GENIUS

Apifayi
Chapter #2

#1 Genius

AKU TERLONJAK, melompat dari tempatku berdiri saat sebuah suara rusuh terdengar dari dalam gedung. Sudah sepuluh tahun berlalu sejak Triangle muncul, tidak satupun suara aneh yang bisa dianggap biasa lagi.

Terutama jika kau berada di kawasan sekat IC, dan aku memang berada disini. Setelah terpisah dari teman-temanku yang awalnya hanya mencoba meneliti di sekitaran sekat, berujung aku masuk terlalu jauh ke dalam kawasan Infite, tersesat. Tidak tahu cara pulang, dan buta arah.

Tapi katakanlah kalau aku punya kompas, aku tetap tidak tahu cara menggunakannya. Umurku masih enam tahun saat Triangle terjadi, saat itu otakku masih berada dalam pemikiran–Es krim jauh lebih berharga daripada buku.

Tapi tidak lagi, informasi sekecil apapun jauh lebih berharga dari es krim sekarang. Terlebih es krim sudah tidak ada, lenyap bersamaan dengan kemunculan Genius, hilang dalam kerusakaan akibat ulah mereka. Para Genius generasi pertama.

Aku memutar tubuh, dan mengendap-endap ke samping gedung, sebuah bank yang dulunya dikenal sebagai Bank Sentral, sekarang hanya ada rosngsokan mengerikan. Dari yang kudengar, bank ini dibakar oleh seorang Genius yang memiliki vetior Stump. Bertahun-tahun yang lalu, pastinya aku tidak tahu.

Aku melompati jendela yang setengah kusennya hilang, jelaga mengotori bajuku saat aku berguling di lantai, aku tidak mengira jendelanya lumayan tinggi. Kemudian aku berputar dan bersembunyi di belakang pilar, di dekatnya terdapat lemari penyimpanan berkas-berkas gadaian, hanya sisa debu jegala akibat terbakar. Ada sekitar lima lampu otomatis di dalam gedung yang masih menyala redup, cukup untuk membantuku memindai dalam keadaan temaram.

Bank Sentral luar biasa besar, pilar-pilarnya masih berdiri tegak meski gosong, terdapat beberapa bilik yang kutahu dulunya dibatasi kaca. Sekarang hanya tinggal remah-remah kekeluargaan imitasi disana, tidak ada sedikitpun aura formal yang tertinggal. Lenyap dalam api Stump.

Suara rusuh tadi terdengar dari bilik tengah, yang kutebak sebagai bilik kredit. Entah siapa disana, lebih baik aku tidak mengharapkan seorang Genius liar–yang benar-benar Genius liar.

Aku memindai ruangan, semuanya masih utuh kecuali benda berbahan kertas, tentu saja. Perabotan hanya berubah warna menjadi, yah gosong. Bau asap telah berubah menjadi apak kering. Benar-benar tidak baik untuk tenggorokan.

Aku beralih ke lorong yang mengarah lebih dalam ke jantung bank. Berjinjit tinggi saat melewati meja petugas kredit, sungguh menggelisahkan kenapa aku malah masuk ke sini alih-alih kabur. Tapi tidak, aku terus saja melangkah pelan.

Kepala kutundukkan, berharap siapapun itu tidak menyadari aku ingin lewat. Namun, aku malah mematung di sana. Mataku tanpa sadar melirik, sejujurnya aku memang penasaran. Dan aku menyesal.

Seorang laki-laki, besarnya seukuran truk gandeng, sedang berjongkok di balik meja, menggeledah semua laci dan menghamburkan isinya saat dirasa tidak ada yang berguna.

Aku menegak, mematung di tempat. Jelas dia Genius, tubuhnya dua kali lipat seorang algojo. Bayangkan seorang pria penebang pohon yang habis menelan pria penebang pohon lainnya. Iya, sebesar itu.

Aku mundur dan menabrak dinding bilik lain dengan punggungku, tanpa sadar meringis dan membuat laki-laki itu mendongak. Menatapku nyalang, melotot, kemudian berteriak, "cewek sial! Apa yang kau lakukan di sini?!"

Tanpa sadar mulutku membuka, suaranya keras sekali. Menggelegar seperti petir, bisa-bisa dia merubuhkan gedungnya ini hanya dengan beberapa kali teriakan.

Aku masih saja berdiri, agak hilang akal. Saat laki-laki itu keluar dari balik bilik dan mendompak ke depanku dengan dua kaki penggilas bajanya, baru aku sadar dan buru-buru kabur. Tapi dia merenggut ujung bajuku dibagian samping kiri dan menahanku di tempat.

"Kau siapa?!" Suaranya serak, dalam dan berat, tidak setinggi tadi, tapi tetap saja itu nada yang sangat keras.

Aku menarik bajuku dari tangannya, dengan susah payah, sekuat tenaga, tapi tidak bisa lepas.

"Jawab!" gertaknya.

Aku menggeram kesal, takut juga sebenarnya. "Apa urusanmu!" semburku, aku belajar dari pengalaman untuk tidak langsung memberitahu profilku dan harus selalu bersikap tangguh, pada siapapun.

Kemudian aku berdiri agak miring karena dia menyentak bajuku lebih kuat lagi setelahnya.

"He-he ... aku hanya ingin lewat," kataku, terkekeh kecil membela diri.

"Kau tidak terlihat seperti IC," katanya seraya memindai seluruh tubuhku dengan matanya yang gelap. Aku mengangguk kaku, "jelas bukan, aku ... aku hanya manusia biasa."

Lihat selengkapnya