GENOSIDA KESUNYIAN

Abdurrazzaq Zanky
Chapter #4

BAB IV


 Bab IV

 

Dua hari berturut-turut aku kembali ke tempat yang sama. Aku menyusun berbagai rencana, tapi segera merubahnya pada saat-saat terakhir. Benakku dipenuhi gagasan-gagasan gila dan fantastis. Aku menimbang-nimbang berbagai kemungkinan yang sederhana, masuk akal, tidak mencolok, tapi tepat menuju sasaran. Aku mengingat-ingat cerita orang tentang perempuan.Tentang kenikmatan apa saja yang bisa kita didapatkan. Tapi tak jelas hasilnya. Aku tak punya bayangan sama sekali tentang hal tersebut. 

Serangan itu begitu mendadak.Sama sekali tak pernah kuperkirakan. Ketika pertama melihat, aku memang sempat demam, hanya sebentar cuma. Aku bahkan sudah lupa sama sekali. Tapi begitu melihat dia begitu dekat, polos, mencium aroma tubuhnya yang menggairahkan, sama sekali tak pernah terbayangkan. Aroma merangsang itu bahkan masih dapat kubaui sampai sekarang. 

Hal itu membuatku terasa sakit luar dalam. Hingga sembilan hari kemudian, aku terus bolak-balik ke tempat yang sama. Siap berbuat nekat setiap saat. Aku tak lagi membawa peralatan pancing. Aku telah bersikukuh untuk mengambil sebuah tindakan nyata, apapun resikonya. Tapi perempuan itu tak pernah muncul lagi. Tahu-tahu aku dikejutkan dengan fakta bahwa beras hampir habis. Gula, teh, dan kopi sudah lama hilang dari peredaran. Yang kupunya persis seperti keadaanku sebelum berkerja di tempat juragan, segenggam garam dan beberapa butir bawang. Aku lengah.

Tidak, tidak. Aku dilengahkan. Seseorang menyuguhkan sebuah permainan menyenangkan, dan perhatianku tersedot seluruhnya ke sana. Ya, apa mau dikata. Aku bukanlah manusia istimewa ternyata. Aku punya kelemahan yang kusangka bukan kelemahan. Aku punya pikiran yang tak bisa dikendalikan. Itulah masalahku. Pengendalian pikiran. Lain kali aku harus mengawasi pikiran-pikiranku sendiri. Bagaimana caranya, aku belum tahu. Sebagai langkah awal, agaknya cukup bagus untuk memberi nama yang tepat perihal pekerjaan awas-mengawasi ini supaya mudah diingat.

Kelalaian ini anehnya, tak begitu kusesalkan. Aku merasa tak sepenuhnya konyol dan sia-sia. Ada imbalan kenikmatan tertentu yang sulit diungkapkan. Seperti seseorang yang kehilangan barang, tapi dia tahu bahwa barang itu suatu hari akan dikembalikan. Sebab si pencuri itu bukanlah orang jahat. Atau pencuri itu hanya bermaksud meminjam, ketika dia sanggup mengganti, barang itu akan dikembalikan. Maka aku merasa tidak terlalu dirugikan. Firasatku mengatakan bahwa ketololanku kali ini suatu hari akan digantikan secara sepadan.

Maka pagi-pagi itu aku menanak nasiku yang terakhir. Setelah matang aku membaginya jadi tiga. Satu bagian aku makan. Bagian kedua kubungkus untuk bekal. Bagian ketiga untuk jaga-jaga buat malam atau esok pagi. Kali ini aku terpaksa mengambil risiko. Aku pergi ke sumur tempat aku bertemu dengan si penggantung kucing. Aku membawa tongkat kayu ulin. Kalau terpaksa aku siap membela diri. Menyelamatkan batang leherku sendiri. 

Padi mulai berbunga. Tak ada lagi petani turun ke sawah, pamali. Orang pantang berjalan di tengah-tengah padi yang baru keluar buah sampai bulir-bulirnya berisi dan ujung tangkainya menguning. Hamparan permai itu merasuki hatiku dengan suatu himbauan kedamaian yang dalam. Ada tercium aroma tanah kering, rumput-rumput busuk, dan udara diserbuki wewangian khas menjelang musim kemarau. Wewangian alam yang setiap kali tercium membuat hati melambung senang dan orang jadi merasa punya harapan lagi. 

Di tengah segala himpitan kemiskinan, rasa asing, rasa tersisih, dan nasib yang tak terpahami, aku merasai suatu hembusan semangat murni dari alam. Suatu pembaruan harapan yang terus berulang setiap menjelang masa panen. Aku memang tak punya sawah. Tapi aku sangat bersungguh-sungguh bila dapat upahan bekerja di sawah. Aku tak pilih-pilih. Semua sama saja. Karena alam tak pilh kasih. Ia akan memberi pada barang siapa yang berusaha. Itulah keyakinanku yang telah terbukti berulang-ulang. Alam adalah kerabat manusia yang paling dapat dipercaya.

