GENOSIDA KESUNYIAN

Abdurrazzaq Zanky
Chapter #2

BAB II


Bab II 


Aku terbangun ketika cahaya matahari persis menerpa muka. Lampu padam karena kehabisan minyak. Si Kuning keluar entah ke mana. Aku turun ke sumur mencuci muka. Kulihat si Kuning basah kuyup. Di mulutnya seekor tikus gemuk menggeliat-geliat. Aku meregangkan badan dengan nikmat. Membunyikan buku-buku jari, lalu masuk pondok untuk memanaskan rebusan singkong sisa tadi malam.

Aku makan berlambat-lambat. Menikmati setiap kunyahan seperti seorang raja sedang menikmati binatang buruan di kemahnya yang tentram. Yakni pemalas sejati yang biasa melingkar seharian di pembaringan. 

Akhir-akhir ini aku memang sering memikirkan kehidupan seorang raja. Bagaimana mereka hidup dari kemah ke kemah. Berburu dan membunuh sesuka hati. Menghamburkan kekayaan negara bersama teman-temannya sesama bajingan. Berjudi, menyabung ayam, di luar negeri kadang mereka menyabung manusia juga, belajar filsafat atau meramal nasib, pokoknya segala hal yang tak ada sangkut pautnya dengan faedah hidup dan keimanan. Hal-hal kecil yang sudah selayaknya bagi seorang pengangguran. Kalau bosan mereka akan menyamar jadi penyamun. Merampok rumah kepala dusun atau mencegat kafilah yang melintas di jalan sepi.  

Aku membayangkan bagaimana jadinya, bila satu saja dari para bangsat ini datang ke Kalahan untuk memasang taruhan, amit-amit, tak bakal aku mau melayani, bahkan sekedar bersalaman. Terlihat jelas mereka ini lebih jorok dari babi hutan. 

Lihat saja raja Istambul itu, yang gambarnya terpampang di kotak korek api, brewoknya minta ampun. Butut dan mesum. Pastilah di sana tak ada sabut kelapa apalagi sabun. Celakanya, raja-raja ini senang betul mengenakan pakaian yang berlapis-lapis dan tebal. Kutaksir, pakaian begitu dua hari belum tentu kering. Belum lagi bau penguk keringat keteknya yang melebihi bau kentut seekor sigung. Ampun ya Tuhan, orang-orang ini benar-benar tak mengenal pendidikan!

Aku mengambil peralatan pancing dan mengenyahkan raja-raja itu dari pikiran. Aku menyusuri galangan-galangan kecil di sisi sawah. Memasang potongan karung butut di depan badan agar tidak basah. Embun pagi hari sungguh menggigilkan. Bagaimana rasanya ya? Aku belum pernah coba. Katanya bagus untuk melunturkan dahak, melancarkan pencernaan, juga melonggarkan pernafasan. Menurutku khasiat-khasiat itu sama saja, saling berhubungan, semua terletak antara tenggorokan dan perut. Kenapa tidak dikatakan saja bagus untuk sakit perut? Bukannya semua penyakit itu ada hubungannya dengan perut? Demam, sakit kepala, encok, rematik, semua akan sembuh kalau perut kenyang. Bila di kantong ada uang. 

Ya, benar. Uang. Itulah pokok masalahku sekarang. Tapi tidak juga. Aku tidak begitu membutuhkan uang sekarang. Banyak yang lebih berhak dariku. Mereka yang benar-benar kelaparan. Janda dan anak yatim umpamanya. Mereka itu benar-benar makhluk malang. Seharian menunggu di depan pintu, kalau-kalau ada yang lewat dan menaruh belas kasihan. Aku pernah menyaksikan mereka dalam sebuah film. Mereka bergulat dengan kutu busuk dan kepinding. Dan tahu-tahu suatu pagi si ibu mendapati salah satu anaknya sudah mati, kelaparan. Mayatnya segera dikerumuni lalat karena kedua kakinya setengah busuk kena borok bisul. Selama beberapa hari, bayangan mereka terbawa-bawa dalam mimpiku. Seakan akulah penyebab kemalangan mereka. Sejak saat itu, aku tak mau lagi berurusan dengan janda-janda malang itu. Aku tak mau dipersalahkan.

Di tengah sawah, beberapa petani sedang mencabuti rumput, membersihkan tegalan, memangkas dahan mangga, atau sekedar berkacak pinggang di bawah pohon kelapa seakan berkata:“Dengar pemalas, aku sudah mengerjakan bagianku. Sekarang kerjakan bagianmu. Jangan lagi kita saling merasa paling hebat. Sebab bagaimanapun Tuhan kita satu.!” Rasanya itulah  kata-kata yang diucapkan seorang bijak dalam drama Mamanda  yang pernah kutonton beberapa tahun lalu. Waktu itu, si bijak sedang dikejar-kejar penagih utang. Bahkan waktu itu aku tidak bayar karcis… ya ampun, uang lagi! 

Tapi benar juga sih. Semua tergantung uang. Kita tidak bisa kaya kalau tak punya banyak uang. Tentu saja! Itu mustahil dibantah. Tapi maksudku begini, uang tak serta merta datang tanpa ada pancingan, modal. Nah itulah dia. Aku sudah menemukan jalan keluarnya. Modal. Yaitu semacam jimat keberuntungan yang kita pasang di kaleng kembalian, di bawah meja, atau dibenamkan dalam abu di bawah tungku masak.

Ah, aku sudah terlalu jauh melantur. Hanya karena tak ada kejelasan, aku jadi perasa. Cuma karena merasa tak berharta, aku jadi cepat sedih dan peka. Tapi ini memang tak terhindarkan, seperti kata orang bijak, uang adalah gala-gala iman, perekat keteguhan hati. Bila hati teguh datanglah uang dan lain sebagainya. Tapi dari manakah datangnya itu iman?  Inilah hal yang memusingkan para ahli. Sampai saat ini mereka belum selesai menyeliki. Dan aku sama sekali tak tertarik ikut ambil bagian memikirkan.

Lihat selengkapnya