Bandung
08:38 PM
-Ayyara Yuan Nisaka-
“Menikahlah dengan saya.”
Aku kembali mengingat-ingat perkataan lelaki yang baru pertama kali bertemu dengan ku. Aku menggeleng sambil menepuk-nepuk kepala. Sial, aku terus memikirkannya.
Benar-benar gila lelaki itu, dan akan semakin gila jika aku menerima tawaran konyolnya.
Memang akhir- akhir ini aku sedang bermasalah dengan umur. Bagaimana tidak? Umur 29 masih sendiri dan tidak punya pacar? Katanya, lelaki lebih suka perempuan muda di banding perempuan tua (biar ku benahi) perempuan dewasa yang memiliki pemikiran matang.
“Ah Tuhan… kenapa dia datang di saat yang mendesak?” Menatap langit-langit kamar mungkin dapat meredam semua pemikiranku tentangnya.
Pihak yang sedang berkuasa sekarang adalah ego ku. Mempertahankan posisi dan pertahanan agar tidak goyah. Pemikiranku kalah sekarang, aku tidak suka berada pada tengah-tengah lingkaran, menjadi pusat dari semua hal, aku lebih suka berada di tempat diam tak bergerak tanpa banyak cahaya. Ya, itu tempat ku selama ini, tempat yang selalu aku jadikan markas memperkokoh semua yang telah di bangun selama bertahun-tahun.
Rigor mortis (stiffness of death)
Namun, salah satu tanda kematian dalam ego ku muncul, kekuatan/ kekerasan tubuh ku menipis. Semua terdampar di pemikiranku, yang hanyut kini telah berlabuh, yang berlayar pun begitu.
Quo vadis? (where are you goig?)
Kemana kamu pergi? Ayyara yang selalu memikirkan setiap hal tanpa mau mengalah pada ego, yang selalu membiarkan semua argument tanpa mau mengambil keputusan atau kesimpulan dari semua argument yang ada.
Namun sekarang?
Seperti yang semua orang ketahui, semakin gelap suatu ruangan, maka semakin besar cahaya yang harus di ciptakan. Begitupun dengan keadaan ku saat ini, otak ku kembali berputar, mengingat kejadian hari ini, hari terpanjang yang pernah aku lalui.
*-*
8 jam sebelumnya.
Aku menarik nafas dalam-dalam dan berniat untuk membuangnya. Ini hal yang baru aku lakukan dalam hidupku, datang ke psikolog. Aku tidak gila! Sungguh. Tapi rasanya akan semakin menggila jika aku memendam semuanya sendiri tanpa ada solusi tepat untuk menangani semua ini.
“Dengan Bu Ayyara?” Tanya seorang resepsionis dengan gelungan rambutnya.
Aku anggukan kepalaku. “ Saya sudah ada janji hari ini.”
Resepsionis itu tersenyum. “Mari, Pak Mada sudah menunggu.”
Aku diarahkan untuk melewati lorong kaca dengan taman di baliknya, semua ruagan di dominasi dengan warna putih, cocok untuk seorang dokter dengan bayaran uang puluhan juta setiap satu jam konsultasi. Pikirku.
“Saya antar sampai sini, silahkan masuk. Semoga semua berjalan dengan lancar.” Dia tersenyum lalu sedikit menunduk.
Aku pikir seorang psikolog adalah seorang yang sudah berumur dengan uban tumbuh di kepalanya, juga garis-garis halus di wajah berkarisma. Namun semua pikiran itu hilang saat melihat psikolog yang aku datangi untuk pertama kalinya.
Ahmada Reynand Faeyza, lelaki berusia 33 tahun yang sudah menyandang tiga gelar dalam hidupnya. Setelah lulus SMA ia mendapatkan beasiswa di luar negeri, dan melanjutkan pendidikan S1 nya di The Unyversity Of British Colombia, lulus dengan nilai terbaik dan menyandang gelar Bachelor Of Sciens (B.S.). lalu lanjut ke jenjang S2 Psikologi di University Of Pennsylvania, dengan gelar Master Of Science (M.S.), pernah menjabat sebagai HRD di salah satu perusahaan IT terbesar di dunia sebelum kembali mengambil gelar Doctor Of philosophy di New York University.
Dengan jejak-jejak prestasinya yang tak bisa di hapal satu persatu. Sebagai seorag manusia, dia terlihat luar biasa. Siapa yang tak kenal seorang psikolog muda bernama Ahmada Reynand Faeyza? Hanya segelintir orang yang bisa dekat dengan orang seperti dia, pikirku.
Untuk orang seukuaran ku, mungkin tak ada artinya bagi dia. Uang yang ku punya mungkin hanya sebatas harga celana dalamnya. Dan ya! Hari ini aku akan bertemu dengan orang yang dulu ku anggap hanya dalam imajinasi ku.
“Silahkan duduk.” Dia membawakan secangkir teh.
Aku duduk di atas sofa biru yang menghadap langsung pada meja dengan satu pot tanaman kaktus.
“Apa yang bisa saya bantu?” Tanya nya.
Tak tahu harus memulai nya dari mana, karena aku rasa masalah ini sudah berlangsung sejak aku mesih kecil. Dan tak mungkin semua aku ceritakan itu semua dengan hanya memiliki waktu sedikit. Aku hanya diam, menatap tanaman kaktus itu sedikit membuatku berpikir. Sampai gila rasanya harus berbagi cerita dengan orang lain.
“Kamu tidak butuh orang seperti saya.” Ada jeda yang ia beri, aku mengangkat kepalaku untuk menatapnya, meminta jawaban atas apa yang ia ucapkan tadi.
“Kamu hanya butuh seorang teman untuk bercerita, mau anggap saya sebagai teman kamu? Apapun, cerita saja.”
Apa boleh aku menangis disini? Di hadapannya?
Sial! Tanpa aku izinkan air mata ini sudah turun. Dalam diam semua kejadian dalam hidupkan berputar kembali, bagai potongan film baku yag sengaja tuhan sutradarai dan sebagai hadiah untuk kehidupanku.