Hanya saja para pemilik lahan di Kalahan ini cenderung manja. Mereka tidak pernah berusaha lebih keras dari tahun-tahun sebelumnya. Mereka percaya dunia akan tetap seperti sediakala, dan alam akan memberikan jatah yang sama setiap tahunnya. Dan tak seorangpun yang cukup percaya menitipkan sawahnya padaku. 

Dulu, waktu Pairah masih ada, dia pernah meminta sepetak kecil lahan pada seorang haji. Dan dia mendapat jawaban, “ayahmu juga pernah ke sini. Tapi apa yang bisa kulakukan, kalau utangnya padaku saja dilupakan?” Pairah merah padam. Dia tidak berani lagi meminta ke tempat lain. Takut jawaban yang sama akan terulang.

Sejak itu kami bekerja sebagai buruh upahan. Pergi dari rumah ke rumah. Dari ladang satu ke ladang lain. Cukup menyenangkan sebenarnya. Boleh dibilang, pada saat-saat musim kerja hidup kami berkecukupan. Waktu itu aku berumur hampir tujuh tahun. Dan Pairah mendapat ilham; menyuruh aku untukber sekolah. “Setidaknya kau bisa baca, sekedar bisa menghindari tipuan para badut yang sok pintar itu,” begitu dia meyakinkan aku. 

Waktu itu memang sering terjadi skandal aneh-aneh. Seseorang tiba-tiba ditagih utang yang dia tidak tahu menahu. O ternyata ia telah menerakan cap jempol pada suatu kertas bermaterai empat bulan lalu. Isinya, bahwa ia menjaminkan utang seseorang yang entah siapa dan bagaimana perkaranya. 

Yang paling sering terjadi adalah, tahu-tahu suatu hari petugas agraria mengukur tanah kita dan memindahkan patoknya begitu saja. Ketika kita protes, entah bagaiamana caranya, ternyata salah satu keluarga kita telah bersaksi atas kebenaran klaim seorang tetangga. Tanah itupun berpindah tangan.

Menghadapi soal-soal begitu, orang-orang Kalahan benar-benar mati kutu. Sebab pernah seorang warga yang cukup disegani mencoba melakukan perlawanan. Mengancam dan mengejar para tukang ukur itu dengan mandau. Tahu-tahu satu pikap polisi datang meringkusnya keesokan hari. Semua itu bisa terjadi, menurut Pairah, gara-gara mereka buta huruf.

Tapi aku tidak begitu yakin bahwa dengan bersekolah kita lantas bisa membaca. Sebab selama lima bulan aku bersekolah, tak seharipun kami pernah diajar membaca. Hanya mengeja dan mengeja. Ya, ya, benar. Kami hanya disuruh mengeja huruf-huruf yang sama selama berbulan-bulan. Maka ketika aku memutuskan berhenti, Pairah tak bisa membantah. Tapi dia akan tetap mengajariku di rumah.

Kegiatanku tak mengalami suatu hambatan apapun. Si penggantung kucing tak nampak batang hidungnya. 

Dalam sumur  itu benar-benar telah berkumpul semua jenis ikan. Sekali ini aku bisa memilih-milih. Betok yang ukurannya di bawah tiga jari aku lepas ke sumur sebelah. Kadang seekor gabus nyelonong ikut menyambar. Maka gagang pancing bambu itu akan piuh melengkung demikian rupa. Gabus itu akan menggelepar-gelepar, terseret-seret, tersangkut di rerumputan, melawan dengan gigih, baru ketika tali dipengang dia bisa ditarik ke daratan. Untuk ikan-ikan bandel ini aku telah menyediakan tempat khusus, keranjang bambu kecil yang dianyam dengan tali rotan. Kuat dan alot. Bahkan seekor gorila kukira takkan mampu meretasnya. 

Makin siang, makin terik, sumur itu semakin bergolak. Semua ikan keluar ke permukaan sekedar menghirup udara sejenak dalam suhu air yang makin lama makin meningkat. Dan persis ketika mereka akan menongolkan kepala, umpanku siap siaga terpampang dengan indahnya. Mereka jadi lupa diri.

Aku tak punya jeda sedikitpun. Umpan itu langsung disambar begitu menyentuh air. Hanya karena sengatan panas matahari yang langsung mengenai wajah yang membuatku tersadar bahwa hari menjelang petang. Aku pulang terseok-seok sambil menyeret sebuah ember besar dan keranjang rotan tersampir di punggung.

