Anet kini lebih sering bergadang dan memangkas waktu tidurnya secara berlebihan, bahkan kadang dia tidak tidur karena harus ia bagi waktunya dengan belajar, karena tekanan dari papanya juga yang melihat nilai anaknya makin turun. Anet kepalang stres dengan lingkungan yang selalu menyebutnya egois. Anet sering terperangkap lamunan memikirkan orang-orang yang memanggilnya begitu. Dia acap kali menangis tiap pikirannya merekam ingatan yang menyakitkan dan lukai perasaannya. Tenggorokannya sampai sering ia tekan seperti cekikan agar sakit di tenggorokannya ulah menahan tangis bisa berhenti. Sebetulnya Anet benci kegagalan—apalagi kegagalan menahan tangisnya. Ia menangis lagi lalu tenggorokannya selalu ia cekik barangkali sakit-sakitnya hilang, namun dia melonggarkan kembali cekikannya dan kembali tersedu. Bahkan Anet sekarang sering mengonsumsi obat anti depresan untuk menekan rasa sakitnya.
**
Pohon yang rindang menjadi tempat Jane berteduh bersama laptopnya yang bertengger di pahanya dengan flashdisk yang tertancap di salah satu sudut laptop itu. Senyumnya terpatri hiasi wajahnya yang lancip karena senang bahwa waktu untuk perlombaan akan habis dan pengumuman mengenai pemenang beasiswa akan segera di umumkan. Jane yakin dan percaya diri bahwa beasiswa tersebut akan dimenangkan olehnya.
“Wah ternyata sifat koruptor ayahnya nurun ke anaknya ya,” ujar seorang laki-laki berambut tebal menghampiri Jane yang tengah duduk di bawah pohon rindang, ia ikut menemani Jane yang sendirian itu.
“Maksud Lo apa ham?” tanya Anet mengernyit heran.
“Gue denger Bu Risma kehilangan flashdisk dia waktu terakhir kali pembelajaran flashdisk nya dama kaya yang nempel di laptop Lo.”
Jane pun melihat flashdisk yang dimaksud Firham yang menancap di sudut laptopnya. Jane pun terlihat pucat saat Firham menanyakan mengenai benda kecil itu.
“Lo nuduh gue yang nyuri flashdisk Bu Risma?” tanya Jane dengan nada marah dan kaget.