GENOSIDA KESUNYIAN

Abdurrazzaq Zanky
Chapter #6

BAB VI

 dimakan.

                                                                     BAB VI

        

 Akhirnya  memang  tak  bisa tidak orang harus menyerah dengan keadaan. Sumur-sumur

di danau tak bisa lagi diandalkan. Sementara  mereka  tak kunjung menemukan jalur air yang cu-

kup besar.  Dalam seminggu ini setidaknya sebelas sumur baru telah digali. Mereka menggali be-

gitu dalam hingga sampai pada lapisan lumpur hitam yang telah membatu. Mereka menggunakan

ember dan tali untuk mengangkuti tanahnya. Orang-orang itu nekat. Bertaruh mengeluarkan sisa-

sisa tenaga terakhir untuk  mendapatkan air. Namun  semakin  dalam  menggali sumber air malah

makin  kecil.  Dinding-dinding sumur juga rapuh dan goyah pada bagian bawah.  Begitu  sumber

air  pertama  mengali  mereka langsung mengurasnya dengan timba.  Begitu kering mereka kem-

bali menggali. Memburu ke arah sumber air itu terpancar. Begitu seterusnya.

          Suatu  hari  keberuntungan mendatangi mereka.  Orang-orang itu menemukan sumber mata

air  yang cukup besar, setelah menggali hampir empat meter. Mata air membual-bual dari sebuah

celah.  Tak seperti yang sudah-sudah, sumber air kali ini mengalir tetap terus-menerus. Kelihatan-

nya datang dari sebuah jalur aliran yang selama ini mereka cari-cari. “Apa kataku, kita hanya be-

lum  menemukan jalur yang tepat,”  Pak  Misran  membuka  celah itu dengan kedua tangan,  “aku

selalu  yakin,  di  dalam tanah sini penuh dengan jalur air.  Kita hanya perlu mencoba dan menco-

ba. Jalur-jalur air ini sedang menunggu kita.”

          Tak  ada  yang  membantah.  Mereka  lalu  menggali agak menyamping.  Mengejar sumber

mata air yang sebentar hilang sebentar datang.  Hasilnya tak mengecewakan.  Sebuah jalur air be-

sar menyembur deras seperti dipompa dari dalam tanah.  Mereka berteriak girang.  Kaki-kaki me-

reka tergenang dengan cepat.  Terus naik hingga tulang kering,  lutut,  paha dan seterusnya.  Pulu-

han timba berlomba turun naik. Orang-orang dari sumur sebelah ikut mengulurkan timba. Dengan

cepat  semua orang berkumpul dalam satu titik.  Mereka berteriak-teriak histeris kegirangan.  Ada

yang langsung mandi di tempat, yang kemudian diikuti puluhan orang lainnya. Pak Dali membu-

ka celana dan cebok di tempat,  yang segera menimbulkan kehebohan.  Para wanita,  tanpa malu-

malu juga ikut mandi di tempat. Mereka yang berada di tengah padang, dalam perjalanan pulang,

balik lagi untuk ikut merayakan penemuan besar itu.  Suasana makin lama makin heboh.  Semua-

nya tak bisa menahan diri untuk meluapkan kegembiraan.  Seakan semua masalah kini telah tera-

tasi. Ratusan jerigen, ember, baskom, dan botol-botol berjejer sekeliling sisi sumur. Akhitnya se-

mua  orang akan membawa pulang air yang cukup ke rumah masing-masing.  Minuman terjamin,

pakaian  tercuci,  mandi  dan  berak  bukan  masalah berat lagi.  Lima penggali yang menyambuti

timba  di dalam sumur lebih heboh lagi.  Termotivasi oleh kenyataan,  bahwa merekalah yang pa-

ling  berjasa dalam hal ini,  mereka bernyanyi dan melontarkan cerita-cerita seronok.  Segera saja

