GENESIS

syarahnafa
Chapter #7

N O N A G O N

Bandung

05:30 AM

- Ahmada Reynand Faeyza-

Aku menyeduh bubuk kopi hitam dengan air panas. Tentunya tanpa di tambah gula. Sudah dua minggu aku tinggal di klinik. Mungkin nanti siang aku mampir ke rumah untuk membawa baju ganti. 

Aku bangkit menuju kamar yang ada di lantai dua sambil membawa secangkir kopi untuk di nikmati. Mendekati jendela dan mengamati sekitar, jalanan yang masih basah akibat hujan semalam, kabut yang masih menyelimuti, juga kendaraan yang hanya terlihat beberapa. Aku menyandarkan sebagian tubuhku ke bagian sisi jendela, udara dingin masih betah berlama-lama ternyata. 

Aktivitas ini mungkin sudah jadi aktivitas rutin ku. 3 tahun di Bandung menjadikanku pribadi yang lebih hangat, lebih tepatnya berusaha untuk hangat agar bisa melanjutkan hidup, untuk bisa berdamai dengan masa lalu dan berbagai hal lainnya.

Aku merapatkan jaket abu yang ku kenakan, menyesap kopi yang sudah mulai menghangat. Satu tegukan, rasanya hambar. Sudah tidak lagi ku temukan rasa kopi pahit seperti sepuluh tahun yang lalu, saat pertama kali aku mengenalnya. Sepuluh tahun mengkonsumsi minuman berkafein ini, tentunya dengan kopi tanpa gula yang tidak pernah berubah takarannya.

Perlahan matahari naik dan cahayanya mulai masuk lewat jendela. Aku selalu menghindari moment ini. Jadi, aku selalu memilih beralih lalu membawa cangkir berisi kopi yang hanya tinggal setengah, menyimpannya di atas meja lalu bersiap untuk bertemu klien. 

 Kemeja lengan panjang berwarna charcoal dengan luaran grey, sudah membalut tubuh bagian atasku, celana bahan hitam juga pantofel selaras yang ada di bagian tubuh bawahku. Aku berjalan untuk mengambil cangkir kopi dan membawanya turun ke lantai dasar.

Bu Susan belum terlihat di mejanya. Mungkin sedang dijalan, pikirku. Aku berjalan ke dapur, mencuci cangkir dan menyeduh kopi baru lagi untuk dibawa ke dalam ruang kerjaku. Terdengar suara pintu terbuka dari depan, di ikuti dengan suara langkah kaki yang sangat aku kenal. 

Bergegas aku meraih satu cangkir baru dari rak, menyeduh teh untuk Bu Susan. Dia yang selama ini menjadi peneduhku. Aku kenal dengan beliau saat masih berusia empat tahun, saat itu ibu Susan dan suaminya sedang berkunjung ke rumah Papa yang ada di Padang. 

Kata Papa, bu Susan teman baik Mama. Begitupun suaminya yang berteman baik dengan Papa. Papa dan suami bu Susan kuliah di Fakultas kedokteran yang sama, persahabatan mereka berlanjut sampai masing-masing mempunyai keluarga. Tapi sayang, bu Susan di vonis tidak bisa memiliki anak. 

“Sedang apa nak?” Bu Susan mengusap lembut bahuku yang jelas lebih tinggi dari nya.

“Saya buat teh buat ibu.” Aku memberikan teh yang tadi ku seduh, dan beliau menerimanya sambil tersenyum. 

“Sudah sarapan?” aku mengangguk sebaga jawaban. “Roti?” aku mengangguk lagi. “Besok, kamu sarapan di rumah ibu. Kita sarapan bersama.” 

“Mada usahakan.”

“Jangan terlalu menyakiti diri nak.” Bu Susan kembali mengusap bahu ku, dengan suara yang lembut, beliau melanjutkan ucappannya. ”Kejadian sepuluh tahun yang lalu, tidak ada yang pantas untuk di salahkan. Termasuk kamu nak.” Bu Susan tersenyum di akhir kalimatnya, lalu meninggalkan ku dengan membawa cangkir yang berisi teh.

Kejadian sepuluh tahun yang tidak bisa untuk ku lupakan, waktu di saat terakhir kali aku harus melihat wajah seseorang yang paling aku hormati, paling aku patuhi di dunia ini. Sekarang wajah itu hanya bisa ku pandangi lewat bingkai kayu yang tergantung di dinding kamarku. 

*-*

Tatapan seorang pria paruh baya di hadapanku kosong sekali. Sudah duapuluh menit dia duduk disana, namun tak ada satu kata yang keluar dari mulutnya. Dan untuk menit kesekian, aku ikut terdiam. beliau tidak benar-benar ingin tempat seperti ini.

“Istri saya meninggal.” Itu saja kata yang ia keluarkan, di ikuti dengan suara helaan nafas sarat akan penyesalan.

“Dia sakit keras. Dan dengan tidak tahu dirinnya, saya lebih memilih pergi dengan wanita lain.”

“Menyesal?” 

“Sangat.” Kepalanya terangkat dengan mata merah juga kantung mata yang bengkak.

“Sudah enam bulan dan anda masih menangis?” 

“Saya berengsek.” Pria itu menundukkan kepalanya lagi, meremas ujung kemejanya. “Kalaau saja saya tidak pergi dengan wanita itu. Mungkin istri saya masih hidup. Saya tua dan tetap berengsek dok. “ Satu titik air matanya turun.

“Dulu, saya sangat mencintainya, dia sumber kebahagian saya selama bertahun-tahun. Dia terlalu sempurna untuk lelaki berengsek semacam saya. Saya menutupi perselingkuhan saya selama dua belas tahun, dan… dan.” Ucapnya dengan terbata, de selingi dengan isak tangis. 

“Dan dia meninggal setelah tahu perbuatan keji saya dok. Dia pergi membawa sakit yang saya ciptakan. Tiga orang anak tidak membuat saya sadar bahwa kehidupan saya sangat bahagia dengannya, kenangan saya selama tiga puluh tahun hidup dengannya hanya membuat saya semakin merasa jadi lelaki paling tidak tahu diri.” Tangannya terangkat, menarik-narik rambutnya lalu memukul-mukul kepala.

Aku bangkit lalu berusaha menahannya agar tidak melakukan hal konyol yang hanya akan membuatnya tambah sakit. Semua semakin sulit saat dia terus menutupi semua dari ketiga anaknya. Dia menutupi kelakuannya selama dua belas tahun dengan rapih, tanpa ada yang mengetahui kecuali istrinya.

“Saya menyesal dok…” Tangisnya hanya di temani sepi ruangan dengan aku yang masih enggan berbicara. Ceritanya belum selesai sampai akhir, dia hanya menceritakan penyesalannya dan beberapa potong kenangan manis yang dianggapnya terlalu pahit untuk di ingat. Lebih tepatnya, dia hanya tidak ingin semua itu menjadi semacam pengingat bahwa dirinya yang berprilaku buruk dalam dua belas tahun lamanya.

“Bisa dengarkan saya sebentar?” pria itu mengangguk namun masihmenunduk. “Kalau begitu, saya ingin bapak tatap mata saya, lalu dengar kan baik-baik setiap ucapan saya.”

Lihat selengkapnya