Hari demi hari terus berganti, sekolah selalu ramai oleh para insan yang datang ke sekolah untuk menimba ilmu—hening sekolah hanya jika langit di ganti gelap dan tanggal-tanggal merah.
Perguliran peringkat mengenai beasiswa terus bergantian menempat peringkat pertama dan total jumlah perlombaan medali yang di dapatkan. Terlihat di papan prestasi, kandidat yang memiliki medali emas dan jumlah medali yang paling banyak bisa menggeser para kandidat yang lain.
Anet telusuri papan yang berisikan para kandidat itu dengan matanya yang bulat. Kini ia tengah berada di peringkat dua dengan Firham yang berada di peringkat atas dan Helena masih menempati peringkat tiga. Namun, yang membikin Anet heran kenapa Jane masih bercokol dengan empat medali dan stagnan di posisi terakhir. Jane terkenal dengan kemampuan strateginya yang baik, padahal dengan kemampuannya itu dia bisa meraih banyak medali di setiap perlombaan. Dia memenangkan lomba catur sebanyak dua kali, olimpiade komputer dan kepiawaiannya dalam diplomasi mampu mendapatkan posisi pertama pada perlombaan itu.
Padahal sebelum ujian akhir semester tiga ini, banyak perlombaan yang berkaitan dengan kemampuan Jane. Anet sendiri yakin jika Jane mengikuti lomba itu dia pasti akan langsung membawa piala kemenangannya karena bakatnya. Jane juga bukan orang yang lalai jika menyoal informasi apa pun dan tidak mungkin mengabaikan beasiswa sebesar ini. Sebenarnya apa yang Jane rencanakan.
**
Anak-anak sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Walaupun perpustakaan tempat yang identik dengan hening, namun kendati hening itu membuat ilmu mereka bertambah karena ulah bacaan.
Kaki Helena terus berjinjit hendak gapai benda kotak yang tebal di atas rak. Tinggi badannya tidak mampu menggapai barang yang ingin ia ambil. Tetapi sekonyong-konyong tangan kekar itu mengambil buku yang dari tadi ingin Helena ambil.
Helena pun membalikkan tubuhnya dan tatapannya saling beradu dengan pemilik tangan kekar itu—ternyata orang tersebut adalah Iqbal.
“Makanya tinggiin tuh badan, biar nyampe kalo ngambil buku,” Iqbal pun tersenyum sesudah kalimat itu ia lontarkan sehingga lesung pipinya terukir di wajahnya. Adegan itu harus berhenti karena sahutan seorang perempuan.
“Iqbal.”
Mereka menoleh secara bersamaan, Helena pun memilih pergi dan tak lupa ia ucapkan terima kasih atas bantuan yang Iqbal berikan.
**
“Kamu kok pucet sayang? Kamu lagi sakit?” tanya Iqbal sambil menyentuh dahi kekasihnya dengan punggung tangannya. Anet menyeka hidungnya dengan tisu untuk menghapus lendir basah yang takut-takut akan basahi atas bibirnya.
“Aku kurang istirahat aja.”
“Kamu kan waktu itu janji bakal jaga kesehatan, semalem tidur jam berapa?” tangan kekar itu ia gunakan untuk mengelus kepala Anet.
“Jam setengah 3 kok, gak kemaleman banget kaya waktu itu.”
“Kamu kok malah bergadang, pasti gara-gara belajar buat ikut lomba kan. Kamu udah minum obat? Kalo masih kurang baikan mending kamu istirahat di UKS. Besok juga kirim surat sakit aja, tunggu kamu sampe pulih dulu.”