Bandung
03:48 PM
-Ayyara Yuan Nisaka-
Hari-hari berikutnya ku lalui dengan melibatkan Mada di dalamnya. Sepulang dia bertemu klien, walaupun hanya sedikit waktu untuk bertemu dengan ku. Setidaknya dia menyempatkan untuk bisa mengobrol berbagai hal. Seperti sore ini, aku sedang menunnggu kehadirannya di kedai kopi di daerah Dago.
Espresso panas sudah mengepulkan asap yang tentunya itu bukan untuk diriku, melainkan pesanan lelaki yang sekarang kulihat tengah tersenyum sambil berjalan kearahku. Aku yang hanya mengenakan kaos kuning oversize dengan celana denim yang tak kalah longgarnya, sangat berbanding terbalik dengan pakaian yang Mada kenakan. Kemeja dark coklat yang kedua lengan nya sudah lelaki itu tarik hingga ke siku, dan jangan lupakan Mada dengan celana bahannya.
“Sorry, I’am late.” Mada meringis diakhir ucapannya. Dan ya, Mada selalu lebih ekspresif dalam hubungan ini.
Aku hanya mengangguk dengan satu tanganku yang terulur untuk membenahi kerah kemejanya yang sedikit kusut. “For you, espresso.” Aku menggedikkan dagu untuk menunjuk satu cangkir espresso di tengah aktivitasku membenahi kerah kemejanya.
“Oh, thanks.” Hal yang tidak akan terlupakan dari lelaki itu, senyumannya.
“Berapa klien tadi?” Tanya ku setelah Mada menyesap espresso nya.
“Dua, satu anak kecil dan satu lagi pria tua.”
“Anak kecil?” Tentu aku sedikit kaget. Pasalnya, apa yang harus terpikirkan oleh seorang anak kecil yang masih bisa berpikir bahwa dunia ini begitu sederhana?
“Yes. Namanya Kias. Dia mengidap Disartria.” Jawab Mada.
“Bukannya lebih baik datang ke terapis wicara?” yang kutahu, memang seharusnya begitu.
“Memang seharusnya begitu. Kias sudah satu tahun ini bearada dalam penanganan saya. Satu tahun lalu dia juga datang ke ahli terapis wicara yang kamu ucapkan tadi. Tapi hasilnya nihil.” Terdengar helaan nafas Mada. “Disaat dia berusaha untuk sembuh, orang tuanya meninggal dan itu terjadi didepan mata Kias. Kecelekaan maut dan hanya Kias yang selamat.”
Bulu kuduk ku mendadak meremang. Dunia yang dinilai sederhana untuk seorang anak tidak Kias dapatkan. Tidak ada lindungan fisik untuknya, tidak ada juga lindungan mental untuk dirinya.
“Aetiologi nya memang seperti itu, Ayyara. Terkadang, akan ada sebab sebelum akibat. Dan itu terjadi pada Kias. Sebab itu sekarang mengontrol akibat.” Mada menghentikan pembicaraan saat seorang waiter menghidangkan pisang keju dengan coklat meleleh diatasnya.
“Makan saja dulu.” Suruh Mada lalu mulai mengambil sendok di hadapannya.
“Saya masih ingin mendengar tentang Kias.” Pintaku yang membuat Mada mendongak lalu tersenyum di tengah kunyahannya.
“Begini,” Mada menaruh sendok makannya dan mulai menaruh kedua tangannya di atas meja, menatap mataku yang anehnya aku malah menatapnya balik. “Saya tahu betul kalau kamu penasaran. Tapi, boleh makan saja dulu? Saya belum makan soalnya.” Kekehannya terdengar setelah kalimat berakhir dengan tangan kanannya yang terangkat untuk mengelus puncak kepala ku.
Tidak, aku tidak membantah. Yang terjadi hanyalah aku yang mematung dan Mada yang terlihat tidak berdosanya sudah melahap pisang kejunya. Okay, dia sibuk hari ini hingga lupa makan. Dan memangnya aku bisa dengan tidak tahu dirinya meminta dia bercerita sedangkan perutnya kosong? Tidak, aku cukup tahu diri saat ini.
