana, yang menunggang kuda di samping Kyy, suaranya terdengar gugup meskipun ia berusaha menyembunyikannya.
Kyy menoleh ke arah Rana, matanya bersinar tajam di bawah sorotan obor. “Waktu selalu melawan kita, Rana. Tapi bukan soal waktu yang kita miliki, melainkan apa yang kita lakukan dengannya. Jika kita bergerak dengan cermat, kita masih punya peluang.”
**
Di sisi lain, pasukan Nara bergerak dalam bayang-bayang. Di tengah malam yang semakin pekat, mereka melintasi hutan lebat yang nyaris tak tersentuh. Suara langkah kaki mereka teredam oleh dedaunan basah, sementara Nara memimpin dengan tenang di depan. Tatapan dingin dan penuh perhitungan terlihat jelas di wajahnya, meski malam begitu gelap.
“Jenderal,” bisik salah satu komandan di sampingnya, “pasukan kita hampir sampai di dekat kamp Kyy. Apa yang akan kita lakukan jika mereka tiba lebih cepat?”
Nara tersenyum dingin, sorot matanya penuh keyakinan. “Mereka tidak akan tiba lebih cepat. Mereka mengira aku menunggu di Tebas, dan perjalanan pulang mereka akan melelahkan. Ketika mereka kembali, pasukanku sudah menghancurkan kamp mereka. Kita akan mengejutkan mereka sebelum mereka bisa mengatur strategi.”
Namun, jauh di lubuk hati Nara, ada sedikit kegelisahan yang tak diungkapkannya. Ia tahu betul siapa yang dihadapinya: Kyy bukanlah lawan biasa. Ia tidak meremehkan kecerdasan musuhnya itu, tetapi di medan perang, siapa pun bisa membuat kesalahan. Dan kali ini, Nara berniat memanfaatkan setiap celah.
**
Ketika Kyy dan pasukannya akhirnya mencapai pinggiran kamp mereka, suasana terasa hening. Terlalu hening. Tidak ada gerakan, tidak ada suara teriakan dari prajurit jaga. Semuanya terasa aneh dan salah. Kyy menghentikan kudanya, lalu mengangkat tangannya sebagai isyarat untuk berhenti. Pasukannya segera berhenti di belakangnya.