BAGIAN KEDUA
BAB VII
Ia lari-lari anjng berkeliling. Berpegangan pada tangan dan baju Pairah. Anak-anak itu te-
rus mengejarnya dengan tangan terulur. Hendak mencubit dan memukul.
“Pantat kaca mata! Pantat kaca mata! Pantat kaca mata….”
Mereka bersorak kegirangan. Membuat lingkaran. Makin lama makin besar dan banyak.
Beberapa anak mengambil kerikil. Menyambitnya bergantian seperti sedang adu ketangkasan.
Pairah mendudukkan Bana ke tanah. Mendekapnya seperti seekor induk ayam. Menggunakan
seluruh badannya untuk melindungi adiknya dari sambitan kerikil-kerikil. Anak-anak itu makin
terangsang. Mereka mulai menendang. Semula pantat Bana yang bolong. Lalu pantat Pairah. Ke-
dua kakak beradik itu tak bergeming. Makin rapat berpelukan. Seorang bocah gundul, Muhyar,
berinisiatif menarik rambut Pairah. Pairah bersikukuh bertahan. Tak melawan. Ia menahankan
seluruh kesakitan itu agar tetap bisa menggunakan badannya untuk melindungi adiknya. Muhyar
jadi berang. Ia menghentak-hentakkan rambut Pairah sekuat tenaga. Pairah makin merapatkan
badan. Ia tahu, sedikit saja dekapannya terbuka, anak-anak itu akan menarik Bana dan menjadi-
kannya bulan-bulanan seperti kemarin. Sikap ngotot Pairah itu membuat Muhyar meradang. Ia
mundur. Mengambil ancang-ancang. Secepat sambaran elang kaki kanannya menghantam sisi
kanan wajah Pairah, persis di telinga. Pairah mendengking seperti hewan dikuliti hidup-hidup.
Terguling di atas pasir dan berkelojotan. Bana cepat-cepat bangkit menyambar Muhyar, menggi-
git tangannya seperti anjing gila. Muhyar menepis-nepiskan tangannya sekuat tenaga. Tapi Bana
nampaknya sudah siap untuk mati. Ia membenamkan seluruh giginya sambil berpelukan pada pa-
ha musuhnya kuat-kuat. Mereka bergulung-gulung di atas pasir. Dengan tangan kirinya Muhyar
memukul kepala Bana sekuat tenaga. Tapi Bana tak bisa merasakan pukulan-pukulan itu. Satu-
satunya yang ia rasakan adalah amarah dan keinginan untuk membinasakan. Pak pengasuh tiba-
tiba datang. Mengangkat lalu menghempaskan kedua bocah yang sedang bergulat itu ke tanah.
Menghalau kerumunan agar bubar.
Sejak tadi ia telah memperhatikan dari jendela kamar. Tak menduga sama sekali bahwa
Muhyar, jagoannya, menghadapi perlawanan sengit dari dua bocah udik itu. Selama ini Muhyar
selalu bisa diandalkan untuk menggertak dan membikin jera anak-anak baru yang melanggar atu-
ran asrama. Pairah dan Bana dipanggil menghadap.
“Kenapa kalian mau lari?”
Pairah diam saja. Telinganya terus mendengung dan meneteskan darah. Bana mendempit
erat di belakangnya.
“Kalian melanggar aturan asrama. Kalian ingin mempermalukan para pengasuh. Apakah
di sini kalian kelaparan hah? Apakah kami tak cukup memberi kalian makan? Kalian ingin ber-
keliaran di luar sana sambail berkata ‘lihat kami masyarakat umum, kami tak diurus para penga-
suh, tak cukup makan, ditelantarkan. Tengoklah muka bajingan-bajingan yang sok dermawan itu.
Mereka adalah musang berbulu domba. Penyamun belas kasih yang berlindung di balik pung-
gung anak-anak yatim!’, tidak kawan, kalian tak bisa melakukan itu. Saya tidak rela!” Antung
Hasan, kepala pengasuh itu mengeluarkan senjata rahasianya, sebilah rotan seukuran telunjuk.