yang  di  bawah dan yang di atas bersahutan saling melempar canda.  Hari itu,  semua perempuan

yang telah basah kuyup itu,  nampak genit dan menantang-nantang berterang-terang.  Kesibukan-

nya  jadi luar biasa. Kesibukan tangan dan mulut yang bersahut-sahutan, ganti berganti tanpa je-

da. Persis pada titik itulah dinding sumur yang semula kering kerontang,  diresapi air dengan ce-

pat jadi melembek dan runtuh secara  bersamaan. Menarik  empat belas orang ke dalam dan me-

nimbun  hidup-hidup  lima  orang tukang gali yang asyik menyambut timba di dasar sumur.  Tiga

orang  yang  di atas mengalami  patah  kaki dan kelima orang penggali mati seluruhnya.  Separuh

sumur itu tertutup longsoran galian. Seperti kelas yang dimasuki kepala sekolah, seketika semua

orang  langsung  terdiam.  Evakuasi  kelima  orang  yang tertimbun itu berlangsung penuh drama

hingga  pagi  esok hariny. Mereka bekerja bergantian secara diam-diam seperti sekumpulan  pen-

curi. Sementara dalam hati,  mereka merasakan beban kesalahan dan rasa malu yang sulit dijelas-

kan.

             Peristiwa itu mengguncangkan hati semua orang.  Akhirnya  bahaya  dari sudut yang tak

mereka  sangka-sangka menampakkan wujudnya yang nyata dan tak seorangpun siap menghada-

pinya.  Bahaya dari sebuah kelalaian.  Bahwa kegembiraan yang terlalu berlebihan bisa mengaki-

batkan  petaka.  Orang-orang bebal itu,  akhirnya  tergetok  juga  kesadarannya,  justru  pada titik

yang paling rawan, bahwa mereka bisa mati kapan saja.  Baik  karena musibah yang nyata segera

menjelang atau karena sikap alpa mereka  sendiri.  Katanya pada waktu penguburan kelima jena-

zah itu seluruh penduduk menyempatkan  diri untuk hadir.  Mereka paham kini,  ada juga segolo-

ngan  manusia yang rela mengorbankan hidup nyawa  kepentingan  bersama walau secara tak se-

ngaja.  Jelaslah,  hasil kerja kelima orang itu, mereka yang hiduplah yang menikmatinya kini. Pe-

ngorbanan jenis ini adalah hal yang langka di Kalahan,  kecuali  di zaman para pendiri kampung,

dulu sekali. Keluarga korbanpun mendapat bantuan dan perhatian yang tak pernah  terbayangkan

dalam situasi darurat semacam itu. Mereka mendapatkan beras, ikan asin, garam, telor, gula, bah-

kan beberapa ekor ayam yang entah bagaimana cara dan jalan mendapatkannya. Perempuan yang

tua-tua  bergiliran  menghibur dan mengajak keluarga korban bicara. Mereka adalah nenek-nenek

alumnus penonnton film-film India.  Orang-orang malang yang sangat peka perasaan. Kelima le-

laki  yang  tertimbun itu boleh dibilang adalah orang-orang terkuat terakhir di Kalahan. Usia me-

reka berkisar antara dua puluh lima sampai tiga puluh lima tahun. Dan hanya satu orang yang be-

lum menikah. Empat  lainnya  sudah berumah tangga dan meninggalkan anak yang masih kecil-

kecil.