*-*
Pukul 5 sore, kami meninggalkan kedai setelah membayar makanan, lalu berjaalan kerah parkiran menuju BMW putih yang sangat kontras setelah berbaur dengan kendaraan yang lain. Mada membukakan pintu untukku, dia tahu bagaimana cara bersikap, cara memperlakukan sesorang secara istimewa. Setelahnya, dia berjalan mengelilingi bagian depan mobil lalu masuk.
Setelah memasang seat belt, lalu menghidupkan mesin mobil dan menginjak pedal gas. Entah kemana jelasnya Mada akan membawaku, aku hanya diam saat Mada yang fokus pada jalanan. Kendaraan yang melaju kencang perlahan menurunkan volume kecepatan saat lampu merah terlihat. Masih dalam diam, Mada tidak mengeluarkan sepatah katapun. Padahal aku sangat penasaran dengan bagaimana cerita Kias, anak pengidap Disartria itu.
Mada kembali melajukan kendaraannya. Berbelok ke kanan, berbelok kekiri. Memasuki kompleks perumahan yang asri, ditumbuhi pohon mahoni yang tinggi dan rindang. Jalanannya sepi, hanya beberapa motor dan mobil yang ada, berbanding terbalik dengan jalanan yang sebelumnya macet.
Aku penasaran kemana Mada akan membawaku, aku meliriknya. Tapi masih ku temukan diamnya. Aku mengalah. “Kita kemana?”
Mada melirikku denga senyumannya, lagi. “Saya bawa kamu ketemu Kias.”
“Hah?” aku terkejut sekali.
“Kamu penasaran tentang bagaimana Kias. Saya tidak bisa banyak bercerita, Ayyara biar kamu yang merangkai cerita Kias lebih baik.” Mada menghentikan kendaraannya di depan rumah dengan pagar yang sudah sedikit berkarat.
Mada melirikku lalu mengangguk dan setelahnya keluar dari dalam mobil. Ku ikuti dia, aku tidak bida berkata banyak, hanya ku ikuti arah pandang Mada. Menatap sebuah kamar yang sudah bercahaya lampu yang menampilkan siluet seorang anak laki-laki.
Mada menunjuk kearahnya. “itu…Kias.” Mada menggigit bibir bawahnya, sedikit ragu untuk bicara. “Dia sensitif terhadap suara mesin mobil, dentuman dan… hujan.”
Aku hanya diam, sama-sama menatap objek yang sama. Setidaknya, ada aura yang Kias ciptakan, hawa dingin. Langit sudah menguning, lampu-lampu jalan sudah menyala, hanya keheningan. Tak berani bertanya apa yang akan Mada lakukan setelah ini. Aku tetap diam tak bergeming. Yang berjalan hanya otakku yang menelusuri jejak-jejak Kias.
Mada menggenggam tangan ku lalu menariknya. Beberapa langkah yang berat. Seorang satpam membukakan gerbang saat melihat Mada yang tersenyum kearahnya. Seperti sudah kenal lama, satpam itu tersenyum lalu setengah berlari.
“Ada yang ketinggalan Pak?” Tanya nya, lalu melirik kearahku dengan sedikit bingung.
“Ayyara.” Aku memperkenalkan diri sambil berjabat tangan dengannya, tak lupa dengan senyum yang ia lontarkan.
Mada mengetuk pintu kamar Kias yang tentunya tidak ada jawaban dari pemilik kamar. Mada tersenyum sesaat, lalu membuka pintu putih gading di hadapan nya. Lagi, aku lebih merasakan aura dingin yang lebih kentara saat pintu itu di buka. Bukan dingin dari AC, melainkan… entah, aku pun bingungg.
Kias yang sedang duduk menghadap ke luar jendela mengalihkan pandangannya kepada Mada, setidaknya Kias mengenali siapa yang baru masuk barusan, lalu mengerutkan kening saat aku menyusul Mada ke dalam kamar.
“Hi, boy.” Sapaan Mada yang terdengar biasa, seperti sapaan pada anak-anak pada umumnya.