Secara refleks, dua kakak beradik itu langsung merapatkan badan. Dalam dua hari terakhir ini
mereka telah menyaksikan keampuhan tongkat rotan itu, yaitu setelah selesai shalat subuh. Mere-
ka yang melanggar aturan disuruh maju ke depan. Seorang pengasuh membacakan pasal-pasal
aturan asrama, lalu menandai aturan mana yang dilanggar anak bersangkutan. Anak itu disuruh
mengaku. Lalu dengan suka rela membuka paha. Antung Hasan akan memberi tanda berupa tiga
bilur menyilang pada paha itu. Si terhukum tak berani bergerak. Hanya menunduk takzim. Kalau
tak tahan, air matanya akan jatuh menetes ke bekas pukulan rotan itu. Bayangan itulah yang
membuat Pairah akhirnya buka suara. Bagamana kalau itu menimpa adiknya?
“Adik saya terus teringat ibu. Ia selalu mengigau.”
“Hmm ibu. Oya, kalian punya ibu rupanya. Kenapa setan betina itu membuang kalian
kemari?”
“Dia sakit.”
“Sakit?”
“Sakit sekali. Sudah lama.” Pairah tak bisa meneruskan kata-katanya. Ia sendiri selalu ter-
kenang keadaan ibunya. Bagaimana keadaannya sekarang? Siapa yang mengurusnya? Memberi-
nya makan?
“Buka!”
“Ampun Pak! Ampun!”
“Buka!”
Pairah diam saja. Bana memeluknya dari belakang. Antung Hasan mengangkat kain Pai-
rah dan secepat kilat mendaratkan tiga pukulan telak pada paha kurus itu. Bana melompat, tapi
Pak Hasan berhasil menangkap tangannya. Ia mendapatkan tiga pukulan pada pantat celananya
yang bolong. Terdengar suara cekikikan dari dua jendela depan yang dipenuhi para penonton.
“Setan kecil. Memangnya kalian ditelantarkan di sini?”
Antung Hasan meninggalkan kedua kakak beradik yang terkencing-kencing itu. Penonton
bubar. Kembali ke lapangan dan bermain kejar-kejaran. Pairah masih terpana. Tak bisa mencerna
peristiwa yang baru saja mereka alami. Sungguh di luar nalarnya, bahwa ia berhadapan dengan
seseorang yang bisa menyakiti adiknya dengan leluasa tanpa ia sanggup membela. Itulah hari ke-
tiga mereka di panti asuhan.
Selama itu mereka tak sempat mandi. Bana tidur berjejalan dengan tiga orang lain pada
sebuah dipan kayu seluas satu meter. Bana meringkuk seperti seekor anak kucing pada suatu su-
dut, mengigau dan memanggil-manggil ibu. Kawan sedipannya yang sangat terganggu mencubit
pahanya kecil-kecil hingga bocah itu meraung, membangunkan sesisi asrama. Ketua asrama me-
ngeluarkannya ke teras dan mengunci pintu asrama . Diam-diam Pairah keluar dari asrama sebe-
lah, memberikan sarung, lalu mereka tidur meringkuk dekat bak sampah hingga menjelang su-
buh. Pairah kembali ke asramanya sebelum anak-anak lain terbangun.
Selepas jam pelajaran, Pairah selalu mengajak Bana ke belakang sekolah. Menyendiri.
Menghindar dari jangkauan anak-anak lain. Panti asuhan itu baru dibuka dua tahun lalu. Menam-
pung kurang lebih lima puluh orang anak, laki-laki dan perempuan. Mereka punya dua asrama,
tiga ruang kelas, satu ruang makan, dan tiga pondokan guru sekaligus pengasuh. Bagian bela-
kang sekolah itu merupakan semak karamunting dan hutan akasia. Ada dua baris pohon pepaya
setinggi pinggang juga tunas-tunas nanas yang baru tumbuh. Kelakuan dua kakak beradik ini di-
perhatikan oleh dua orang anak laki-laki lain. Setiap ia dan Pairah menyelinap ke tempat sepi,
dua bocah itu tak lama kemudian menyusul. Mereka kemudian asyik bercerita dan bermain. Me-
reka adalah dua sepupu yang baru seminggu datang, namanya Juhri dan Sabran. Juhri selalu ber-
cerita tentang ibunya yang tua dan sakit-sakitan, kadang sampai muntah darah. Mereka juga ti-
dak betah dan ingin pulang. Tapi tidak tahu cara dan jalannya. Mereka juga udik. Seumur hidup
tidak pernah keluar kampung.
