GENOSIDA KESUNYIAN

Abdurrazzaq Zanky
Chapter #5

BAB V


 

                                                                   BAB V

 

Burung-burung  beterbangan ketika aku sampai ke pinggir telaga.  Di  dasarnya,  ikan-ikan

menggeliat  pelan  dalam kubangan lumpur pekat.  Aku melihat beberapa ekor gabus sebesar per-

gelangan sedang mengerahkan sisa-sisa terakhir tenaganya.  Mereka menggeliat beberapa kali la-

lu diam.  Bergerak lagi. Diam lagi. Paling lama sampai besok, gabus-gabus itu pasti mati. Seperti

ikan-ikan kecil di sekelilingnya yang telah membusuk dirubung ulat.  Ulat-ulat itulah yang mena-

rik burung-burung  kecil turun ke sini. Burung-burung itu adalah kelompok terakhir penghuni da-

nau dan telaga di Kalahan.  Kawanan lainnya telah bermigrasi entah ke mana. Yang tertinggal ha-

nya sejumlah induk yang sedang menggiring anak-anaknya.

           Matahari  masih tertutup awan,  tapi  hawa panas sudah menggelombang menyapu seluruh

areal persawahan.  Aku telah memeriksa sumur-sumur yang dibuat warga.  Mereka membuat te-

rusan  memanjang  sejauh  beberapa meter.  Terputus.  Lalu  menggali lagi di tempat lain.  Begitu

seterusnya.  Pastilah  mereka  belum menemukan jalur air yang cukup besar.  Aku melihat galian-

galian percobaan yang tidak jadi diteruskan sepanjang danau itu.  Dan  sumber air yang tak sebe-

rapa  itu  dicuri  oleh  warga  dari  kampung lain yang lebih malas dari warga Kalahan.  Itulah se-

babnya  mereka  beramai-ramai  mengambil  air di tengah malam.  H. Jali  dan Juragan Kambing

kudengar  sudah memasang sumur bor, tapi itu tentu tidak gratis.  Maka lapisan terbawah masya-

rakat sadar diri,  percuma  mengharap  belas  kasihan  di saat semua orang berada di bawah anca-

man musibah yang serupa.

           Aku  turun  ke  alur telaga untuk mengurangi terpaan angin panas.  Berpapasan dengan be-

berapa  ekor  biawak  yang lari tunggang langgang.  Inilah dia reptil yang akan jadi saingan berat

induk-induk  burung itu dalam memperebutkna rantai makanan.  Aku tahu di mana ada biawak di

sana  ada  genangan air atau tempat yang sejuk.  Biawak tak bisa hidup di tempat yang kering se-

penuhnya.  Aku  mencari-cari lintasan jalan yang mereka gunakan untuk pulang pergi dari sarang

menuju tempat makan.  Ada beberapa lintasan kecil yang centang perenang di tempat-tempat ter-

buka. Tapi itu tak bisa dijadikan patokan. Biawak akan berjalan acak bila sudah sampai di tempat

terbuka. Aku melompar ke atas. Berteduh pada serumpun pisang kecil yang layu.  Aku harus me-

nunggu salah satu biawak-biawak itu keluar atau masuk semak-semak.

           Aku bersiul-siul memanggil angin.  Fatamorgana menari-nari di udara terbuka. Siluet-silu-

et  samar  bergoyang-goyang di atas permukaan sawah.  Orang-orang sini menyebutnya anak ari,

anak-anak  hari.  Aku mendengar keributan dari arah belakang.  Burung ruak-ruak mengaok,  titi-

kusan  mencericit nyaring.  Pastilah si biawak telah sampai ke kubangan lumpur itu.  Mereka se-

dang saling melakukan intimidasi.  Walau pada akhirnya burung-burung kecil itu kalah,  tapi me-

reka sangat gigih.  Ketika sang biawak makan,  dia akan terus diganggu dengan teriakan-teriakan

dan lompatan-lompatan provokatif. Burung-burung itu akan mengelilinginya dengan kalap, men-

julurkan paruh,  melakukan berbagai gerakan maju-maju mundur yang sangat mengancam,  sam-

pai  akhirnya  reptil  itu merasa benar-benar terganggu dan meninggalkan lokasi dengan terpaksa.

Menyisakan remah-remah besar yang sudah setengah terkunyah.  Rantai makananpun terbagikan

secara alami.

           Setengah  jam  kemudian sang biawak muncul di dasar telaga.  Lidah  hitamnnya melecut-

lecut ke depan. Dia kehausan.  Aku mematung.  Reptil itu berhenti sejenak, nalurinya mendeteksi

kehadiran seseorang, tapi dia tak melihatku.  Di depan semak-semak dia berhenti lagi. Kepalanya

terangkat ke atas beberapa saat. Tapi tak mendengar apa-apa.  Dia  membelok  ke  pinggir telaga,

lalu menyusupkan kepala ke dalam semak-semak.  Aku  menunggu  beberapa  menit biar dia bisa

Lihat selengkapnya