Peruntungan itu membuatku percaya diri. Jadi malamnya aku menghabiskan sisa bubur yang telah mengeras lalu pergi keluar cari angin. Hampir purnama dan udara sangat cerah. Panen raya  sudah berada di depan mata. Aku membungkus kepala dengan sarung, menyisakan sedikit celah untuk melihat. 

Warung-warung penuh gelak tawa. Beberapa perempuan muda bahkan hilir mudik di halaman, bercengkrama atau main lompat tali dan tek. Mereka mengepang rambutnya ke belakang seperti dua lajur ekor kuda. Beberapa wanita tua berkerumun di pinggir jalan, tak habis-habis mengagumi lampu listrik yang baru dipasang beberapa hari lalu.

Di bawah tiang-tiang lampu itu menumpuk bangkai laron dan belalang. Mereka menginjaknya dengan sandal. Terdengar bunyi seperti segenggam kerupuk yang diperas. Lalu menguarlah bau mahung dan tengik yang tak tertahankan. Merekapun tertawa-tawa sambil menutup hidung. Sebagian mengurut-urut tenggorokan, menirukan orang mau muntah.

Dalam sejarah primitifnya yang panjang, Kalahan mulai mengenal listrik sekitar sepuluh tahun silam. Yaitu ketika H. Jali memasang empat buah tiang kayu ulin di pinggir jalan depan rumahnya. Tiang-tiang itu dipasangi tongkat pendek melengkung ke arah jalan. Di bawahnya ditempeli potongan seng. Di dalam potongan seng inilah ditaruh empat buah benda putih panjang berlapis, yang dikemudian hari dinamakan lampu neon. Lampu-lampu ini dihubungkan satu sama lain dengan sebuah kabel tebal. Nah, pada jam delapan malam, sebuah mesin akan dihidupkan. Lampu-lampu itupun menyala benderang. H. Jali meletakkan sebuah pesawat televisi hitam putih di langkan jendela depan. Lalu orang-orangpun berdatangan. Halaman itu akan penuh sesak hingga sampai ke atas pohon asam. H.Jali sendiri menyediakan cendol dan kacang rebus. Dia juga punya sebuah peti kayu yang berisi pecahan kulit gabah dari pabrik penggilingan padi tempat dia menaruh balok-balok es raksasanya yang terkenal itu.

Minum es cendol dengan sirup merah adalah suatu kemewahan waktu itu. Warung legendaris H.Jali itu hanya diduduki para tokoh Kalahan dan mereka yang berduit dari kampung sebelah. Dan kancil cerdik itu hanya mengadakan acaranya seminggu sekali. Ia tahu cara membuat orang penasaran dan menunggu-nunggu. Ia paham, dalam waktu seminggu kambing-kambing congek itu akan menabung. Menanti dengan tidak sabar. 

Ia punya pengalaman di kota sebagai tukang catut karcis di sebuah bioskop terkenal. Dan ia menggunakan cerita pengalaman-pengalaman itu untuk menarik perhatian orang. Ia punya puluhan cerita fantastis tentang para bajak laut, penyamun yang masuk Islam, manusia hutan yang kawin dengan wanita asing , para jenderal yang dicongkel matanya, tukang sihir yang berkelahi dengan jin ifrit, pemuda miskin yang menikah dengan anak majikan, dan beberapa cerita tolol lainnya. 

Ia juga mengetahui sejumlah kabar menarik tentang perampok yang dikubur hidup-hidup, perkelahian dua saudara yang sama-sama kebal, tentang kepala anak-anak yang dimasukkan ke dalam lobang-lobang tiang jembatan sebagai tumbal, tentang seorang perempuan beranak kembar yang salah satunya adalah ular piton, tentang seorang janda kesepian yang dalam kemaluannya ada patahan terong. 

Dia memang banyak tahu lebih dari yang lain. Oleh sebab itu Pairah tidak pernah percaya kepadanya. 

“Di dunia ini tak ada tukang obat yang jujur,” katanya, “mereka selalu menceritakan dan membual tentang hal-hal lain, supaya dustanya yang paling besar, jualannya itu, tidak diperhatikan orang. Bila kita bisa menyingkap sedikit saja pakaian dalamnya, maka dia akan bungkam seperti pepesan siput.” 

Aku sendiri tidak begitu peduli dengan semua keramaian itu. Bahkan waktu itu aku sudah punya kebiasaan untuk menghindari segala bentuk perkumpulan. Apalagi muncul di bawah sorot lampu yang terang-benderang. Sungguh tak terbayangkan.

