BAGIAN PERTAMA
BAB I
Aku hidup di rumah siput. Di sebuah pinggiran masyarakat yang hampir runtuh. Lahir 16
tahun yang lalu dari sebuah keluarga yang bersekutu dengan kemalangan. Ibu seorang wanita ja-
lang. Bapak seorang borunan yang tidak pernah pulang sejak entah kapan. Tak banyak hal yang
patut dikenang dari bapak. Dia sebenarnya punya bakat jadi orang baik. Tapi ditakdirkan tinggal
di tempat yang salah. Di tengah kumpulan anjing engkau boleh menggarong, mengayau, memba-
cok tiap hari, tapi jangan sekali-kali engkau berkhianat. Sekali berkhianat mereka akan bersatu
mengganyang dan mencabik-cabikmu. Menghapus riwayat kepahlawananmu dan mengingatmu
sampai mati. Itulah moral utama di Kalahan, kesetiaan pada kumpulan. Moral para siput, para
pengecut yang tidak pernah berani berhadapan dengan dunia di luarnya. Maka apabila marah,
mereka akan melampiaskannya kepada barangsiapa yang paling lemah di antara mereka sendiri.
Mereka sangat pandai menyimpan kesumat sambil menunggu waktu yang tepat untuk membalas-
kannya.
Tentang ibu, tak seperti bapak yang sampai saat ini masih sering disebut-sebut orang, ri-
wayatnya tak banyak yang mau menceritakan, karena tak begitu melukai harga diri Kalahan. Ha-
nya beberapa perempuan tua nyinyir yang kadang menyinggung-nyinggungnya secara sekilas,
waktu aku kecil, dengan isyarat dan kata-kata mendua. Gabungan antara merasa kasihan dan
geram. Maka aku mengingat, membayangkan sosok ibu sebagai sosok yang kabur saja. Timbul
tenggelam seiring citra yang dilekatkan orang padanya. Sebagaiman raja-raja Banjar yang konon
diperanakkan seorang puteri yang tercipta dari buih-buih sungai. Orang boleh percaya atau tidak.
Dia sudah meninggal entah kapan. Maksudku, aku sendiri tidak menyaksikan kematiannya
secara langsung. Namun cerita yang sampai kepadaku adalah, dia meninggal dalam keadaan
agak tidak terhormat, itu saja. Bagaimana keadaan itu, tidak pernah jelas bagiku. Persetan. Yang
jelas sekarang aku di sini. Di rumah siput. Sebuah sudut terpencil yang bagi orang kebanyakan
terlihat aneh dan ganjil. Terasing dan kesepian. Tapi di sinilah aku. Diletakkan begitu saja oleh
suatu kekuatan gaib layaknya sebutir batu yang sejak dulu sudah mendekam di dasar sungai. Da-
mai dan sejahtera. Tidak mencolok. Tapi orang tahu bahwa aku ada, karena mereka sering secara
tak sadar menginjaknya.
Kenangan tentang ibu ini, kelak kusadari, adalah sebuah contoh nyata bagaimana manu-
sia-manusia bermulut busuk bisa demikian durhaka, bermufakat mengotori sebuah jiwa murni.
Jiwa seorang bocah yatim piatu yang tak punya tempat lain untuk meneduhkan rasa terbuangnya
kecuali pada sebuah kenangan samar tentang ibunya. Sungguh aneh, sebuah fakta nyata bisa di-
hancur leburkan oleh cerita-cerita khayal yang terus diulang-ulang. Bagiamana sebuah kepalsuan
dirancang bersama untuk menghapuskan kenyataan. Tapi itulah seluruh sejarah Kalahan. Yakni
kisah tentang pengingkaran diri. Pembatalan takdir. Penyangkalan yang terus-menerus terhadap
jati diri. Penyerahan diri sepenuhnya pada cengkraman nasib yang misterius dan sunyi. Maksud-
ku, apa yang mereka timpakan ke atas kepalaku, adalah cerminan paling tepat tentang watak dan
kepengecutan mereka yang tak ada obatnya sampai akhir zaman.
Aku tumbuh bersama seorang kakak perempuan, penjual minuman keras yang terpaksa
menghentikan usahanya karena keburu masuk penjara. Itu kata mereka. Nyatanya, ketika mereka
yang tertangkap bersamanaya satu persatu pulang, Pairah tak pernah datang sampai sekarang.
Dan aku bukan orang yang cerewet. Bagiku kabar itu cukup, dia tidak pulang. Aku tak bertanya
lebih jauh. Bila persoalannya jelas, cukuplah sudah. Jadi aku bisa memutuskan apa yang harus
dilakukan. Aku bisa mengurus hidupku sendiri. Itulah faktanya. Sejak dulu kami tak suka meli-
batkan orang lain dalam urusan pribadi. Sebisa mungkin kami menjauhkan diri dari sorotan. Na-
mun, nyatanya mereka tetaplah menyimak gerak gerik kami dengan seksama. Mencatat sisi-sisi
kelam kehidupan kami di masa lalu sebagai bahan olok-olok di kehidupan kami yang sekarang.
Tabiat manusia itu secara alami memang kejam. Seekor saja semut menggigitnya, seisi sarang
akan dibakar habis. Ketika sedang menghukum, mereka akan melupakan akal sehatnya sama se-
kali. Tapi apa dayaku, atau apa peduliku. Toh hidup terus berjalan, dengan atau tanpa mereka.