GENIUS

Apifayi
Chapter #1

Prolog

AKU MENYAKSIKAN langsung kemunculan Triangle.

Itu terjadi sepuluh tahun lalu. Aku baru sembilan tahun. Aku sedang berada di balkon kamarku, menyaksikan matahari terbit dari ufuk timur, di tingkat sebelas gedung Ultra Apartement. Sama sekali tidak menyangka, itu terakhir kali aku melihatnya, maksudku matahari.

Aku mendecak, teringat harus segera berangkat sekolah. Rutinitas sekolah benar-benar membosankan, aku malas berpikir, saat Triangle muncul, baru aku mulai rajin berpikir.

Hampir aku berbalik saat sebuah denyar terasa di udara, tidak seperti angin, tapi terasa semacam hawa yang tidak dingin.

Orang-orang yang berada dibawah sana berhenti mendadak. Semua kendaraan, mobil, motor, bahkan sepeda terhenti di tempat. Meninggalkan pengemudinya dalam kebingungan.

Beberapa menatap langit, memasang wajah heran, tapi lebih banyak yang menyumpah meski aku tidak bisa mendengarnya, hanya bisa melihat mulut mereka bergerak dan ekspresi tajam, itu sudah mempresentasikannya.

Saat aku menyadari sebuah tempat di jalan raya kosong, langit berubah temaram. Cahaya lebih fokus di tengah-tengah jalan, di sekitarnya mobil-mobil membelok ke kiri dari arah masing-masing. Mereka seperti sengaja menciptakan ruang kosong yang sekarang bercahaya di sana, seakan sebuah senter besar dari langit sedang menyorotnya.

Di sekitarnya, udara berdenyar lembut, bergelombang pelan, dan menciptakan serbuk peri kecil yang menghilang setelahnya. Itu terlihat seperti udara yang dibawahnya terdapat minyak panas, atau kau mungkin pernah melihat dari kejauhan padang, mungkin lapangan besar di siang hari yang begitu terik.

Aku pernah melihatnya, riak di udara, berdenyar dan memercikkan serbuk kuning pudar di kejauhan. Persis dengan yang kulihat sekarang.

Orang-orang memenuhi jalan, hanya beberapa tempat yang masih bisa dibilang kosong, selebihnya padat. Aku tidak menyadari kapan orang-orang mulai mengerumuni cahaya itu, bahkan seluruh pengemudi sepertinya sudah tidak peduli pada kendaraan mereka. Fenomena yang terlihat, jauh lebih menarik.

Aku merunduk, berusaha mengenali seseorang diantara kerumunan di depan gedung Ultra. Rambut kuncir dengan pita kuning pucat, baju oblong putih, dan tas sarapan yang terjinjing di tangannya. Itu, ibuku.

Lihat selengkapnya