Bab VI
Akhirnya memang tak bisa tidak orang harus menyerah dengan keadaan. Sumur-sumur di danau tak bisa lagi diandalkan. Sementara mereka tak kunjung menemukan jalur air yang cukup besar. Dalam seminggu ini setidaknya sebelas sumur baru telah digali. Mereka menggali begitu dalam hingga sampai pada lapisan lumpur hitam yang telah membatu. Mereka menggunakan ember dan tali untuk mengangkuti tanahnya. Orang-orang itu nekat. Bertaruh mengeluarkan sisa-sisa tenaga terakhir untuk mendapatkan air. Namun semakin dalam menggali, sumber air malah makin kecil. Dinding-dinding sumur juga rapuh dan goyah pada bagian bawah. Begitu sumber air pertama mengalir mereka langsung mengurasnya dengan timba. Begitu kering mereka kembali menggali. Memburu ke arah sumber air itu terpancar. Begitu seterusnya.
Suatu hari keberuntungan mendatangi mereka. Orang-orang itu menemukan sumber mata air yang cukup besar, setelah menggali hampir empat meter. Mata air itu membual-bual dari sebuah celah. Tak seperti yang sudah-sudah, sumber air kali ini mengalir tetap terus-menerus. Kelihatannya datang dari sebuah jalur aliran yang selama ini mereka cari-cari.
“Apa kataku, kita hanya belum menemukan jalur yang tepat,” Pak Misran membuka celah itu dengan kedua tangan, “aku selalu yakin, di dalam tanah sini penuh dengan jalur air. Kita hanya perlu mencoba dan mencoba. Jalur-jalur air ini sedang menunggu kita.”
Tak ada yang membantah. Mereka lalu menggali agak menyamping. Mengejar sumber mata air yang sebentar hilang sebentar datang. Hasilnya tak mengecewakan. Sebuah jalur air besar menyembur deras seperti dipompa dari dalam tanah. Mereka berteriak girang. Kaki-kaki mereka tergenang dengan cepat. Terus naik hingga tulang kering, lutut, paha dan seterusnya.
Puluhan timba berlomba turun naik. Orang-orang dari sumur sebelah ikut mengulurkan timba. Dengan cepat semua orang berkumpul dalam satu titik. Mereka berteriak-teriak histeris kegirangan. Ada yang langsung mandi di tempat, yang kemudian diikuti puluhan orang lainnya. Pak Dali membuka celana dan cebok di tempat, yang segera menimbulkan kehebohan. Para wanita, tanpa malu-malu juga ikut mandi di tempat. Mereka yang berada di tengah padang, dalam perjalanan pulang, balik lagi untuk ikut merayakan penemuan besar itu. Suasana makin lama makin heboh. Semuanya tak bisa menahan diri untuk meluapkan kegembiraan. Seakan semua masalah kini telah teratasi. Ratusan jerigen, ember, baskom, dan botol-botol berjejer sekeliling sisi sumur. Akhitnya semua orang akan membawa pulang air yang cukup ke rumah masing-masing. Minuman terjamin, pakaian tercuci, mandi dan berak bukan masalah berat lagi.
Lima penggali yang menyambuti timba di dalam sumur lebih heboh lagi. Termotivasi oleh kenyataan, bahwa merekalah yang paling berjasa dalam hal ini, kelimanya bernyanyi dan melontarkan cerita-cerita seronok. Segera saja yang di bawah dan yang di atas bersahutan saling melempar canda. Hari itu, semua perempuan yang telah basah kuyup itu, nampak genit dan menantang-nantang berterang-terang.
Kesibukannya jadi luar biasa. Kesibukan tangan dan mulut yang bersahut-sahutan, ganti berganti tanpa jeda. Persis pada titik itulah dinding sumur yang semula kering kerontang, diresapi air dengan cepat jadi melembek dan runtuh secara bersamaan. Menarik empat belas orang ke dalam dan menimbun hidup-hidup lima orang tukang gali yang asyik menyambut timba di dasar sumur.
Tiga orang yang di atas mengalami patah kaki dan kelima orang penggali mati seluruhnya. Separuh sumur itu tertutup longsoran galian. Seperti kelas yang dimasuki kepala sekolah kejam, seketika semua orang langsung terdiam. Evakuasi kelima orang yang tertimbun itu berlangsung penuh drama hingga pagi esok hariny. Mereka bekerja bergantian secara diam-diam seperti sekumpulan pencuri. Sementara dalam hati, mereka merasakan beban kesalahan dan rasa malu yang sulit dijelaskan.
Peristiwa itu mengguncangkan hati semua orang. Akhirnya bahaya dari sudut yang tak mereka sangka-sangka. Menampakkan wujudnya yang nyata dan tak seorangpun siap menghadapinya. Bahaya dari sebuah kelalaian. Bahwa kegembiraan yang terlalu berlebihan bisa mengakibatkan petaka. Orang-orang bebal itu, akhirnya tergetok juga kesadarannya, pada titik yang paling rawan; bahwa mereka bisa mati kapan saja. Baik karena musibah yang nyata segera menjelang atau karena sikap alpa mereka sendiri.