           Aku  telah menguras habis ikan di sumur belakang.  Aku tak bisa membikin asinan karena

tak ada garam.  Jadi ikan-ikan itu kukeringkan.  Tapi tetap juga busuk dan berulat. Kini aku sama

seperti  orang  kebanyakan.  Kelayapan ke sana kemari tanpa tujuan.  Mencari sisa umbi-umbian,

pucuk-pucuk pisang, kalau beruntung dapat umbut rebong bambu yang dilewatkan orang.  Cada-

ngan  makanan yang semula kuperkirakan cukup untuk sebulan membusuk dan berjamur.  Salah-

nya  aku  memendam singkong-singkong itu dengan membungkusnya terlebih dahulu dengan ka-

rung  plastik sehingga jadi lembab dan beruap. Jamur biru beracun menjalar dengan cepat. Mula-

mula  singkong  yang  terpotong  tangkainya,  terus menjalar ke kulit yang terkelupas,  dan ketika

singkong-singkong itu terfermetasi cuaca panas dan lembab, dagingnya jadi lunak dan busuk. Ja-

mur-jamur  biru  itu menjangkiti seisi lubang.  Aku hanya dapat bertahan sepuluh hari dengan ca-

dangan  lumbung  pangan  bawah tanah itu.  Kelapa malah lebih mending.  Lebih awet.  Asal kita

meletakkannya pada posisi tegak lurus.  Tapi aku tak banyak mengumpulkan kelapa.  Dan kelapa

terakhir telah kuhabiskan dua hari lalu.

            Pagi-pagi aku pergi ke danau di tengah hutan. Aku melewati antrian panjang di depan ru-

mah  Juragan Kambing dan H. Jali.  Kini  mereka  menggadaikan  segala  macam barang rongso-

kan demi mendapatkan satu dua ember air. Mereka mengantri diam-diam.  Berjongkok atau men-

cangkung,  mendirikan sebelah kaki bergantian seperti bebek kelelahan.  Wanita-wanita bawel itu

tak lagi banyak omong. Muka mereka kusut masai seperti tersapu angin tutus, sarung kedodoran,

dan  di balik destar lusuh itu payudara mereka menggantung lesu,  seperti perut kucing yang baru

melahirkan.  Anak-anak  juga bermain secara diam-diam. Menyepak-nyepak kaleng  tanpa sema-

ngat  atau  main  lempar  pasang  sandal  dengan ogah-ogahan. Hanya dua tiga orang paling kecil

yang nampaknya tidak mengerti keadaan.  Mereka  inilah  satu-satunya  sumber  kegaduhan yang

menandai adanya kehidupan seperti yang dulu.  Anak-anak  yang  lebih besar hanya melihat acuh

tak acuh. Mereka menggores-gores tanah dengan jempol kaki atau bilah kayu. Menggambar ane-

ka mainan dan kue-kue, buah-buahan atau ikan.  Anak-anak  ini  biasa  makan  ikan dengan rakus 

layaknya gerombolan berang-berang. Karena alam Kalahan yang berlimpah dengan segala jenis

ikan.  Jumlah  ikan dan nasi sama banyaknya,  walaupun itu tak lantas membuat mereka jadi cer-

das, malah cacingan. Tapi tetap saja, tak makan ikan selama berbulan-bulan sangatlah menyeng-

sarakan. Mereka seperti kehilangan setengah imajinasi kenakalan. Sangat ganjil rasanya, melihat

bocah-bocah liar dan tangkas, yang biasa menjelajah seantero kampung, bebas dan tak mengenal

rasa  takut  itu,  tiba-tiba jadi jinak dan pendiam.  Seperti sekumpulan itik kena balawa,  penyakit

lumpuh layu.  Mereka mengalami penurunan gairah hidup yang mencengangkan. Terutama  sorot

matanya. Mata-mata jernih yang biasa penuh rasa ingin tahu itu, kini memancarkan sinar ketaku-

tan tanpa alasan. Rasa rendah diri dari seekor hewan yang tak berguna.  Yakni kekalutan akut se-

ekor kambing tolol yang tak tahu harus melakukan apa.  Kalau  benar mata adalah pancaran jiwa,

maka jelas jiwa bocah-bocah ini sedang berada dalam genggaman setan.

