Bandung
08:38 PM
-Ahmada Reynand Faeyza-
Berdiri di depan jendela menatap langit malam adalah rutinitas ku setiap malam. Sepertinya, malam ini akan berbeda. Aku harus memikirkakn bagaimana cara agar aku meyakinkan perempuan yang ku lamar tadi siang. Perempuan berambut pirang itu menjadi fokus ku sekarang.
Entah kenapa kata-kata yang itu meluncur mulus dari mulut ku. Pemikiranku hanya tertuju padanya. Kalaupun dia menerima tawaranku, aku yakin ini bukan karena cinta. Kenapa tidak? Tidak semua pernikahan di landasi cinta. Dan mungkin itu yang akan terjadi pada kehidupanku dan Ayyara.
Semua sudut yang ada di dalam diriku mengeluarkan argument. Aku tidak akan mundur, aku harus meyakinkan perempuan berambut pirang itu. Pertama kalinya dalam hidupku, ada rasa mengganjal saaat melihat perempuan itu, melihat langkahnya, tatapan kosongnya, juga saat mendengar tangisannya.
Aku begitu menyadari, seberapa besar masalah yang sedang ia hadapi. Dan masalah besar itu yang tidak pernah ingin ku tangani dalam masa perjalanan hidupku, aku tahu rasa sakitnya. Dan jujur, sampai saat ini pun, aku masih tak bisa menangkalnya.
Sekali lagi, aku mendengar semua argument yang keluar dari pemikiran ku, dan kali ini aku menyangkal semua argument itu. Untuk bisa merangkul Ayyara, aku harus rela mempertaruhkan semuanya, terutama ego ku.
Meraih ponsel dan mengirimi pesan singkat berisi ajakan untuk bertemu dengannya adalah satu hal tindakan atas penolakanku terhadap diri sendiri. Aku tahu, dia bukan perempuan ceroboh yang dengan mudahnya menerima ajakan atau tawaran seperti ini.
Jujur, aku tertarik padanya.
Namun, ketertarikanku tenggelam saat mengetahui seberapa rapuh perempuan yang sedang memenuhi semua pikiranku, sesekali aku mengecek ponsel ku, berharap menemukan balasan seperti apa yang Ayyara kirim padaku. Namun nihil, tak kunjung ada balasan dari nya.
Aku mengusap kasar wajahku, seperti yang ku bilang, baru pertama kali dalam hidupku hal seperti ini terjadi. Sudah terlalu larut sekarang, mungkin Ayyara sedang beristirahat. Aku teringat seseorang sekarang, seseorang yang tak pernah ku temui wajahnya dimanapun, wajah yang selalu ingin ku temui dan ku rengkup dalam ingatanan.
“Ma, Mada temukan sosok mama sekarang.” Aku berujar pelan sambil menarik sudut-sudut bibir ku.
Sudah satu jam setelah aku mengirim pesan singkat itu. Dan masih tak ku temukan balasan darinya. Okay, aku tahu dia tak menganggap serius semua itu, apalagi dalam situasi tak tepat seperti tadi. Tapi apa ada hal yang kurang jelas dari ku? Penekanan setiap kataku? Aku sudah bertekad, dan tidak akan ku urungkan niatku yang satu ini. aku akan terus menunggu balasan darinya. Mungkin secangkir espresso dapat menyegarkan pikiranku.
Tak jarang aku menginap di klinik tempatku praktek, hanya beberapakali dalam seminggu aku pulang ke rumah hanya untuk membawa baju ganti. Selama tiga tahun tinggal di Bandung, sedikit banyak aku mengenal jalanannya, cuacanya, juga beberapa tempat saat bertemu dengan pasien yang merekomendasikan untuk melaksanakan konsultasi di luar klinik.
Tuhan, saya tidak akan menuntut banyak pada-Mu, hanya... Tolong, kali ini saja, saya ingin merasakan hidup dengan seseorang, walau kami tidak saling mencintai, setidaknya saya bisa memilikinya, melindunginya dengan kemampuan saya.
Batinku berkoar, meminta Tuhan agar memberi ku kesempatan sebelum aku benar-benar tak percaya lagi pada hidup. Sebelum aku benar-benar berpaling dari dunia yang ku anggap benar-benar fana. Sebelum aku benar-benar menyerah pada takdir-Nya.
Getar ponsel dari atas meja memecah lamunanku, aku segera mengambilnya, berharap bahwa itu adalah balasan dari perempuan yang sedang ku adukan pada Tuhan. Tangan ku bergetar saat tahu siapa yang mengirim pesan padaku, dan ya. Pesan itu dari Ayyara.
Ayyara Yuan Nisaka
Besok pagi saya datang ke klinik kamu.
Itu saja yang tertulis di layar ponsel ku, sedikit demi sedikit sudut bibir ku terangkat, setidaknya dia mau membalas pesan ku yang bisa saja dia lewatkan. Sekarang, aku tidak akan banyak berspekulasi, aku hanya menerima semua hal yang menjadi kehendak—Nya. Hanya saja, aku tidak akan mengalah, jika perlu berkorban, apapun.
Ahmada Reynand Faeyza
Saya jemput besok.
Ayyara Yuan Nisaka
Tidak perlu, besok saya bawa mobil.
Ahmada Reynand Faeyza
Saya tunggu kamu Ayyara, night
Tidak ada balasan tapi itu cukup bagiku, aku janji tidak akan pernah ku lepaskan dia bila sudah berada dalam dekapanku. Aku akan berusaha membuatnya nyaman jika berada di sisi ku. Setidaknya, aku ingin merasakan memperjuangkan sesuatu, memiliki sesuatu yang benar-benar milik ku.
Pukul 8 pagi, Ayyara sudah memarkir mobilnya di depan Klinik. Subuh tadi dia menanyakan kapan aku akan berada di klinik dan langsung ku jawab kapan saja, tentunya. Kembali aku tersenyum melihat tubuh tingginya. Hari ini ia terlihat lebih segar dengan mengenakan jumpsuit style hitam juga kaos putih lengan pendek. Manis sekali.
“Sudah sarapan?” Tanyaku padanya, pertanyaan biasakan?
Ayyara menjawabnya hanya dengan anggukan kepala. Sekarang dia sudah duduk di sofa tunggal berwarna biru Dongker, di sebelah kanan nya terdapat jendela yang langsung menghadap ke taman. Ingat saat setiap malam aku menatap keluar? Ya disana tempat nya.
“Jadi…” Baru aku akan memulai pembicaraan, Ayyara sudah bersuara.
“Ini terlihat seperti baru di mulai, but i am sorry this shouldn't happen.”
Itu bukan sebuah permohonan maaf, tapi seperti pengakuan. Ini jawabannya? Dia menarik nafas, adakah yang lain? Play.
“When you hugged me yesterday. Jujur, saya temukan kenyamanan, and that was because of you. If you want me to be your wife, everything needs a process. Right?”