Semester 3 telah usai, anak-anak keluar dari ruangannya masing-masing tak lupa teriakan mereka yang menggema karena berhasil melewati semester 3 ini. Namun, lesu terpatri di wajah Anet, pasalnya yang dia takutkan ternyata terjadi juga, pengalaman yang tak pernah ia rasakan sebelumnya—peringkat Anet merosot turun ke peringkat 3. Sedari dulu Anet terbiasa dengan menetap di peringkat pertama berturut-turut, tapi ia harus merasakan kepahitan turunnya peringkat di semester sekarang—semester 3. Kini ia serasa menjadi alazon*³) ditertawakan benda mati.
Di mobil, Anet sandarkan kepalanya ke dinding mobil, barangkali kepala yang ia sandarkan ini bisa mengurangi rasa sakit kepalanya, matanya juga hanya pandangi jalanan dengan tatapan kosong, yang ada di kepalanya sekarang adalah agar bisa langsung sampai di rumah yang menjadi tujuannya di perjalanan pulang sekolah saat ini, ia pulang dengan membawa kesedihan pasca rapor yang berwarna biru tua itu sampai ditangannya. Pikirannya tertuju saat kesedihan ini berkecamuk pada papanya—barangkali papanya dapat merangkul dan menepuk-nepuk pundaknya untuk menenangkan kesedihannya agar tidak semakin larut.
“Pa,” panggil Anet yang melihat papanya duduk di kursi berwarna merah tua
“Iya sayang? Kamu kok nangis gitu? Jangan bilang …,” ucapan papanya terpotong karena Anet menyela pembicaraannya sebelum papanya bereskan kalimat yang ia utarakan.
“Peringkat aku di kelas turun Pa, sekarang aku di peringkat 3,” sedihnya tidak bisa ia ajak kontribusi dan akhirnya tangisan Anet pun pecah.
“Apa kamu bilang? Turun? Kenapa bisa begitu?” dahinya mengernyit heran dan terlihat sorot matanya yang cabarkan kemarahan.
“Aku terlalu fokus sama lomba,” ia terisak saat menjawab pertanyaan papanya.
“Sampai … sampai aku terlalu mengabaikan pelajaran kelas. Akhirnya aku gak bisa mengimbangi dan berakibat turun sama peringkat ku,” bicaranya terputus-putus karena sesenggukan tangisannya yang memberi jeda di setiap kalimat yang Anet utarakan.
“Papa gak mau tahu, pokoknya kamu harus bisa dapet peringkat satu lagi gimana pun caranya. Papa bakal tambahin jadwal les kamu dan beliin banyak buku supaya kamu lebih rajin belajar.”
Alih-alih dapat pelukan dan kalimat yang membujuk agae sedih Anet hilang, papanya malah meninggalkan Anet dengan emosinya yang kesal karena berita ini. Anet pikir dengan bercerita pada papanya, dia dapat meredakan sakit hati dan tangisannya, tapi realitanya air matanya berdesakan keluar dari matanya.
**
Semester 4 ini akan menjadi semester yang di tempuh para banyak siswa untuk mendapat nilai bagus dan dapat bersaing kembali di semester 5. Beberapa lomba telah Anet ikuti dan berhasil kembali merebut posisi peringkat pertamanya di papan prestasi. Walaupun peringkat kelasnya masih dalam proses raihan untuk mendapatkan posisi pertama lagi, tapi Anet bersyukur jika ia bisa kembali lagi ke posisi pertama di papan prestasi ini.
Pandangannya ia telisik pada medali-medali yang ia dan para kandidatnya capai. Namun, ada sesuatu yang membikin Anet heran sampai sekarang. Kenapa Jane tidak mengikuti lomba lagi dan masih menetap dengan 3 medali. Padahal kepiawaiannya dalam strategi bisa membuat dirinya mendapat banyak medali.
Orang yang berada dalam keheranan Anet pun ternyata ikut memperhatikan perkembangan prestasi yang di raih oleh para kandidat beasiswa yang berkesempatan kuliah di luar negeri.
“Lo, gak bakal ikut lomba lagi Jane? Kesempatan kita buat kumpulin medali sebentar lagi buat bisa ikut lomba-lomba,” tanya Anet yang pandangannya ia tepikan pada Jane.
Yang ditanya hanya tersenyum melihat papan prestasi kemudian berujar, “Tenang aja, An. Gue bakal ikutan lomba dan pengen jadi orang yang berhasil dapetin beasiswa itu. Lo gak usah khawatirin orang lain dan fokus sama target Lo sendiri.”