             Sekelompok anak tanggung buru-buru berpencar ketika aku melintas. Tak seperti lazim-

nya anak  berang-berang,  paling kurang mereka biasa memonyongkan mulut sambil menggong-

gong-gonggong, atau menyambitku dengan batu dari  belakang kemudian lari berhamburan. Kali

ini mereka nampak benar-benar takut.  Anak-anak  biadab  inilah  yang  dulu melempari rumahku

dengan tanah lumpur gara-gara hari sebelumnya aku melempar salah seorang dari ke sawah kare-

na  berak  seenaknya  di sumur minumku. Sejak itu aku tidak mau lagi berurusan dengan mereka.

Aku  tak pernah lagi menanggapi bagaimanapun kerasnya mereka melakukan provokasi.  Aku te-

Rus berlalu dan bersikap pura-pura tak tahu setiap mereka bikin ulah.  Memancing-mancing keri-

butan.  Tanggapan  sikap  yang justru bikin mereka tambah gemas dan penasaran,  tapi tak punya

alasan cukup kuat untuk bertindak nekat. Aku senang dapat mempermainkan mereka dengan cara

tersebut. Kalau mereka berulah, kita juga bikin ulah. Namun jangan pernah beri mereka peluang

untuk bikin onar.

             Aku  menikung  turun ke sawah begitu rumah berpagar tembok itu kelihatan.  Entah  ke-

napa,  aku  selalu merasa tidak enak hati setiap lewat di depan pagar tertutup itu.  Kata Pairah, itu

adalah rumah kepala kampung kami yang terdahulu.  Tapi dia sudah mati puluhan tahun lalu. Se-

mua anaknya sekolah di kota, kalau benar dia punya anak, dan jarang pulang.  Mereka adalah sa-

tu-satunya keluarga yang punya mobil di Kalahan sini.  Tapi  mereka  tak pernah lagi terlihat ber-

gaul dengan orang banyak, setidaknya menurut pengetahuanku. Katanya mereka kini jadi pengu-

saha. Orang kaya yang punya banyak usaha di luaran. Mereka terlihat selalu sibuk, seperti layak-

nya  orang kikir pada umumnya.  Sekarang rumah itu hanya jadi tempat singgah sementara, kuki-

ra.  Tempat  berkumpul sewaktu-waktu, atau apalah.  Yang  jelas,  pada malam Jum’at setelah pe-

nguburan si Kumis Sarampang, aku keluyuran hingga sampai sini.  Dan  menyaksikan  bayangan

samar setan-setan gentayangan datang dan menghilang di sekitar sini.

             Aku  menuju  ke  tempat  di mana  aku menemukan sebatang kelapa tua roboh semalam.

Kelapa  itu  sudah  tumbang sejak berbulan-bulan lalu dan terendam air.  Daun dan pucuk-pucuk-

nya  telah  layu  dan  meranggas  kini.  Orang-orang menyangka umbutnya sudah busuk.  Jadi tak

ada  yang  menghiraukan.  Tapi  aku  telah  memeriksanya semalam.  Mencoba menarik daun dan

pucuknya sekuat tenaga.  Tak tergeser sedikitpun. Tanda pangkal dahannya masih berakar, hidup.

Kelapa adalah termasuk tanaman yang paling tahan kemarau.  Kalau kekurangan air, ia hanya tak

berbuah. Jarang sampai mati. Itulah yang kuamati dari ratusan batang pohon yang kini sudah ber-

tumbangan.  Aku kini tak pernah kekurangan air. Ke mana-mana aku selalu menyelipkan dua bo-

tol air di balik baju. Satu besar satu kecil.

           Aku mengeluarkan parang dari buntelan kain dan mulai memotong dahan-dahannya hing-

ga  tinggal  sejengkal.  Aku terpekik kegirangan karena menemukan pada bagian dalam dahan itu

masih  segar  dan mengandung air.  Inilah satu dari tanda-tanda kebesaran Tuhan.  Dia tidak akan

pernah menelantarkan hamba-Nya yang giat berusaha dan mau menggunakan akal. Aku tengadah

ke  arah  langit  dan mengucap syukur.  Bidadari-bidadari itu pasti sedang mengarahkan telunjuk-

nya padaku, “lihat makhluk fana itu, dia sedang berjuang mati-matian melawan takdir.  Dasar ba-

jingannya bajingan!” Aku tertawa terbahak-bahak seperti orang gila kesurupan semangat perang.

