Bandung
11:25 PM
- Ahmada Reynand Faeyza-
ku tatap wajah pulas Ayyara, tarikan dan hembusan nafasnya sangat teratur. Matanya tertutup sempurna, beberapa helai rambut terlihat menutupi bagian wajah cantik Ayyara.
Teringat satu obrolan dengan mas Ayas, obrolan yang tercipta kala langit telah menghitam sempurna dengan di temani secangkir teh hangat dan kopi hitam, obrolan yang banyak membuat hati ku nyeri dan memenuhi pikiran ku hingga saat ini.
“Kenapa Ayyara?” Tanya mas Ayas tiba-tiba.
“Karena hanya Ayyara.” Jawab ku.
Mas Ayas mengangguk, menatap kosong ruang gelap dihadapannya. “Setelah tiga tahun ini, baru pertama mas lihat Ayyara yang tersenyum saat bertemu mas.” Kini tangan mas Ayas memainkan gagang cangkirnya. “Bagaimana cara membuat senyum Ayyara kembali?”
“Maksud mas Ayas?” Kenapa mas Ayas bertanya demikian?
“setelah kepergian kedua orang tua kami, tidak pernah ada senyum yang benar-benar Ayyara miliki. Maaf karena mas pernah ragu terhadap mu. tapi, saat mas melihat sorot mata Ayyara dan cara dia melihat mu. Mas tahu bahwa senyum yang hadir dari Ayyara adalah karena kehadiran mu juga.”
Dadaku sesak karena obrolan di malam hari ini.
“Mas percaya, Ayyara akan bahagia hidup dengan mu.” lanjut mas Ayas
Tak tahu harus berbicara apa kepada kaka ipar ku ini. semua janji yang kubuat hanya ku suarakan kepada Tuhan ku dan diri ku. Ada do’a yang ku lambungkan hanya berisikan tentang Ayyara dan kehidupannya.
Aku bisa melihat ketakutan dan keraguan Ayyara dari raut wajahnya satu bulan terakhir ini. Dalam satu bulan itu, aku sangat mengkhawatirkan kondisinya, karena ketakutan itu pasti akan sangat mempengaruhi pikirannya.
Ingin sekali aku mengurangi rasa ketakutannya. Namun ternyata, menyiapkan acara pernikahan tak semudah yang ku bayangkan. Banyak hal yang harus aku maupun Ayyara persiapkan secara maksimal. Jarak Malang-Bandung yang tidak dekat membuatku hampir kewalahan.
Niat ku untuk berbicara empat mata dengan Ayyara tidak kunjung menemukan waktu yang pas. Di tambah lagi, ketika mbak Sindy menelphone ku ketika Ayyara tidak makan akibat rasa takutnya yang berlebih. Maka, ketika di malam pertama kami menjadi sepasang suami-istri, aku tak mau membuat Ayyara tambah tertekan, dan ku putuskan untuk berbicara empat mata dengannya semalaman.
Memang, kehadiran buah hati adalah sesuatu yang selalu di tunggu-tunggu oleh setiap pasangan yang baru menikah. Tapi, tak sedikit pasangan yang merasa ada sesuatu tekanan ketika membayangkan harus menjadi orangtua. Seperti Ayyara, rasa takutnya bukan karea dia yang tidak mau menjadi seorang ibu dalam waktu dekat, melainkan rasa takut untuk menjalani peran seorang ibu.
Ayyara tahu, bahwa dia akan menjadi seorang ibu. Dan dia juga tahu itu akan terjadi. Namun, yang menjadi pemicu ketakutannya adalah tuntutan dalam dirinya yang harus menjadi ibu yang baik, harus menjadi seorang ibu yang bisa mendidik seorang anak agar menjadi pribadi yang baik.
Dia hanya takut jika saja dia tidak bisa menjalankan perannya dengan baik. Mungkin karena trauma? Aku tidak tahu jelas. Ayyara tidak mau ketika dia harus menjadi seorang ibu, dia menjalankan perannya hanya karena dia harus, bukan karena dia siap.
Aku bisa menunggunya siap terlebih dahulu. Dari sini, aku bisa menyimpulkan bahwa dia benar-benar ingin melakoni perannya dengan sempurna. Aku yakin dia akan menjadi seorang ibu yang baik untuk anak kami kelak.
*-*
Seperti biasa, pukul empat pagi aku sudah bangun untuk bersiap shalat subuh di masjid. Masjid yang jaraknya tidak terlalu membuatku lebih memilih berjalan kaki. Ketika keluar dari pagar rumah, ku dapati warga yang hendak menuju ke masjid.
“Wah, pak Mada sudah pulang ternyata.” Ucap salah sat udari mereka.
“Iya pak, kemarin sore baru sampai.” Aku tersenyum menanggapi ucapannya.
“Istrinya ikut, atau masih di Malang mas?” Tanya pak Syarif, yang merupakan seorang RT.
“Ikut saya pak, soalnya kan kerja juga di sini.”
“Oh, kerja ya mas? Padahal istri saya ada rencana mau ajakin istrinya mas buat ikut acara pengajian, arisan, dan acara sosialisasi lainnya.” Jelas pak Syarif.
“Kalau itu nanti saya bicarakan duku saja pak sama istri saya. Mungkin kalau ada waktu bisa ikut juga.”