Malang
07:18
-Ayyara Yuan Nisaka-
Hari dimana sebuah janji dengan Tuhan terucap dari mulut dan juga terucap di dalam hati telah tiba. Malam ini, ada seseorang yang menemaniku di dalam kamar dengan luas 5x5 dengan satu kamar mandi. Aku duduk berhadapan dengan Mada yang tengah merapikan pecinya setelah shalat berjamaah.
“Kaki nya pegel?” Tanya Mada tiba-tiba.
“Sedikit.” Jujur, seharian ini banyak sekali rentetan acara yang membuat ku harus menahan diri agar tidak jatuh pingsan setelah satu hari sebelumnya tidak makan akibat gugup dan takut.
“Saya pijitin yah.” Mada meraih satu tangan ku lalu mulai memijatnya.
“Mada.” Panggilku.
“Hm?”
“Maaf ya, soal Anggi, Dewi, Resy, dan Jessi.” Aku menggigit bibir bagian dalam ku ketika Mada menghentikan aktivitasnya, mengingat kejadian tadi siang, ke empat sahabat ku itu mengambil alih panggung hiburan dengan menyanyikan puluhan lagu yang di nyanyikan bersama-sama. Mada terdiam sejenak lalu tertawa hingga bahunya berguncang.
Aku mengerutkan kening, bingung kenapa Mada tertawa disaat aku tidak sedang melawak. “Kenapa?” Tanyaku heran.
“Nggak.” Jawabnya sambil berusaha menghentikan tawa. “Teman-teman kamu itu lucu. Saya sempat berpikir kalau kamu juga sama seperti mereka.”
Aku terdiam, terbayang juga bagaimana jika kelakuan ku sama seperti mereka. Lalu, seketika kami saling melempar tawa bersama. Senang sekali rasanya. Setelah tertawa bersama, kami sama-sama diam, dengan Mada yang menatap mataku.
“Ayyara, saya tidak mau terburu-buru. Saya ingin kamu ciptakan rasa nyaman dulu saat bersama saya, ciptakan dulu rasa percaya kamu terhadap saya. Ada banyak hal yang akan membuat kita menjadi lebih baik, menjadi orang tua salah satunya. Kamu, saya, dan keturunan kita nanti. Kita harus tercipta karena sebuah kebaikan dan hidup untuk kebaikan, setuju?”
Aku tak tahu apa yang pasangan lain lalui. Tapi, ku rasa Mada membuatku merasa menjadi seseorang yang spesial. Dia tahu apa rasa takut ku akhir-akhir ini tanpa aku harus bercerita kepadanya. Ya, ketakutanku selama ini adalah ketika harus menjadi orangtua. Aku takut gagal dalam memeran kan peran itu.
Aku mengangguk lalu Mada perlahan menarik ku dalam pelukan nya yang hangat dan sepertinya akan terus hangat. Mada mengusap puncak kepalaku yang masih berbalut mukena, hingga berakhir dengan kami yang saling bercerita dengan Mada yang sudah menempelkan pipinya di puncak kepalaku.
*-*
Pukul empat pagi Mada membangunkan ku untuk mengikuti shalat berjamaah dengan yang lainnya. Aku bergegas mengambil air wudhu lalu berjalan beriringan dengan Mada ke arah mushala yang berada di dekat kolam renang.
Setelah melaksanakan shalat subuh dengan Mada yang menjadi imamnya, aku dan mbak Ayu, istri mas Arga juga mbak Vina membereskan mushala yang telah terpakai.
“Tante, semalem Fatih nggak tidur lho.” Adu Fatih, putra dari mas Arga.
“Kok gak tidur? Kenapa?” Tanya ku sambil menariknya agar duduk di pangkuanku.
“Main PS sama abang Putra. Lagian, Papa Arga tidurnya berisik, ngobrol sendiri terus kalau lagi tidur.” Fatih lalu terkekeh sambil menutup mulutnya.
“Mbak, Mas Arga pasti kecapean ya?” Tanya ku pada mbak Ayu.
“Mas mu kan memang begitu Ayy. Kalau tidur suka mengigau.” Jawab mbak Ayu sambil tersenyum.
“Ayy, kamu tidak menunda untuk punya anak kan?” Tanya mbak Vina tiba-tiba.
Aku yang ditanya pun kebingungan harus menjawab apa. Sedangkan mbak Ayu dan mbak Sindy, istri mas Ayas lebiih memilih diam sambil menyiapkan telinga.
“Harus… dijawab ya mbak?” Tanya ku kepada mbak Vina.
“Ya nggak juga, Cuma kan, kamu nikah itu sudah hampir kepala tiga, kalau masih di tunda nanti susah punya anak. Perempuan itu punya batas waktu Ayyara.” Jelas mbak Vina.
“Iya, Ayy. Mbak sih maunya jangan di tunda, langsung aja kalau bisa.” Ucap mbak Sindy.
Ya, obrolan seperti ini bukan yang pertama kalinya untukku. Anggi, Jessi, Resy dan Dewi pun sering membicarakan hal seperti ini. malah, jika mengobrol dengan mereka akan lebih ekstrim dari pembicaraan ku dengan kakak-kakak ku.
“Sudah di bicarakan dengan suami kamu?” Perlahan aku mengangguk. “Menurut dia gimana?”
“Mada bilang sih, tunggu siap dulu, baru memikirkan langkah lainnya. Aku pikir, jadi seorang ibu itu bukan hanya sekedar mengandung, melahirkan, memberikan ASI, membesaran dan memberikan hal yang lainnya. Aku takut mbak.” Ku tatap satu persatu-satu mata dari ke tiga mbak ku ini. “Ada banyak hal yang harus aku persiapkan, dan semua itu perlu wakktu.”
“Lho, Ayy. Mengandung itu Sembilan bulan sepuluh hari, bukan kah itu juga waktu? Selama sembilan bulan itu kamu akan banyak mempelajari banyak hal, kamu bisa tanya mbak, mbak Ayu, Mbak Sindy, atau kamu bisa konsultasi ke dokter. Kamu bisa memulainya dari sekarang Ayy.” Jelas mbak Vina dengan segala pemikirannya.