Mengacung-acungkan tinju ke langit.

            Satu  jam  lamanya  aku bergulat melawan takdir dan berhasil keluar dengan selamat dari

cengkramannya.  Di  depanku  kini  teronggok  sebuah umbut besar cukup untuk makan tiga hari.

Aku  memasukkannya  ke karung dan meneruskan perjalanan ke hutan.  Tiga jam kemudian baru

aku  sampai  ke danau karena sering berhenti.  Air danau menyusut tak kentara.  Dan burung-bu-

rung bangau itu telah pergi entah ke mana.  Mungkin juga mati tapi tidak di sini.  Aku berencana

menginap sekuatnya sampai perbekalan habis. Dua hari lalu aku telah membuat tempat berteduh

yang lumayan bagus, sebuah pondok kayu setinggi kepala. Lantainya kubuat dari batang-batang

galam yang telah dikupas. Tanpa atap. Aku hanya meletakkan sejumlah cabang pohon pada bagi-

an  atas,  menyusunnya tumpang tindih.  Dua hari sekali cabang-cabang itu mesti diganti,  karena

daunnya  rontok  berserakan.  Aku  membuka buntelan.  Menggelar kain-kain di lantai lalu duduk

dengan nyaman sambil menjuntaikan kaki. Kelakuan yang aku tiru dari sebauh drama mamanda,

yakni ketika seorang raja baru selesai melakukan kejahatannya.

             Di  kaki  langit  sebelah selatan gumpalan-gumpalan awan kecil berserakan,  putih kecil-

kecil  seperti kepala jamur merang.  Kalau saja awan-awan itu digabung jadi satu, pasti jadi tebal

dan hitam.  Lalu uap laut akan mengumpul di sana.  Angin mengaraknya ke atas Kalahan,  hujan-

pun  akan  menyapu  debu-debu dari jalanan dan dedaunan.  Air mengucur dari bubungan rumah,

jadi setaip orang bisa menadahkan baskom dan tempayan.  Air akan menggenangi sungai dan su-

mur,  danau dan telaga,  lalu merambat ke persawahan.  Katak-katak bertelur dan bernyanyi riang

sepanjang malam.

             Aku ingat pada suatu hari di musim hujan, Pairah dan aku berteduh pada sebuah pondok

di tengah sawah.  Angin  bertiup kencang dan cuaca seketika jadi gelap karena tertutup awan dan

hujan. Aku berlindung di belakang Pairah, karena halilintar sebentar-sebentar mencambuk cakra-

wala. Membentangkan patahan cahaya putih terang dalam latar alam yang hitam kebiruan. Kami

basah kuyup dan menggigil.  Bilah-bilah hujan pecah dihempas angin, hingga seluruh permukaan

sawah itu sekilas seperti mengeluarkan uap putih.  Tamparan  tempias air yang keras itu melecuti

wajah dan kaki kami yang tak bertutup.

            “Lain kali kau tinggal saja di rumah,  nanti sakit.  Dalam cuaca begini siapa saja bisa ke-

na demam!” Pairah berteriak di antara gemuruh hujan.

             Aku  tak  bisa  bicara.  Gigi-gigiku  terus bergemulutukan tak terkendali.  Segugus angin

menghantam pondok. Beberapa atap copot dan terbang. “Kita harus pergi sekarang. Hujan begini

akan lama baru reda.”  Pairah turun. Menyuruhku naik ke punggung. Aku menggeleng kuat-kuat.

Lihat selengkapnya