Katanya pada waktu penguburan kelima jenazah itu seluruh penduduk menyempatkan diri untuk hadir. Mereka paham kini, ada juga segolongan manusia yang rela mengorbankan hidupnya demi kepentingan bersama walau secara tak sengaja. Jelaslah, hasil kerja kelima orang itu, mereka yang hiduplah yang menikmatinya kini. Pengorbanan jenis ini adalah hal yang langka di Kalahan, kecuali di zaman para pendiri kampung, dulu sekali.
Keluarga korbanpun mendapat bantuan dan perhatian yang tak pernah terbayangkan dalam situasi darurat semacam itu. Mereka mendapatkan beras, ikan asin, garam, telor, gula, bahkan beberapa ekor ayam yang entah bagaimana cara dan jalan mendapatkannya. Perempuan yang tua-tua bergiliran menghibur dan mengajak keluarga korban bicara. Mereka adalah nenek-nenek alumnus penonnton film-film India. Orang-orang malang yang sangat peka perasaan.
Kelima lelaki yang tertimbun itu boleh dibilang adalah orang-orang kuat terakhir di Kalahan. Usia mereka berkisar antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun. Dan hanya satu orang yang belum menikah. Empat lainnya sudah berumah tangga dan meninggalkan anak yang masih kecil-kecil.
Aku telah menguras habis ikan di sumur belakang. Aku tak bisa membikin asinan karena tak ada garam. Jadi ikan-ikan itu kukeringkan. Tapi tetap juga busuk dan berulat. Kini aku sama seperti orang kebanyakan. Kelayapan ke sana kemari tanpa tujuan. Mencari sisa umbi-umbian, pucuk-pucuk pisang, kalau beruntung dapat umbut rebong bambu yang dilewatkan orang. Cadangan makanan yang semula kuperkirakan cukup untuk sebulan membusuk dan berjamur. Salahnya aku memendam singkong-singkong itu dengan membungkusnya terlebih dahulu dengan karung plastik sehingga jadi lembab dan beruap. Jamur biru beracun menjalar dengan cepat. Mula-mula singkong yang terpotong tangkainya, terus menjalar ke kulit yang terkelupas, dan ketika singkong-singkong itu terfermentasi cuaca panas dan lembab, dagingnya jadi lunak dan busuk. Jamur-jamur biru itu menjangkiti seisi lubang. Aku hanya dapat bertahan sepuluh hari dengan cadangan lumbung pangan bawah tanah itu. Kelapa malah lebih mending. Lebih awet. Asal kita meletakkannya pada posisi tegak lurus. Sayang aku tak banyak mengumpulkan kelapa. Dan kelapa terakhir telah kuhabiskan dua hari lalu.
Pagi-pagi aku pergi ke danau di tengah hutan. Aku melewati antrian panjang di depan rumah Juragan Kambing dan H. Jali. Kini mereka menggadaikan segala macam barang rongsokan demi mendapatkan satu dua ember air. Mereka mengantri diam-diam. Berjongkok atau mencangkung, mendirikan sebelah kaki bergantian seperti bebek kelelahan. Wanita-wanita bawel itu tak lagi banyak omong. Muka mereka kusut masai seperti tersapu angin tutus, sarung kedodoran, dan di balik destar lusuh itu payudara mereka menggantung lesu, seperti perut kucing yang baru melahirkan.
Anak-anak juga bermain secara diam-diam. Menyepak-nyepak kaleng tanpa semangat atau main lempar pasang sandal dengan ogah-ogahan. Hanya dua tiga anak paling kecil yang nampaknya tidak mengerti keadaan. Mereka inilah satu-satunya sumber kegaduhan yang menandai adanya kehidupan seperti yang dulu.
Anak-anak yang lebih besar hanya melihat acuh tak acuh. Mereka menggores-gores tanah dengan jempol kaki atau bilah kayu. Menggambar aneka mainan dan kue-kue, buah-buahan atau ikan. Anak-anak ini biasa makan ikan dengan rakus layaknya gerombolan berang-berang. Karena alam Kalahan yang berlimpah dengan segala jenis ikan. Jumlah ikan dan nasi sama banyaknya, walaupun itu tak lantas membuat mereka jadi cerdas, malah cacingan.
Namun tetap saja, tak makan ikan selama berbulan-bulan sangatlah menyengsarakan. Mereka seperti kehilangan setengah imajinasi kenakalan. Sangat ganjil rasanya, melihat bocah-bocah liar dan tangkas, yang biasa menjelajah seantero kampung, bebas dan tak mengenal rasa takut itu, tiba-tiba jadi jinak dan pendiam. Seperti sekumpulan itik kena balawa, penyakit lumpuh layu. Mereka mengalami penurunan gairah hidup yang mencengangkan. Terutama sorot matanya.Mata-mata jernih yang biasa penuh rasa ingin tahu itu, kini memancarkan sinar ketakutan tanpa alasan. Rasa rendah diri dari seekor hewan yang tak berguna. Yakni kekalutan akut seekor kambing tolol yang tak tahu harus melakukan apa. Kalau benar mata adalah pancaran jiwa, maka jelas jiwa bocah-bocah ini sedang berada dalam genggaman setan.
