Aurora berjalan cepat menyusuri kkoridor rumah sakit dengan Galaksi yang ada di rangkulannya. Gadis itu bahkan tidak memperdulikan lagi peluh serta darah yang sudah membasahi seluruh seragam sekolahnya.
"DOKTER! SUSTER! TOLONG SAYA!" Aurora berteriak panik karena kondisi Galaksi yang terlihat semakin memburuk.
Tak berapa lama, terlihat seorang dokter dan juga beberapa perawat keluar dari ruangan UGD dengan terburu buru. Mereka semua berlari menghampiri Aurora dengan sebuah brankar rumah sakit.
Aurora langsung meletakkan Galaksi di atas brankar di bantu oleh beberapa perawat yang ada di sana. Gadis itu menggenggam erat tangan Galaksi lalu menatap sendu kearah lelaki itu.
"Nona Aura." Panggilan dari sang Dokter membuat Aurora langsung refleks menoleh. Dia adalah Dokter Andreas. Dokter yang selalu menangani mamanya, Mentari.
Tiba tiba, sekeping memori masa lalu kembali terputar di kepala Aurora. Kali ini, gadis itu tak mampu lagi untuk menahan air matanya. Entah mengapa, jika ada sesuatu yang berhubungan dengan mamanya, Aurora tidak akan bisa untuk menahan air matanya ini. Kristal bening itu jatuh begitu saja membasahi pipinya tanpa ia izinkan.
"Dokter, gimana keadaan Ma... Ma?" Tanya Aurora dengan suara bergetar.
"Maaf Nona, Nyonya Mentari belum ada perkembangan sama sekali. Kondisinya masih tetap sama, koma." Jawab Dokter Andreas yang membuat bibir Aurora bergetar. Isak tangisnya semakin terdengar saat mengingat kondisi mamanya yang hanya terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Kondisi itulah yang paling ia benci. Kondisi dimana mamanya sedang berjuang untuk mempertahankan antara hidup dan mati. Sedangkan ia sama sekali tidak bisa berbuat apa apa. Hal itulah yang membuat Aurora merasa seperti orang yang tidak berguna di dunia ini.
Gadis itu mengalihkan tatapannya kearah Galaksi yang sudah diberikan selang oksigen agar lelaki itu lebih mudah bernafas. Aurora berjalan mendekati Galaksi lalu mendekatkan wajahnya kearah telinga lelaki itu.
"Lo harus selamat Gal. Gue janji, kalau lo udah buka mata lo lagi. Gue mau jadi pacar lo..." Bisik Aurora lembut sambil tersenyum kecil.
*****
Aurora berjalan pelan memasuki sebuah ruangan. Derap langkah kakinya terhenti ketika melihat seorang wanita cantik yang sedang terbaring lemah di ranjang rumah sakit dengan kedua mata tertutup.
Hati Aurora seakan terasa tertusuk ketika melihat sang mama tercinta yang tak kunjung bangun dari tidur panjangnya. Perlahan tapi pasti, Aurora melangkahkan kakinya menuju ranjang dimana mamanya berada.
Gadis itu duduk di sebuah kursi yang ada di samping ranjang mamanya, Mentari. Aurora menyentuh lembut tangan Mentari lalu memperhatikan wajah cantik milik mamanya itu. Gadis itu kembali menitikkan air matanya ketika melihat banyaknya alat medis yang melekat di tubuh mamanya itu.
"Ma, Aura dateng ma. Aura mohon mama bangun ya ma. Aura kangen banget sama mama, Aura kesepian tanpa mama di rumah." Lirih Aurora sambil mengusap lembut tangan Mentari.
Aurora menarik nafasnya panjang lalu menghembuskannya perlahan.
"Ma, Aura mau curhat ya." Aurora terdiam sejenak lalu kembali melanjutkan ucapannya. "Hari ini, trauma Aura balik lagi Ma. Trauma yang selalu ngingetin Aura sama Mama itu balik lagi tanpa Aura izinin." Ucap Aurora dengan raut wajah sedih.
