BAB V
Burung-burung beterbangan ketika aku sampai ke pinggir telaga. Di dasarnya, ikan-ikan
menggeliat pelan dalam kubangan lumpur pekat. Aku melihat beberapa ekor gabus sebesar per-
gelangan sedang mengerahkan sisa-sisa terakhir tenaganya. Mereka menggeliat beberapa kali la-
lu diam. Bergerak lagi. Diam lagi. Paling lama sampai besok, gabus-gabus itu pasti mati. Seperti
ikan-ikan kecil di sekelilingnya yang telah membusuk dirubung ulat. Ulat-ulat itulah yang mena-
rik burung-burung kecil turun ke sini. Burung-burung itu adalah kelompok terakhir penghuni da-
nau dan telaga di Kalahan. Kawanan lainnya telah bermigrasi entah ke mana. Yang tertinggal ha-
nya sejumlah induk yang sedang menggiring anak-anaknya.
Matahari masih tertutup awan, tapi hawa panas sudah menggelombang menyapu seluruh
areal persawahan. Aku telah memeriksa sumur-sumur yang dibuat warga. Mereka membuat te-
rusan memanjang sejauh beberapa meter. Terputus. Lalu menggali lagi di tempat lain. Begitu
seterusnya. Pastilah mereka belum menemukan jalur air yang cukup besar. Aku melihat galian-
galian percobaan yang tidak jadi diteruskan sepanjang danau itu. Dan sumber air yang tak sebe-
rapa itu dicuri oleh warga dari kampung lain yang lebih malas dari warga Kalahan. Itulah se-
babnya mereka beramai-ramai mengambil air di tengah malam. H. Jali dan Juragan Kambing
kudengar sudah memasang sumur bor, tapi itu tentu tidak gratis. Maka lapisan terbawah masya-
rakat sadar diri, percuma mengharap belas kasihan di saat semua orang berada di bawah anca-
man musibah yang serupa.
Aku turun ke alur telaga untuk mengurangi terpaan angin panas. Berpapasan dengan be-
berapa ekor biawak yang lari tunggang langgang. Inilah dia reptil yang akan jadi saingan berat
induk-induk burung itu dalam memperebutkna rantai makanan. Aku tahu di mana ada biawak di
sana ada genangan air atau tempat yang sejuk. Biawak tak bisa hidup di tempat yang kering se-
penuhnya. Aku mencari-cari lintasan jalan yang mereka gunakan untuk pulang pergi dari sarang
menuju tempat makan. Ada beberapa lintasan kecil yang centang perenang di tempat-tempat ter-
buka. Tapi itu tak bisa dijadikan patokan. Biawak akan berjalan acak bila sudah sampai di tempat
terbuka. Aku melompar ke atas. Berteduh pada serumpun pisang kecil yang layu. Aku harus me-
nunggu salah satu biawak-biawak itu keluar atau masuk semak-semak.
Aku bersiul-siul memanggil angin. Fatamorgana menari-nari di udara terbuka. Siluet-silu-
et samar bergoyang-goyang di atas permukaan sawah. Orang-orang sini menyebutnya anak ari,
anak-anak hari. Aku mendengar keributan dari arah belakang. Burung ruak-ruak mengaok, titi-
kusan mencericit nyaring. Pastilah si biawak telah sampai ke kubangan lumpur itu. Mereka se-
dang saling melakukan intimidasi. Walau pada akhirnya burung-burung kecil itu kalah, tapi me-
reka sangat gigih. Ketika sang biawak makan, dia akan terus diganggu dengan teriakan-teriakan
dan lompatan-lompatan provokatif. Burung-burung itu akan mengelilinginya dengan kalap, men-
julurkan paruh, melakukan berbagai gerakan maju-maju mundur yang sangat mengancam, sam-
pai akhirnya reptil itu merasa benar-benar terganggu dan meninggalkan lokasi dengan terpaksa.
Menyisakan remah-remah besar yang sudah setengah terkunyah. Rantai makananpun terbagikan
secara alami.
Setengah jam kemudian sang biawak muncul di dasar telaga. Lidah hitamnnya melecut-
lecut ke depan. Dia kehausan. Aku mematung. Reptil itu berhenti sejenak, nalurinya mendeteksi
kehadiran seseorang, tapi dia tak melihatku. Di depan semak-semak dia berhenti lagi. Kepalanya
terangkat ke atas beberapa saat. Tapi tak mendengar apa-apa. Dia membelok ke pinggir telaga,
lalu menyusupkan kepala ke dalam semak-semak. Aku menunggu beberapa menit biar dia bisa