BAB II
Aku terbangun ketika cahaya matahari persis menerpa muka. Lampu padam karena keha-
bisan minyak. Si Kuning keluar entah ke mana. Aku turun ke sumur mencuci muka. Kulihat si
kuning basah kuyup. Di mulutnya seekor tikus gemuk menggeliat-geliat. Aku meregangkan ba-
dan dengan nikmat. Membunyikan buku-buku jari, lalu masuk pondok untuk memanaskan rebu-
san singkong sisa tadi malam. Aku makan berlambat-lambat. Menikmati setiap kunyahan seperti
seorang raja sedang menikmati binatang buruan di kemahnya yang tentram. Seperti seorang pe-
malas sejati yang melingkar seharian di pembaringan. Akhir-akhir ini aku memang sering memi-
kirkan kehidupan seorang raja. Bagaimana mereka hidup dari kemah ke kemah. Berburu sesuka
hati. Menghamburkan kekayaan negara bersama teman-temannya sesama bajingan. Berjudi, me-
nyabung ayam, di luar negeri kadang mereka menyabung manusia juga, belajar filsafat atau me-
ramal nasib, pokoknya segala hal yang tak ada sangkut pautnya dengan faedah hidup dan keima-
nan seseorang. hal-hal kecil yang sudah selayaknya bagi seorang pengangguran. Kalau bosan
mereka akan menyamar jadi penyamun. Merampok rumah kepala dusun atau mencegat kafilah
yang melintas di jalan sepi. Aku membayangkan bagaimana jadinya, bila satu saja dari para
bangsat ini datang ke Kalahan untuk memasang taruhan, amit-amit, tak bakal aku mau melayani,
bahkan sekedar bersalaman. Terlihat jelas mereka ini lebih jorok dari babi hutan. Lihat saja raja
Istambul itu, yang gambarnya terpampang di kotak korek api, brewoknya minta ampun. Butut
dan mesum. Pastilah di sana tak ada sabut kelapa apalagi sabun. Celakanya, raja-raja ini senang
betul mengenakan pakaian yang berlapis-lapis dan tebal. Kutaksir, pakaian begitu dua hari be-
lum tentu kering. Belum lagi bau penguk keringat keteknya yang melebihi bau kentut seekor si-
gung. Ampun ya Tuhan, orang-orang ini benar-benar tak mengenal pendidikan!
Aku mengambil peralatan pancing dan mengenyahkan raja-raja itu dari pikiran. Aku me-
nyusuri galangan-galangan kecil di sisi sawah. Memasang potongan kantong plastik di depan
badan agar tidak basah. Embun pagi hari sungguh menggigilkan. Bagaimana rasanya ya? Aku
belum pernah coba. Katanya bagus untuk melunturkan dahak, melancarkan pencernaan, juga me-
longgarkan pernafasan. Menurutku khasiat-khasiat itu sama saja, saling berhubungan, semua ter-
letak antara tenggorokan dan perut. Kenapa tidak dikatakan saja bagus untuk sakit perut? Bukan-
nya semua penyakit itu ada hubungannya dengan perut? Demam, sakit kepala, encok, rematik,
semua akan sembuh kalau perut kenyang. Bila di kantong ada uang. Ya, benar. Uang. Itulah po-
kok masalahku sekarang. Tapi tidak juga. Aku tidak begitu membutuhkan uang sekarang. Banyak
yang lebih berhak dariku. Mereka yang benar-benar kelaparan. Janda dan anak yatim umpama-
nya. Mereka itu benar-benar makhluk malang. Seharian menunggu di depan pintu, kalau-kalau
ada yang lewat dan menaruh belas kasihan. Aku pernah menyaksikan mereka dalam sebuah film.
Mereka bergulat dengan kutu busuk dan kepinding. Dan tahu-tahu suatu pagi mendapati salah sa-
tu anaknya sudah mati, kelaparan. Selama beberapa hari, bayangan mereka terbawa-bawa dalam
mimpiku. Seakan akulah penyebab kemalangan mereka. Sejak saat itu, aku tak mau lagi beruru-
san dengan janda-janda malang itu. Aku tak mau dipersalahkan.
Di tengah sawah, beberapa petani sedang mencabuti rumput, membersihkan tegalan, atau
sekedar berkacak pinggang di bawah pohon kelapa seakan berkata, “dengar pemalas, aku sudah
mengerjakan bagianku. Sekarang kerjakan bagianmu. Jangan lagi kita saling merasa paling he-
bat. Sebab bagaimanapun Tuhan kita satu.!” Rasanya itulah kata-kata yang diucapkan seorang
bijak dalam drama Mamanda yang pernah kutonton beberapa tahun lalu. Waktu itu, si bijak se-
dang dikejar-kejar penagih utang. Bahkan waktu itu aku tidak bayar karcis… ya ampun, uang
lagi! Tapi benar juga sih. Semua tergantung uang. Kita tidak bisa kaya kalau tak punya banyak
uang. Tentu saja! Itu mustahil dibantah. Tapi maksudku begini, uang tak serta merta datang tan-
pa ada pancingan, modal. Nah itulah dia. Aku sudah menemukan jalan keluarnya. Modal. Yaitu
semacam jimat keberuntungan yang kita pasang di kaleng kembalian, di bawah meja, atau dibe-
namkan di bawah tungku masak. Ah, aku sudah terlalu jauh melantur. Hanya karena tak ada ke-
jelasan, aku jadi perasa. Cuma karena merasa tak berharta, aku jadi cepat sedih dan peka. Tapi
ini memang tak terhindarkan, seperti kata orang bijak, uang adalah gala-gala iman, perekat kete-
guhan hati. Bila hati teguh datanglah uang dan lain sebagainya. Tapi dari manakah datangnya itu
iman? Inilah hal yang memusingkan para ahli. Sampai saat ini mereka belum selesai menyeliki.
Dan aku sama sekali tak tertarik ikut ambil bagian.
Aku menyusur telaga kecil yang penuh teratai. Rumpun-rumpun pisang berbagai jenis
tumbuh berjejer di kedua sisi telaga. Yang paling ujung adalah rumpun pisang minurun, batang-
nya tinggi besar. Daun-daunnya panjang dan lebar. Sangat cocok buat tempat bernaung bagi se-
orang makhluk sia-sia sepertiku. Menjelang musim kering pisang-pisang ini tumbuh lebih cepat
dan subur. Pisang ini biasa ditanam di dataran tinggi atau pegunungan, di lokasi yang tak banyak
mengandung air. Air, itu dia yang aku butuhkan. Di dalam lapisan-lapisan batangnya banyak ter-
simpan air. Aku tinggal menusuknya dengan ranting, air akan mengucur deras. Dingin dan segar.
Aku bisa mancing sampai petang. Aku mengulurkan joran ke tengah sumur, dan hampir terlom-
pat. Di seberang, hanya beberapa depa dari tempatku berdiri, seseorang dengan topi purun lebar