"Tapi untung aja ada seorang cowok baik yang berhasil nyelamati Aura dari trauma itu Ma. Cowok itu Galaksi Ma, Galaksi Ivander. Dia tuh orangnya ngeselin banget deh Ma, dulunya dia itu musuh bebuyutan Aurora di sekolah ma. Tapi Aura nggak tau Ma, tiba tiba aja rasa benci itu menghilang. Rasa benci itu hilang dan tergantikan dengan sebuah rasa yang Aura juga nggak tau perasaan apa ini sebenernya Ma. Apa mungkin ini cinta Ma?" Tanya Aura dengan pandangan sayu kearah Mamanya. Di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Aurora sangat ingin agar Mamanya itu kembali membuka mata dan kembali berkumpul bersama dirinya.
"Mungkin bener apa kata mama dulu. Jangan terlalu benci sama seseorang. Karena benci sama cinta itu hanya beda tipis."
"Aura bingung sama perasaan Aura sendiri ma. Di satu sisi, Aura masih belum bisa lupain Dio. Tapi di sisi lain, entah kenapa hati Aura nyuruh Aura agar bisa nerima Galaksi." Lanjut Aurora dengan sorot mata sayu. Air matanya masih terus mengalir seiring dengan bunyi detakkan yang di hasilkan oleh alat medis yang berada di sampingnya.
"Ma, Aura butuh mama. Aura punya satu permintaan untuk Mama, kembali Ma. Aura mohon Mama kembali, Aura kangen Mama." Aurora mengusap kasar air mata yang mengalir deras di pipinya. Gadis itu benci Air mata. Ia membenci kristal bening itu karena seumur hidupnya ini, hanya selalu di hiasi oleh air mata kepedihan itu. Selama ini, Aurora belum pernah sama sekali menitikkan air mata kebahagiaan, hanya air mata kepedihan saja yang selalu menemaninya.
"Aura akan selalu tunggu Mama sampai mama buka kedua mata mama. Aura nggak mau mama sama kayak Dio. Cukup Dio aja yang pergi ninggalin Aura, tapi Mama jangan Ma. Aura pergi ya Ma..." Lirih Aura lalu mengecup pipi kanan Mentari. Gadis itu beranjak dari duduknya lalu pergi meninggalkan ruangan rawat Mamanya itu. Aurora tidak bisa berlama lama di dalam ruangan itu. Karena ia tidak pernah sanggup melihat mamanya yang terbaring lemah seperti itu.
"Aura bakalan tunggu Mama bangun Ma. Aura sayang mama..."
*****
Aurora membuka perlahan pintu ruang rawat Galaksi. Gadis itu tersenyum kecil saat melihat wajah damai Galaksi yang sedang pulas tertidur.
Aurora berjalan mendekati Galaksi lalu duduk di kursi yang ada di samping ranjang lelaki itu. Satu tangan Aurora terulur untuk mengelus lembut rambut hitam milik Galaksi. Gadis itu sedikit tertegun ketika menyadari wajah Galaksi yang terlihat sangat tampan ketika lelaki itu sedang tertidur seperti ini.
Aurora berdeham pelan sambil berusaha untuk menetralkan detak jantungnya yang berdetak dua kali lebih cepat saat ia sedang menatap Galaksi lekat seperti ini.
"Gal, sebelumnya gue mau bilang makasih sama lo karena lo udah nyelamatin gue dari cowok cowok sialan itu. Gue juga minta maaf ya karena lo nolongin gue, lo jadi celaka kayak gini." Ujar Aurora dengan raut wajah menyesal.
Gadis itu menarik nafasnya dalam lalu kembali menatap wajah Galaksi. Aurora berdecak kesal karena Galaksi yang masih belum membuka matanya juga, sama seperti Mamanya. Gadis itu hanya takut jika Galaksi akan bernasib sama dengan Mamanya, Mentari.
"Lo kapan bangunnya sih Kutub? Aish! Kalo lo mati, entar siapa yang bakalan jadi musuh gue?" Decak Aurora.
Namun sedetik kemudian, gadis itu langsung memukul mulutnya sendiri karena baru sadar dengan apa yang ia ucapkan barusan.
