GENIUS

Apifayi
Chapter #3

#2 Vetior

AKU MENGANGA, jiwaku rasanya sudah hilang tersapu angin melihat ledakan itu. Keadaan yang temaram tidak menahanku untuk menyaksikan bangunan itu rata ke atas tanah.

Alter berbalik dan bisa kulihat ketakutan di matanya saat menatap jauh ke belakangku. Dia terlihat ingin mengencingi dirinya sendiri.

Aku berbalik ke belakang, lututku agak bergetar. Dack disampingku terus-menerus menyumpah. Wanita seksi yang mengejar kami berada lumayan jauh di belakang, itu karena dia berhenti, kedua tangannya terentang dan baru saja diturunkan.

Aku yakin sekali dia dalang dari runtuhnya pangkal gedung yang baru saja kulihat. Wanita itu salah satu Genius liar yang kumaksud, yang memang perlu di tangkap IC. Walau tetap tidak bisa dibenarkan untuk disemai.

Aku tidak tahu banyak tentang jenis-jenis Genius ataupun vetiornya. Tinggal di camp bersama manusia biasa membuatku harus menutupi jati diriku sebagai Genius, atau aku akan di angkut ke Graha Semai kepunyaan IC jika rahasiaku terbongkar. Karenanya aku tidak bisa mempelajari tentang Genius lebih mendetail, bahkan tidak leluasa menggunakan vetiorku sendiri.

IC terbentuk di tahun keempat Triangle, mereka ditugaskan untuk memburu Genius liar. Karena dua tahun sebelum IC terbentuk, lebih banyak Genius liar, Genius liar adalah manusia yang menyadari dirinya memiliki kemampuan super, dan dengan bar-barnya berkeinginan untuk menguasai dunia.

Menurut kabar yang kudengar atau kadang-kadang kubicarakan di camp, para Genius generasi awal saling bertarung untuk merebut kekuasaan. Pemerintahan sudah cukup lumpuh ditahun pertama Triangle, dan sama sekali lenyap di tahun ketujuh saat lebih banyak Genius liar yang muncul. Hanya IC yang masih ada.

Namun sayang, IC membelot terlalu jauh setelah runtuhnya peradaban undang-undang. Mereka yang dulunya dianggap pahlawan malah menyeleweng seketika, beralih memburu seluruh Genius untuk di ekstrak menjadi teknologi berkuatan tinggi di bawah perusahaan besar Chain Coprs. Padahal dulu, keamanan masih cukup terjamin dengan adanya Genius biasa yang ikut membantu.

Namun, semua berubah saat IC menyatakan pemburuan kepada seluruh Genius, dan menyamaratakan sebutan Genius durjana dan Genius biasa sebagai Genius liar. Aku membenci IC, melebihi darah yang mengalir di tubuhku. Meski begitu, kenyataan pahitnya bahwa ayahku bagian dari mereka.

Tapi sekarang, aku harus membenci wanita merah itu dulu. Entah sejak kapan dia mendekat dan sudah berdiri lima langkah diantaraku dan Dack. Sementara Alter, sama sekali tidak bergerak dari tempatnya.

"Apa yang dia inginkan?" tanyaku, melirik Dack. Laki-laki itu malah mengumpat, matanya lebih terlihat jengkel ketimbang takut, lain dengan Alter yang terlihat berkeinginan mengubur dirinya sendiri di dalam reruntuhan.

"Apa yang kau inginkan, cewek sial?!"

Aku berjengit, berpikir Dack mengumpat padaku. Tapi dia menatap wanita itu nyalang, melotot melebihi yang bisa dilakukannya.

"Dia," balas wanita itu, menatap lekat kebelakangku seraya menjilat bibirnya perlahan. Aku memutar dan menemukan Alter berdiri merunduk, dia entah kapan sudah berpindah ke belakangku.

"Cewek gila itu jatuh cinta padaku," beritahunya. Wajahnya ngeri, dan aku tidak lebih dari merasa bodoh saat melihatnya. "Dia ingin aku jadi suami masa depannya."

Aku berjengit, secara reflek menjauh dari depan Alter dan memperlihatkannya utuh-utuh pada wanita itu. Jelas, wanita yang sedang jatuh cinta terlalu susah untuk dilawan. Lebih baik menghindar, terlebih jika itu wanita bar-bar.

"Itu karena kau menggodanya, bangsat!" sembur Dack, dia terlihat ingin menendang Alter dari tempatnya berdiri. Tapi, dia menahan diri karena wanita itu tiba-tiba tertawa histeris.

Aku melotot, masih tidak mengerti. Saat wanita itu meledakkan sebuah beton ringsek disampingnya, aku buru-buru mundur dan Alter memegangi lengan bajuku dari belakang. Tangannya bergetar, aku meliriknya seraya terus menjaga pandangan ke arah wanita itu. Ledakan terdengar di beberapa tempat sembarang. Wanita itu melangkah ke depan, tersenyum miring, wajahnya lumayan cantik, tapi ada rona sinting disana. Meski begitu, aku menyadari umurnya mungkin sekitaran dua puluh ke atas.

Aku menoleh ke arah Alter, dia menyembunyikan diri di belakang tubuhku. Menggenggam lengan bajuku erat, dan mengigil. Entah apa yang sudah dilakukan wanita itu padanya. Dia terlihat seperti anak anjing yang habis diguyur air.

"Kau," kataku, Alter mendongak. "Kau kerempeng begini kenapa dia suka?"

Dia berdengap, membelalak. Kemudian tanah meledak di samping kakiku. Aku terlempar dan berguling di tanah, tubuhku rasanya remuk seketika, punggungku bergesekan dengan beton-beton ringsek, dan besi yang mencuat di tanah merobek beberapa bagian bajuku, sekaligus membuat kulitku terluka dan berdarah.

Alter terlempar kearah lain, aku mendapati laki-laki itu menelungkup menghadap lantai pecahan puing-puing. Dia masih bergerak pelan, ada luka gores yang lumayan besar di siku kirinya.

Lihat selengkapnya