GENOSIDA KESUNYIAN

Abdurrazzaq Zanky
Chapter #1

Bab I


 

BAGIAN PERTAMA


 Bab I

 Aku hidup di rumah siput. Di sebuah pinggiran masyarakat yang hampir runtuh. Lahir 16 tahun yang lalu dari sebuah keluarga yang bersekutu dengan kemalangan. Ibu seorang wanita jalang. Bapak seorang borunan yang tidak pernah pulang sejak entah kapan. Tak banyak hal yang patut dikenang dari bapak.

Dia sebenarnya punya bakat jadi orang baik. Tapi ditakdirkan tinggal di tempat yang salah. Di tengah kumpulan anjing engkau boleh menggarong, mengayau, membacok tiap hari, tapi jangan sekali-kali engkau berkhianat. Sekali berkhianat, mereka akan bersatu mengganyang dan mencabik-cabikmu. Menghapus riwayat kepahlawananmu dan mengingatmu sampai mati. 

Itulah moral utama di Kalahan, kesetiaan pada kumpulan. Moral para siput, para pengecut yang tidak pernah berani berhadapan dengan dunia di luarnya. Maka apabila marah, mereka akan melampiaskannya kepada barangsiapa yang paling lemah di antara mereka sendiri. Mereka sangat pandai menyimpan kesumat sambil menunggu waktu yang tepat untuk membalaskannya.

Tentang ibu, tak seperti bapak yang sampai saat ini masih sering disebut-sebut orang, riwayatnya tak banyak yang mau menceritakan, karena tak begitu melukai harga diri Kalahan. Hanya beberapa perempuan tua nyinyir yang kadang menyinggung-nyinggungnya secara sekilas, waktu aku kecil, dengan isyarat dan kata-kata mendua. Gabungan antara merasa kasihan dan geram. 

Maka aku mengingat, membayangkan sosok ibu sebagai sosok yang kabur saja. Timbul tenggelam seiring citra yang dilekatkan orang padanya. Sebagaiman raja-raja Banjar yang konon diperanakkan seorang puteri yang tercipta dari buih-buih sungai. Orang boleh percaya atau tidak. 

Dia sudah meninggal entah kapan. Maksudku, aku sendiri tidak menyaksikan kematiannya secara langsung. Namun cerita  yang sampai kepadaku adalah, dia meninggal dalam keadaan agak tidak terhormat, itu saja. Bagaimana keadaan itu, tidak pernah jelas bagiku. Persetan. Yang jelas sekarang aku di sini. Di rumah siput. Sebuah sudut terpencil yang bagi orang kebanyakan terlihat aneh dan ganjil. Terasing dan kesepian. 

Tapi di sinilah aku. Diletakkan begitu saja oleh suatu kekuatan gaib layaknya sebutir batu yang sejak dulu sudah mendekam di dasar sungai. Damai dan sejahtera. Tidak mencolok. Tapi orang tahu bahwa aku ada, karena mereka sering secara tak sadar menginjaknya.

Kenangan tentang ibu ini, kelak kusadari, adalah sebuah contoh nyata bagaimana manusia-manusia bermulut busuk bisa demikian durhaka, bermufakat mengotori sebuah jiwa murni. Jiwa seorang bocah yatim piatu yang tak punya tempat lain untuk meneduhkan rasa terbuangnya kecuali pada sebuah kenangan samar tentang ibunya. 

Sungguh aneh, sebuah fakta nyata bisa dihancur-leburkan oleh cerita-cerita khayal yang terus diulang-ulang. Bagiamana sebuah kepalsuan dirancang bersama untuk menghapuskan kenyataan. Tapi itulah seluruh sejarah Kalahan. Yakni kisah tentang pengingkaran diri. Pembatalan takdir. Penyangkalan yang terus-menerus terhadap jati diri. Penyerahan diri sepenuhnya pada cengkraman nasib yang misterius dan sunyi. 

Maksudku, apa yang mereka timpakan ke atas kepalaku, adalah cerminan paling tepat tentang watak dan kepengecutan mereka yang tak ada obatnya sampai akhir zaman.

Aku tumbuh bersama seorang kakak perempuan, penjual minuman keras yang terpaksa menghentikan usahanya karena keburu masuk penjara. Itu kata mereka. Nyatanya, ketika mereka yang tertangkap bersamanya satu persatu pulang, Pairah tak pernah datang sampai sekarang.

Lihat selengkapnya