Bandung
05:46 AM
- Ayyara Yuan Nisaka-
Setelah pak Teuku sudah diperbolehkan pulang, kondisi pak Teuku tidak benar-benar stabil. Satu kakinya tidak bisa di gerakkan. Maka, Bu Susan kini tidak bisa bekerja dengan Mada agar bisa mengurus pak Teuku dengan intens. Mada juga berpikir demikian, begitupun dengan aku. Satu minggu ini, Mada menghabiskan banyak waktunya di rumah, sesekali kami menginap di rumah bu Susan dan pak Teuku.
"Ayyara." Panggil Mada dari ruang tamu.
"Iya mas?" Aku yang sedari tadi sibuk di dapur, kini menghampiri Mada yang baru selesai mengangkat telepon dari seseorang.
"Bisa bicara sebentar?" Tanya nya setelah aku berdiri dihadapannya.
"Bisa. Ada apa mas?" Kini kami berdua duduk di kursi.
"Perusahaan tempat aku kerja dulu lagi buka cabang di Indonesia, tepatnya di Bandung, dan mereka meminta aku untuk kembali bekerja dengan mereka. Aku mau minta pendapat kamu, gimana?" Mada kini terlihat sangat serius.
"Kalau menurut kamu baik, ya apa salahnya mas? Asalkan halal, dan kamu dapat bekerja profesional. Aku setuju aja kalau kamu mau kembali kerja dengan perusahaan mereka." Aku tersenyum lebar diakhir kalimat ku yang terdengar sedikit bijak.
Mada mengangguk lalu tersenyum sambil mengusap puncak kepalaku. Mada selalu melakukan hal yang sama setiap harinya, dan semua itu hal yang selalu aku nantikan. Seperti dia yang akan mencium keningku sebelum berangkat kerja, mengusap puncak kepalaku, atau saat memeluk ku ketika tidur. Hal sederhana yang diam-diam aku sukai.
"Mas, hari ini rencana mau kemana?" Tanya ku setelah sarapan.
"Aku mau ketemu Adam dulu, untuk bahas masalah kerjaan. Terus pulang jemput kamu buat ketemu Hans." Jawabnya.
"Oh okay."
Hans adalah orang yang akan menggantikan Mada di klinik. Kata suamiku, Hans orang yang tepat bagai penggantinya. Mada memang sudah berencana untuk berhenti menjadi seorang psikolog setelah Kias ikut Pamannya ke Singapur.
Ingat Kias? Ya, anak kecil yang berada dalam penanganan Mada. Kini Kias sudah mengalami kemajuan yang pesat, dia yang tidak mau keluar kamar kini sudah mau bermain di taman, mau berinteraksi dengan dunia luar. Namun, Kias harus selalu mendengarkan musik klasik dari earphone nya.
Bahkan, aku baru tahu kalau Kias bisa memainkan sebuah piano. Benar kata Mada, semua itu tergantung Kias. Jika dia mau sembuh, maka harus dia yang menyembuhkan luka nya sendiri. Sekuat apapun Mada membantu, jika Kias tidak benar-benar ingin sembuh. Maka semua itu nihil, tidak akan ada kemajuan apapun.
*-*
Kini Mada telah bekerja sebagai HRD di cabang perusahaan yang menjadi tempat bekerja Mada dulu. Semua berjalan lancar, Mada dengan pekerjaan nya, dan aku dengan pekerjaan ku. Aku sangat bersyukur karena Mada tidak membatasi ku dalam hal pekerjaan. Tapi, aku tidak serta-merta merasa Mada memberi ku kebebasan. Masih ada batasan yang aku buat agar antara pekerjaan dan urusan rumah tetap seimbang.
Seperti hari biasanya, Mada akan menjemputku dari kantor dan menunggu beberapa saat hingga aku selesai membereskan pekerjaan ku hari ini. Ku lihat Mada asik dengan roti yang ia beli sepulang kerja tadi.
"Sayang, ini rotinya di makan dulu." Seru Mada kepadaku.
"Iya, sebentar lagi mas." Dengan cepat aku membereskan cutter dan juga lem yang sempat bereerakan, lalu berjalan menuju mini bar dan duduk di atas stool.
"Cobain deh, varian baru. Pasti suka." Mada menyuapiku roti dengan tangannya. "Gimana?"
Aku mengangguk "Enak banget. Buat aku ya semua." Aku terkekeh sendiri.
Mada mengusap rambutku seperti biasa sambil tersenyum lalu kembali menyantap roti yang lain.
"Besok mau ikut jenguk istri Hans yang baru melahirkan?" Tanyaku kepada Ayyara.
