Bandung
09:18 PM
-Ayyara Yuan Nisaka-
Obrolan Mada dengan Riko mendominasi, aku hanya menyimak. Sejauh ini, aku sadar bahwa banyak sekali perbedaan antara aku dan Mada. Dia yang mudah tersenyum, dia yang mudah berbaur di lingkungan baru, dia yang ramah, dan dia dengan sejuta yang lainnya.
Satu topik pembicaraan yang Mada bicarakan dengan Riko. Trauma. Apakah aku juga mengalami hal itu? Aku menyadari, banyak sekali yang berubah setelah kepergian ke dua orangtua ku dalam kurun waktu yang dekat. Atau, aku saja yang berusaha untuk berubah?
Lagi, Mada seakan berbicara mengenai tentang aku. Ruangan yang di penuhi dengan suara bising membuat aku pusing. Ditambah cahaya ruangan yang sangat menyilaukan semakin membuatku pusing. Aku berniat meninggalkan ruangan, lalu bangkit dengan satu tangan yang segera di raih oleh Mada.
“Saya keluar dulu, sebentar.” Entah berapa lama kata sebentar dalam kamus ku malam ini.
Mada ikut bangkit setelah berpamitan kepada Riko dan teman-temannya yang lain. Kami berjalan beriringan menuju ke bagian taman yang ada di pintu utara. Angin malam menyambut dengan menerbangkan beberapa helai rambut ku yang lepas dari ikatan.
“Kenapa?” Tanya Mada setelah kami duduk di kursi taman yang sedikit lebih sepi.
“Didalam terlalu bising.” Jawab ku asal.
Mada tak berbicara, namun kedua tangannya terangkat. Ku rasakan hangat telapak tangannya menutupi daun telingaku. Aku terpaku sejenak lalu menatap Mada dengan heran. Mata hitamnya bertemu dengan mataku, kudapati senyum yang satu minggu ini selalu hadir dalam mimpi ku.
“Itu karena kamu terbiasa seperti ini, menutup telinga dan menjauhi keramaian.” Aku masih metapnya.
“Kenapa harus kamu Ayyara? Kenapa kamu yang harus merasakan hal seperti ini. Merasa sendiri saat orang-orang berusaha meraih mu? Kenapa tidak, sesekali belajar menjadi tidak mengasingkan diri?”
Mataku mulai memanas, kenapa aku terlihat menyedihkan?
“Kenapa harus kamu yang merasa bersalah atas masa lalu yang bahkan di luar kehendak kamu? Kenapa harus kamu yang merasa tidak bahagia dengan semua itu?”
Ucapan dan nada halus yang Mada hadiahi untuk ku, air mataku turun satu persatu. Aku menarik tangan Mada dari posisi awalnya. Namun, kini tangannya meraihku, aku jatuh padanya sekarang. Jas nya kini mungkin sudah basah akibat air mataku. lagi, aku menangis dalam pelukannya.
Kali ini, aku benar-benar jatuh kepadaya.
Lima menit berlalu dengan aku yang sudah terdiam, masih dalam posisi yang sama. Ku tatapi wajah Mada dari bawah, tenang sekali. Dia tidak perlu repot-repot menghentikan tangis ku. Tapi entah bius apa yang bisa membuatku nyaman selain aroma citrus yang sama seperti di dalam mobilnya.
Wangi khas lemon berpadu dengan lavender yang meninggalkan jejak musk yang menyeruak dari tubuh Mada. Wangi yang satu minggu ini sudah terbiasa ku hirup, namun anehnya malam ini begitu sangat menenangkan.
“Mada.” Aku melepaskan pelukan Mada, metapnya dengan lembut.
“Ya.”
“The process I asked for, remember?” Tanya ku perlahan.
“Sure.”
“Just up to here, Mada.”
“What do you mean?” Mada menegrutkan keningnya.
“Saya… mau menikah dengan kamu.”
Diam, tidak ada suara Mada. Hanya suara gemersik daun yang tersapu oleh angin. Aku yakin aku tidak salah bicara. Tapi, kenapa reaksi mada hanya diam tanpa ekspresi? Yang ku bayangkan, Mada akan tersenyum lebar, atau yang paling parah dia akan teriak-teriak sambil loncat-loncat. Tapi, apa dengan semua ini?
“Kamu… serius?” Tanyanya ragu.
“Apa perlu saya ulang?”
Perlahan, Mada tersenyum lalu menggeleng. “Terimakasih… Ayyara.” Kembali, tangannya menarik tubuhku. Ada debar jantung yang saling bertemu namun tak kuasa untuk saling menyembunyikan.
*-*
“Jadi, kamu pulang besok?” Tanya Mada setelah menyesap kopi hitamnya.
Aku mengangguk. “Lusa, kamu bisa?”
“Tentu, besok saya akan ke rumah bu Susan.”
“Bu Susan?” Tanya ku bingung.
Mada mengangguk beberapa kali. “Sepetinya, satu malam untuk bercerita tentang saya tidak akan cukup.” Di ujung kalimatnya ada senyum yang sepertinya akan menjadi candu ku.
