Setelah makan siang dan hujan berhenti mengguyur bumi, Zack diantar seorang santri senior berkeliling. Mengenal lingkungan Kanzul Ulum dari dekat. Ia melihat kelas-kelas berbentuk panggung dari bambu yang beberapa bagiannya diukir secara artistik. Di ujung kelas-kelas itu terdapat petak-petak kolam ikan. Berbeda dengan atmosfer di dalam saung, murid-murid yang bekerja secara berkelompok dalam tugas pemijahan ikan nila dan kompos organik terlihat saling bekerja sama dan tidak dibeda-bedakan menurut jenis kelamin. Namun demikian, dua orang guru laki-laki dan perempuan mendampingi murid-murid tersebut sepanjang jam praktik berlangsung.
"Setengah dari murid-murid itu hanya datang ke madrasah untuk belajar bekerja, dan membantu perekonomian keluarga." Santri senior menjelaskan.
"Mereka hebat, Kang Santri." kata Zack menunjukkan dua jempol.
"Mau bagaimana lagi, Kang. Kami orang desa harus menerima keadaan secara ikhlas..."
Lamat-lamat Zack mendengar suara riuh rendah di ketinggian perbukitan, kira-kira setengah mil dari kelas-kelas Kanzul Ulum, dimana Zack kini berada. Santri senior itu menjelaskan jika seorang putri Pak Ustadz yang bernama Khaira Latifah adalah pecinta kuda yang tahu bagaimana mengembang-biakkannya. Setelah dua tahun gadis itu mulai membuat festival pacuan kuda serupa Pacoa Jara di Bima.
”Boleh kita ke sana?” pinta Zack menyembunyikan rasa penasaran.
Setelah dua puluh menit berjalan kaki melewati tanjakan dan pemandangan indah sepanjang perbukitan, Zack tiba di sebuah padang rumput yang luas. Sebanyak dua belas ekor kuda jenis lokal bertaruh dengan waktu yang dimenangkan oleh joki cilik dengan kuda warna hitam pekat yang memiliki surai memikat. Dan seorang gadis yang telah memenuhi otak Zack sejak empat jam yang lalu, masuk arena dengan bibir tersenyum bangga mendekati bocah laki-laki tersebut. Ketika Zack bertanya apa hadiah bagi sang pemenang, si santri senior menggeleng lucu. ”Menanam seribu pohon. Itulah arti kemenangan dalam perlombaan ini, yang berarti kemenangan bagi ibu pertiwi.”