"Istri Hans udah lahiran mas?"
"Udah, tadi sore. Bayi nya lucu lho Ayy. Mau lihat?" Tanya Mada yang aku tanggapi dengan anggukan yang antusias. Mada mengeluarkan ponselnya dari saku celana, lalu membuka galeri dan menunjukkan foto bayi perempuan yang mungil.
"Lucu banget mas." Aku mengambil alih ponsel dari tangan Mada. "Ini matanya sipit banget, mirip Hans." Aku tertawa yang di ikuti oleh Mada.
"Iya, mirip Hans. Tapi idungnya mirip mamanya deh kayaknya." Ucap Mada sambil menunjuk layar ponsel.
"Iya, tapi keseluruhan ini Hans banget."
"Kira-kira, nanti anak kita gimana ya Ayy?" Tanya Mada tiba-tiba yang membuatku mengulum senyum.
"Mirip aku aja deh ya. Kalau mirip kamu takut jadi buncit." Aku mengelus perut suamiku yang mulai membesar. Ya, selama lima bulan ini aku lihat porsi makan Mada benar-benar bertambah, hingga membuat perut yang tadinya rata kini sudah terdapat timbunan lemak.
Mada tertawa lalu menangkap tanganku lalu di genggamnya dengan gemas. "Awas aja kalau nanti kamu yang jadi buncit."
"Kenapa emangnya?" Tanyaku.
"Nanti aku olahraga, biar gak buncit. Terus kamu yang buncit, terus aku yang usap-usap perut kamu. Mau?" Tanya Mada sambil tersenyum aneh.
Aku merasa heran kenapa Mada akhir-akhir ini bersikap seperti anak kecil dan terkesan lebih manja dari biasanya. Walau sifat manja dan kekanak-kanakannya hanya datang di waktu-waktu tertentu, tetap saja membuatku keheranan.
Setelah menghabiskan roti yang Mada beli, kami memutuskan untuk pulang kerumah. Rasanya ingin cepat-cepat membaringkan tubuh di tempat tidur, lalu terlelap tidur dalam pelukan Mada, melupakan semua pekerjaan dan menghabiskan waktu berdua dengan Mada. Malam ini aku putuskan untuk tidak memadai karena ketika bertanya kepada Mada apakah dia ingin di masakan sesuatu, lelaki itu menjawab masih kenyang dan memilih membersihkan badan lalu tertidur pulas dengan satu tangannya melingkar di perutku.
Seperti yang sudah direncanakan, aku dan Mada pergi ke rumah sakit tempat dimana istrinya Hans melahirkan pada pukul sebelas pagi. Ketika sudah sampai di ruangan, hanya ada Hans yang menemani istrinya yang tengah menggendong bayi kecil mereka.
Aku menyalami Hans dan memeluk istrinya, lalu beralih mengusap pipi lembut bayi Hans menggunakan punggung jari telunjuk. Bayi yang diberi nama Asyila Anandita Garausy itu menggeliat tanda merespon sebuah sentuhan. Aku tersenyum lalu memandang Mada yang juga ikut tersenyum.
"Mau gendong gak Mbak?" Tanya Yanda, istri dari Hans.
Dengan cepat aku mengangguk dan dengan hati-hati, Yanda memindahkan baby Asyila kepangkuan ku. "Lucu banget Yan, Asyila lahirnya berapa kilo?"
"Tiga setengah mbak. Lahirnya agak susah, soalnya kata dokter jalan keluarnya sempit." Jelas Yanda sambil membetulkan posisi duduk yang di bantu oleh Hans.
"Sakit banget ya Yan?" Aku meringis mendengar penjelasan dari Yanda.
"Itu namanya perjuangan seorang ibu Mbak. Mbak juga pasti merasakan nanti. Semoga cepat nyusul ya mbak." Yanda terkekeh sambil memegang tanganku.
"Iya nih mas, kapan nyusul?" Tanya Hans.
"Secepatnya." Jawab Mada yang ditanggapi oleh tawa Yanda dan Hans, sedangkan aku? Aku hanya bisa mengulum senyum sambil menahan malu.
Mada menghampiri ku dan berdiri di belakangku, memeluk ku sambil menatap wajah baby Asyila. Sumpah, suamiku ini kenapa? Padahal Hans dan Yanda mungkin diam-diam mencuri pandang kearah kami.
"Mas, malu sama Hans dan Yanda." Ucapku setengah berbisik.
"Mereka juga faham sayang, jadi gak usah malu." Mada mengecup pipiku sekilas namun dapat membuat wajahku memanas, mungkin wajahku kini sudah terlihat semerah tomat karena menahan malu.