“Bu Susan itu, teman baik mama saya, suaminya pak Teuku juga teman baik ayah saya. Setelah mama saya meninggal, saya hidup dengan ayah saya di Padang. Waktu itu, saya berumur empat tahun. Bu Susan datang untuk berkunjung bersama suaminya, dari sana saya tahu siapa bu Susan. "Lanjut Mada.
Aku tetap mendengarkan cerita Mada hingga dua jam lamanya. Dia yang lahir di Padang, dia yang anak tunggal, dia yang ini, dia yang itu. Banyak yang tidak ku ketahui tentang dirinya, tentunya dua jam saja tidak cukup untuk mengetahui siapa Mada. Hanya beberapa yang aku tanyakan kepada lelaki ini. Seperti tanggal lahirnya, bulan lahirnya. Seperti itu.
Sepulangnya Mada, ada beberapa hal yang terus menari-nari di pikiran ku. Aku mengulang-ngulang ucapanku tadi, rasanya tidak ada yang salah. Tapi, apakah ini terlalu mendadak? Aku yang besok tiba-tiba pulang, lalu bagaimana aku menyampaikan kalau aku akan menikah dan Mada akan datang?
Semua lampu sudah ku matikan. Sepepertinya malam ini akan panjang, namun mengingat kesehatan jantung ku yang sedari tadi berdegup lebih cepat dari biasanya, maka setelah memasukan beberapa pakaian yang akan ku bawa besok, aku berusaha terlelap dan menenggelamkan semua tentang Mada saat ini juga.
“Mama.” Ucap seorang anak lelaki yang sepertinya baru bisa berbicara.
Aku menengok ke belakang dan menemukan tubuh kecilnya, rambutnya hitam kecoklatan yang di potong rapi, matanya hitam bundar, dan bibir berwarna merah muda kontras dengan kulitnya yang putih.
Aku tersenyum, anak kecil itu setengah berlari, tangannya terentang. Aku pun melakukan hal yang sama, tubuh kami bertemu setelah aku berjongkok. Wangi tubuhnya, kulitnya yang halus dan hangat tubuhnya mengingatkan ku pada sosok Mada.
“Mama.” Ucapnya lagi.
Aku tersenyum mendengarnya, ada rasa hangat merambat di hatiku. Aku memeluknya erat, aku tidak tahu siapa anak ini, kenapa anak ini memanggil ku mama? Lalu, kenapa aku merasa senang?
“Ma, papa.” Ucap anak lelaki yang memanggilku mama.
Tapi, apa? Papa? Siapa? Aku melepaskan pelukan ku darinya, mengikuti arah telunjuk mungilnya. Detik itu pula, rasanya waktu berhenti berputar, tubuhku seakan membatu pada posisi yang sama. Ku temukan senyum seseorang yang akhir-akhir ini mengisi setiap hari ku.
“Mada.”
Mataku terbuka sepenuhnya, apa maksud dari mimpi ini? Siapa anak kecil tadi, dan kenapa harus Mada? Mama? Papa? Aku melirik jam dinding. Sudah pukul tiga pagi, dan aku terbangun dalam keadaan hati bahagia.
Aku bangkit dari tempat tidur. Toilet menjadi tujuan pertamaku. Ku basuh wajah dengan air di wastafel, melihat pantulan wajah ku di cermin. Tiga detik, lalu kemudian tersenyum mengingat mimpi tadi. kenapa aku sebahagia ini?
Ku rapatkan blazer yang menempel di tubuhku, mengucir rambut dengan meninggalkan beberapa rambut yang jatuh ke leher. Berjalan menuju dapur untuk menyeduh teh panas. Duduk di atas stool sambil memandangi riak air di kolam renang. Menopang dagu dengan satu tangan.
Aku teringat satu perjanjian dengan Mada semalam. Sebenarnya, aku yang meminta lelaki itu berjanji untuk tidak menceritakan kepada siapapun tentang bagaimana caranya kami bertemu dan menjalin hubungan hanya satu minggu, lalu kemudian memutuskan untuk menikah. Biarkan semua cerita ini hanya berada dalam kenangan kami berdua.
Aku sudah menyiapkan semua jawaban yang kemungkinan akan keluarga ku lontarkan, atau aku yang sudah menyiapkan berbagai jawaban kenapa baru pulang dan kenapa Mada baru ke rumah.
Aku meraih ponsel ku, mengaktifkan data. Satu notifikasi instagram, Ahmada.RF mulai mengikuti Anda. Keningku berkerut, lalu membuka akun dengan foto yang ku kenal sebagai foto profilnya.
foto yang di unggahnya hanya ada 8, aku membukanya satu persatu. Di mulai dari aku yang melihatnya dengan sekumpulan orang yang semuanya tengah tersenyum, lalu dengan seorang anak kecil yang mengenakan sweater dengan tangan yang memegangi biscuit, foto Mada dengan seorang laki-laki berumur yang mengenakan kacamata, dengan rambut yang hampir memutih.