Angin kencang berhembus di atas medan pertempuran saat fajar menyingsing, membawa aroma tanah basah dan darah yang mengering. Pasukan Kyy dan Nara berhadap-hadapan di sekitar Gerbang Utara, di mana pertempuran telah berlangsung sengit sejak matahari terbit. Benteng yang megah itu bergetar di bawah kekuatan serangan tanpa henti dari Nara, namun pertahanan yang cermat dan taktik yang brilian dari Kyy terus menahan gelombang demi gelombang pasukan musuh.
Di balik dinding benteng, Kyy berdiri dengan mata tajam mengamati setiap pergerakan di medan perang. Hujan mulai turun perlahan, menciptakan suasana mencekam. Pasukan Nara, yang terkenal karena keganasan dan kekuatan mereka, telah menyerbu dinding dengan segala macam senjata, tetapi Kyy tahu bahwa ini belum serangan pamungkas.
“Kita harus bersiap. Nara pasti menyiapkan sesuatu yang lebih besar,” kata Kyy pada Rana yang berdiri di sampingnya. Rana, dengan wajah penuh kecemasan, mengangguk.
“Jenderal, pasukan kita sudah kelelahan. Jika Nara melancarkan serangan besar berikutnya, saya takut kita mungkin tak mampu bertahan.”
Kyy tidak mengalihkan pandangannya dari medan perang. “Justru di saat seperti ini, kita harus menggunakan kecerdikan. Kekuatan tidak selalu menentukan kemenangan.”
Kyy kemudian memberi isyarat kepada komandan-komandan pasukan untuk berkumpul. “Serangan frontal Nara tidak bisa dianggap remeh, tapi dia terlalu percaya diri. Kita akan membiarkan dia menyerbu lebih dalam. Ketika waktunya tiba, kita akan menjebak mereka di tengah benteng.”
Rana terkejut. “Kita akan membiarkan mereka masuk ke dalam?”
“Ya,” jawab Kyy dengan tenang. “Itu yang diinginkan Nara. Dia ingin kita berpikir kita tak punya harapan. Namun, di saat mereka berpikir mereka menang, kita akan menyerang dari dua sisi.”
**
Di sisi lain medan pertempuran, Nara berdiri di atas bukit kecil sambil menatap Gerbang Utara. Pasukannya telah menyerbu tanpa henti, dan sekarang mereka hampir berhasil menembus dinding pertahanan. Senyum tipis tersungging di wajahnya.
“Kyy bertahan dengan baik, seperti yang kuduga,” gumam Nara. “Tapi dia pasti tahu bahwa ini adalah akhir. Tidak ada yang bisa menghentikan serangan terakhir ini.”
Nara kemudian memberi isyarat kepada komandan pasukannya. “Siapkan pasukan utama. Kita akan mengirim seluruh kekuatan kita dalam satu serangan besar. Tidak ada lagi strategi. Hancurkan mereka, rebut benteng ini, dan akhiri semua ini.”
Pasukan Nara segera bersiap untuk serangan terakhir mereka. Ribuan prajurit berkumpul di sekitar benteng, siap menyerang dengan kekuatan penuh. Hujan kini turun lebih deras, seolah alam pun ikut menyaksikan klimaks dari pertempuran besar ini.