Aku berjalan tenang-tenang melewati seluruh keramaian, pos kamling, pengkolan jalan, dan tiba pada suatu tanah lapang. Aku melihat setidaknya ada 15 lapak dibuka untuk memasang taruhan dadu. Ada puluhan sepeda phoenex dan beberapa motor terparkir di tepi jalan. Orang dari tempat jauh, mungkin luar kecamatan, juga datang. Tak seperti puluhan tahun lalu, kali ini tak ada yang mempercayakan uang taruhan mereka padaku. 

Sebagian besar orang-orang ini tak pernah kulihat sebelumnya. Mereka jauh lebih muda dari para pemain yang dulu. Banyak yang bicara menggunakan bahasa Indonesia, dan logat Jawa terbawa-bawa dalam percakapan mereka. Pastilah mereka orang-orang kota, orang kaya yang sebenarnya. Tapi tokoh-tokoh Kalahan ini nampak tak bergeming. Mereka sangat percaya diri. Mereka punya cadangan padi berlimpah yang segera akan membanjiri kios-kios di kota kecamatan. Sejumlah penjudi dari kampung sebelah bahkan mengakui keberuntungan orang-orang Kalahan, bahwa semua warga akan segera jadi juragan, sebab mereka mendengar selentingan kabar bahwa harga gabah tahun ini akan naik. Jauh melampaui harga-harga sebelumnya.

Aku sudah merasa cukup berjalan-jalan dan berbalik pulang. Lagi pula, apa yang bisa aku lakukan terhadap orang-orang yang kesurupan itu? Mereka sedang berada di puncak ekstasi kegembiraan, sangat berbahaya kalau ada yang sok tahu, sok lebih pintar. 

Sesampai di rumah aku menarik selimut, kumpulan seprai rombeng yang dijahit jadi satu, memcoba memusatkan pikiran pada suatu hal. Menyusun sebuah rencana jitu, mungkin, guna mengantisipasi hal-hal yang tak diperkirakan. Tapi otakku tersumbat. Telingaku mendengung bagai dikerubuti ratusan semut. Aku menaikkan kedua kaki ke atas, bertumpu pada dinding kajang, tapi dinding itu langsung bablas. Aku lupa bahwa kajang itu sudah demikian rapuh. 

Puluhan bintang mengintip dari celah-celah atap rumbia yang sudah centang perenang susunannya. Kalau saja aku punya sawah seperti yang lain, semua hal memilukan ini akan mudah kuatasi. Tapi mungkin saja dalam sebulan ke depan aku dapat banyak pekerjaan. Di musim panen orang-orang selalu kekurangan buruh. Aku bisa bekerja dari subuh sampai malam. Aku akan berhemat betul. Membuat target. Bersikeras dengan diri sendiri demi melaksanakan target-target itu. Ya, aku harus bersikap tegas dan tanpa kompromi terhadap ambisi dan keinginan-keinginan sesaatku. Sekarang aku menemukan sedikit titik terang tentang sesuatu yang harus aku lakukan. Kesimpulan ini membuatku tenang dan santai.

Sekilas aku seperti mendengar semacam suara keributan di kejauhan. Mungkin seorang petaruh menang besar dan merayakannya. Memborong habis lapak-lapak dagangan itu. Aku meniup lampu. Berpaling ke dinding dan memejamkan mata. Hawa dingin merembes dari dinding kajang yang ambrol. Dan di luar, kabut dinihari berarak merangkaki seluruh perkampungan.

Jam lima pagi aku terbangun karena mendengar suara kucing berkelahi. Si Kuning datang menerobos dinding kajang. Badannya basah kuyup oleh embun. Aku pergi ke sumur cuci muka. Mengangkat keranjang dari tambatannya di sumur. Ikan-ikan itu menggelepar dengan ribut. Segar, sangat segar. Kalau ada blantik luar datang, ikan beginian pasti ditawar paling dulu.

Pasar subuh itu sudah penuh orang ketika aku datang. Aku tak kebagian lapak. Jadi aku pergi pada sebuah pojok kosong dan meletakkan keranjangku, membukanya lebar-lebar. Seorang perempuan lewat, berhenti sebentar, lalu berjalan lagi tak acuh. Seakan berkata, “ikan? Siapa pula yang butuh!”

Beberapa menit berlalu. Aku mendengar sejumlah pedagang membicakaran suatu kejadian penting. Tak jelas apa. Tapi sekilas mereka menyebut-nyebut tentang jebakan, pengepungan, penangkapan, atau yang sejenisnya. Seorang lelaki kurus kering dengan suara melengking menganggapi, “semua itu tak bisa lepas dari peran seorang mata-mata. Itu pasti. Saya berani jamin. Contohnya sudah banyak di luar negeri, di Jakarta misalnya. Itu sebuah tempat yang penuh mata-mata, pengkhianat, bajingan, dan garong. Memang begitu cara mereka mencari nafkah, menjebak orang-orang supaya bisa bebas menguasai.”

Lihat selengkapnya