Sekelompok anak tanggung buru-buru berpencar ketika aku melintas. Tak seperti lazimnya anak berang-berang, paling kurang mereka biasa memonyongkan mulut sambil menggonggong-gonggong, atau menyambitku dengan batu dari belakang kemudian lari berhamburan. Kali ini mereka nampak benar-benar takut.
Anak-anak biadab inilah yang dulu melempari rumahku dengan tanah lumpur gara-gara hari sebelumnya aku melempar salah seorang dari mereka ke sawah karena berak seenaknya di sumur minumku. Sejak itu aku tidak mau lagi berurusan dengan mereka. Aku tak pernah lagi menanggapi bagaimanapun kerasnya mereka melakukan provokasi. Aku terus berlalu dan bersikap pura-pura tak tahu setiap mereka bikin ulah. Memancing-mancing keributan. Tanggapan sikap yang justru bikin mereka tambah gemas dan penasaran, tapi tak punya alasan cukup kuat untuk bertindak nekat. Aku senang dapat mempermainkan mereka dengan cara tersebut. Kalau mereka berulah, kita juga bikin ulah. Namun jangan pernah beri mereka peluang untuk bikin onar.
Aku menikung turun ke sawah begitu rumah berpagar tembok itu kelihatan. Entah kenapa, aku selalu merasa tidak enak hati setiap lewat di depan pagar tertutup itu. Kata Pairah, itu adalah rumah kepala kampung kami yang terdahulu. Kabarnya dia sudah mati puluhan tahun lalu. Semua anaknya sekolah di kota, kalau benar dia punya anak, dan jarang pulang. Mereka adalah satu-satunya keluarga yang punya mobil di Kalahan sini. Tapi mereka tak pernah lagi terlihat bergaul dengan orang banyak, setidaknya menurut pengetahuanku. Katanya mereka kini jadi pengusaha. Orang kaya yang punya banyak usaha di luaran. Mereka terlihat selalu sibuk, seperti layaknya orang kikir pada umumnya.
Sekarang rumah itu hanya jadi tempat singgah sementara, kukira. Tempat berkumpul sewaktu-waktu, atau apalah. Yang jelas, pada malam Jum’at setelah penguburan si Kumis Sarampang, aku keluyuran hingga sampai sini. Dan menyaksikan bayangan samar setan-setan gentayangan datang dan menghilang di sekitar sini.
Aku menuju ke tempat di mana aku menemukan sebatang kelapa tua roboh semalam. Kelapa itu sudah tumbang sejak berbulan-bulan lalu dan terendam air. Daun dan pucuk-pucuknya telah layu dan meranggas kini. Orang-orang menyangka umbutnya sudah busuk. Jadi tak ada yang menghiraukan. Tapi aku telah memeriksanya semalam. Mencoba menarik daun dan pucuknya sekuat tenaga. Tak tergeser sedikitpun. Tanda pangkal dahannya masih berakar, hidup.
Kelapa adalah termasuk tanaman yang paling tahan kemarau. Kalau kekurangan air, ia hanya tak berbuah. Jarang sampai mati. Itulah yang kuamati dari ratusan batang pohon yang kini sudah bertumbangan. Aku kini tak pernah kekurangan air. Ke mana-mana aku selalu menyelipkan dua botol air di balik baju. Satu besar satu kecil.
Aku mengeluarkan parang dari buntelan kain dan mulai memotong dahan-dahannya hingga tinggal sejengkal. Aku terpekik kegirangan karena menemukan pada bagian dalam dahan itu masih segar dan mengandung air. Inilah satu dari tanda-tanda kebesaran Tuhan. Dia tidak akan pernah menelantarkan hamba-Nya yang giat berusaha dan mau menggunakan akal. Aku tengadah ke arah langit dan mengucap syukur keras-keras. Bidadari-bidadari itu pasti sedang mengarahkan telunjuknya padaku, “lihat makhluk fana itu, dia sedang berjuang mati-matian melawan takdir. Dasar bajingannya bajingan!” Aku tertawa terbahak-bahak seperti orang gila kesurupan semangat perang. Mengacung-acungkan tinju ke langit.
Satu jam lamanya aku bergulat melawan takdir dan berhasil keluar dengan selamat dari cengkramannya. Di depanku kini teronggok sebuah umbut besar cukup untuk makan tiga hari. Aku memasukkannya ke karung dan meneruskan perjalanan ke hutan. Tiga jam kemudian baru aku sampai ke danau karena sering berhenti. Air danau menyusut tak kentara. Dan burung-burung bangau itu telah pergi entah ke mana. Mungkin juga mati tapi tidak di sini. Aku berencana menginap sekuatnya sampai perbekalan habis. Dua hari lalu aku telah membuat tempat berteduh yang lumayan bagus, sebuah pondok kayu setinggi kepala. Lantainya kubuat dari batang-batang galam yang telah dikupas. Tanpa atap. Aku hanya meletakkan sejumlah cabang pohon pada bagian atas, menyusunnya tumpang tindih. Dua hari sekali cabang-cabang itu mesti diganti, karena daunnya rontok berserakan.