Di antara mereka berempat, Bana adalah yang paling kecil. Di kampung ia masih tidur
dengan ibunya, juga makan masih disuapi. Ia tidak pernah dimarahi apalagi berkelahi. Maka tin-
dakan sewenang-wenang orang-orang asing itu sangatlah mengejutkan, mengerikan. Ia sama se-
kali tak sanggup memahami, kenapa semua orang tiba-tiba memusuhi dan ingin menyakitinya,
menyakiti Pairah. Kenapa orang-orang bisa begitu jahat dan buas tanpa alasan.
Selama waktu-waktu itu ia tak berani mandi. Ia tak menggosok gigi, tak mengganti baju
dan celana. Sekujur tubuhnya gatal-gatal. Sandal dan sebagian pakaiannya juga hilang. Badannya
kini menguarkan bau basuk dalam jarak tiga meter. Namun sejak peristiwa penggigitan itu, anak-
anak tak mau lagi bertindak sembarangan. Mereka menyisih dan menjauhinya secara diam-diam.
Rasa tidak nyaman ini dilaporkan ketua asrama pada Antung Hasan. Maka pada suatu pagi, keti-
ka semua anak berkumpul di kolan, Antung Hasan mengangkatnya dengan sebelah tangan lalu
melemparkannya ke tengah-tengah kolam. Anak-anak bersorak kegirangan. Antung Hasan me-
ninggalkan tempat itu sambil menyapukan tangannya ke baju seakan membersihkan kotoran. Be-
berapa detik bocah itu tidak juga muncul ke permukaan. Pairah terjun menyelam dan mendapati
adiknya menggapai-gapaikan tangan di dasar kolam. Bocah itu sama sekali tak bisa berenang. Di
kampung ia belum diizinkan menjamah air. Umurnya belum empat tahun. Pairah mengangkatnya
ke permukaan. Juhri merangkum kedua kaki Bana dengan tangan, mengangkatnya terbalik. Bana
megap-megap. Mulut dan hidungnya mengeluarkan air bercampur muntahan berwarna kuning.
Mukanya sebiru cangkakng kepiting darat. Kini Pairah yakin, suatu saat, satu di antara orang-
orang asing ini, entah dengan alasan apa dan cara bagaimana, bisa saja membunuh mereka tanpa
mereka bisa melawan. Malam itu Bana menggigil hebat. Demam. Ia terus meracau memanggil
ibu dalam bisikan-bisikan pelan. Mereka meringkuk di teras, dikerumuni nyamuk. Angin dingin
menghembus ngilu dari dahan-dahan pohon yang bergoyang, sementara gerimis turun menyapui
seluruh halaman asrama yang gelap gulita itu.
Mereka tercekat ketika pintu asrama putra terbuka perlahan. Dua sosok hitam mengham-
piri. Pairah menegakkan diri, bersiap terhadap segala kemungkinan.
“Kita bisa pergi sekarang,” itu suara Juhri, “semua barang sudah kami siapkan.” Juhri dan
Sabran masing-masing menenteng dua kantong plastik. Bana berdiri seketika. Seperti baru tersa-
dar dari mimpi. Ia sangat bersemangat. Pairah memandangi adiknya lekat. Otaknya bekerja keras
menimbang-nimbang segala kemungkinan. “Mungkin ibuku sudah meninggal,” Juhri berkata
menerawang, “aku bermimpi terus-menerus. Orang-orang datang melayat ke rumah kami. Aku
melihat seseorang terbujur kaku, berselimut kain hijau.” Kata-kata itu diucapkan dengan berbi-
sik-bisik, satu demi satu, di tengah malam pekat, sehingga menyerupai suara kematian itu sendi-
ri. Mereka terbawa suasana berkabung.
“Barang-barangku di asrama,” Pairah akhirnya mengambil keputusan, “tunggulah seben-
tar.” Ia melangkah.
Tapi Juhri mencekal tangannya, “kita sudah kepalang basah. Ketahuan sedikit matilah.”
Lalu Sabran menyerahkan kantong milik Bana pada Pairah. “Dengar, kampung kami bisa
tiga kali lipat kampung kalian jauhnya. Kami tidak tahu itu di mana. Kita tidak tahu apakah akan
selamat atau mati nanti. Tapi kita tahu, bahwa di sini kita bisa mati kapan saja. Tanpa diketahui