"Eh sorry Tub! Gue nggak bermaksud nyumpahin lo biar mati. Etdah! Emang dasar ini mulut enggak punya ahlak! Lo jangan mati ya Tub. Entar kalo lo mati, gue lagi yang lo datengin. Iddihhh amit amit dah! Gue nggak mau lo gentayangin ya. Awas aja lo kalo berani datengin gue, bakalan gue tampol lo! Mau?" Ancam Aurora sambil menunjukkan satu kepalan tangannya kepada Galaksi yang masih tertidur.
Aurora mendengus sebal karena masih tidak ada respon sama sekali dari Galaksi. "Tau ah! Susah ngomong sama orang bego! Nggak ada jawab jawabnya." Cibir Aurora samil menggerutu tidak jelas. Yaiyalah neng nggak di jawab, kan orangnya lagi pingsan atuh neng!
"Tub, gara gara ngerangkul lo tadi, badan gue jadi pegel semua anjirrr! Makanya Tub, kalo punya badan tuh kira kira napa? Udah kek buldoser aja! Maka dari itu, lo harus tanggungjawab. Gue ngantuk, gue pinjem tangan lo ya..." Ujar Aurora lalu segera menarik tangan Galaksi dan langsung meletakkan kepalanya di tangan kekar lelaki itu sebagai bantal.
Hanya ada satu kata yang ada di kepala Aurora saat ia berada di posisi itu, nyaman. Entah mengapa ia merasa sangat nyaman saat berada di dekat Galaksi seperti ini. Tak butuh waktu lama, gadis itu sudah tertidur pulas dan mulai memasuki alam mimpinya.
Galaksi membuka kedua matanya lalu terkekeh pelan. Sebenarnya sedari tadi, ia terus berusaha untuk menahan tawanya mati matian ketika gadisnya ini sedang mengomel ngomel tidak jelas. Lelaki itu memang sudah sadarkan diri saat Aurora keluar dari ruangannya tadi.
Akan tetapi, Galaksi memang sengaja kembali menutup matanya dan berpura pura pingsan saat Aurora kembali memasuki ruangannya. Ia hanya ingin tau, apakah gadis itu benar benar khawatir dengan keadaannya saat ini.
Galaksi mendengus kesal teringat ucapan Aurora tadi. Badannya mirip buldoser? Hei! Pujian macam apa itu? Badan ideal seperti ini ia bilang buldoser? Wah! Benar benar keterlaluan! Dasar Nenek Lampir!
Galaksi mengelus lembut surai hitam milik Aurora. Lelaki itu tersenyum sembari terus menatap gadis yang sedang tertidur lelap di sampingnya itu.
"Lo nggak perlu bilang makasih ataupun maaf sama gue Ra. Karena bagi gue, lo itu adalah sebagian hidup gue yang harus gue jaga sepenuh hati gue. Gue tau lo emang belum sepenuhnya mencintai gue, sama seperti gue yang belum sepenuhnya mencintai lo. Tapi gue yakin, cepat atau lambat pasti gue dan lo bisa saling mencintai. Entah kenapa, gue selalu ngerasa nyaman saat gue berada di deket lo. Gue ngerasa kalo lo itu mirip banget sama seseorang di masa lalu gue." Ujar Galaksi sembari terus membelai rambut panjang Aurora.
"Dia adalah orang yang sangat berarti bagi gue Ra. Dia orang yang selalu gue sayang dulu. Dan saat pertama kali gue liat lo, gue udah sadar akan kemiripan lo sama dia. Akan tetapi, saat itu gue masih belum berani deketin lo." Ungkap Galaksi dengan wajah sendu.
"Hingga sampai saat ini, gue baru sadar kalo gue mulai tertarik sama lo. Sebenernya, gue juga masih bingung tentang perasaan gue ini. Tapi entah kenapa, hati gue selalu nyuruh gue supaya makin deket sama lo. Dan gue akui, gue emang udah mulai suka dan sayang sama lo. Bahkan di dalam diri gue sendiri, gue udah janji akan selalu ngelindungin lo gimanapun caranya."