GENOSIDA KESUNYIAN

Abdurrazzaq Zanky
Chapter #7

BAB VII

 BAGIAN KEDUA

 

Bab VII

        

Ia lari-lari anjng berkeliling. Berpegangan pada tangan dan baju Pairah. Anak-anak itu terus mengejarnya dengan tangan terulur. Hendak mencubit dan memukul.

“Pantat kaca mata! Pantat kaca mata! Pantat kaca mata….” Mereka bersorak kegirangan. Membuat lingkaran. Makin lama makin besar dan banyak. Beberapa anak mengambil kerikil. Menyambitnya bergantian seperti sedang adu ketangkasan. Pairah  mendudukkan Bana ke tanah. Mendekapnya seperti seekor induk ayam. Menggunakan seluruh badannya untuk melindungi adiknya dari sambitan kerikil-kerikil. 

Anak-anak itu makin terangsang. Mereka mulai menendang. Semula pantat Bana yang bolong. Lalu pantat Pairah. Kedua kakak beradik itu tak bergeming. Makin rapat berpelukan. Seorang bocah gundul, Muhyar, berinisiatif menarik rambut Pairah. Pairah bersikukuh bertahan. Tak melawan. Ia menahankan seluruh kesakitan itu agar tetap bisa menggunakan badannya untuk melindungi adiknya. Muhyar jadi berang. Ia menghentak-hentakkan rambut Pairah sekuat tenaga. Pairah makin merapatkan badan. Ia tahu, sedikit saja dekapannya terbuka, anak-anak itu akan menarik Bana dan menjadikannya bulan-bulanan seperti kemarin. 

Sikap ngotot Pairah itu membuat Muhyar meradang. Ia mundur. Mengambil ancang-ancang. Secepat sambaran elang, kaki kanannya menghantam sisi kanan wajah Pairah, persis di telinga. Pairah mendengking seperti hewan dikuliti hidup-hidup. Terguling di atas pasir dan berkelojotan. Bana cepat-cepat bangkit menyambar Muhyar, menggigit tangannya seperti anjing gila. Muhyar menepis-nepiskan tangannya sekuat tenaga. Tapi Bana sudah siap untuk mati.Ia membenamkan seluruh giginya sambil berpelukan pada paha musuhnya kuat-kuat. Mereka bergulung-gulung di atas pasir. Dengan tangan kirinya Muhyar memukul kepala Bana sekuat tenaga. Tapi Bana tak bisa merasakan pukulan-pukulan itu. Satu-satunya yang ia rasakan adalah amarah dan keinginan untuk membinasakan. 

Pak pengasuh tiba-tiba datang. Mengangkat lalu menghempaskan kedua bocah yang sedang bergulat itu ke tanah. Menghalau kerumunan agar bubar. Sejak tadi ia telah memperhatikan dari jendela kamar. Tak menduga sama sekali bahwa Muhyar, jagoannya, menghadapi perlawanan sengit dari dua bocah udik itu. Selama ini Muhyar selalu bisa diandalkan untuk menggertak dan membikin jera anak-anak baru yang melanggar aturan asrama. Pairah dan Bana dipanggil menghadap.

“Kenapa kalian mau lari?”

Pairah diam saja. Telinganya terus mendengung dan meneteskan darah. Bana mendempit erat di belakangnya.

“Kalian melanggar aturan asrama. Kalian ingin mempermalukan para pengasuh. Apakah di sini kalian kelaparan hah? Apakah kami tak cukup memberi kalian makan? Kalian ingin berkeliaran di luar sana sambil berkata ‘lihat kami masyarakat umum, kami tak diurus para pengasuh, tak cukup makan, ditelantarkan.Tengoklah muka bajingan-bajingan yang sok dermawan itu. Mereka adalah  musang berbulu domba. Penyamun belas kasih yang berlindung di balik punggung anak-anak yatim!’, tidak kawan, kalian tak bisa melakukan itu. Saya tidak rela!”  Antung Hasan, kepala pengasuh itu mengeluarkan senjata rahasianya, tongkat rotan seukuran telunjuk.

Secara refleks, dua kakak beradik itu langsung merapatkan badan. Dalam dua hari terakhir ini mereka telah menyaksikan keampuhan tongkat rotan itu, yaitu setelah selesai shalat subuh. Mereka yang melanggar aturan disuruh maju ke depan. Seorang pengasuh membacakan pasal-pasal aturan asrama, lalu menandai aturan mana yang dilanggar anak bersangkutan. Anak itu disuruh mengaku. Lalu dengan suka rela membuka paha. Antung Hasan akan memberi tanda berupa tiga bilur menyilang pada paha itu. Si terhukum tak berani bergerak. Hanya menunduk takzim. Kalau tak tahan, air matanya akan jatuh menetes ke bekas pukulan rotan tersebut. Bayangan itulah yang membuat Pairah akhirnya buka suara. Bagaimana kalau itu menimpa adiknya?

“Adik saya terus teringat ibu. Ia selalu mengigau.”

“Hmm ibu. Oya, kalian punya ibu rupanya. Kenapa setan betina itu membuang kalian kemari hah?”

“Dia sakit.”

“Sakit?”

“Sakit sekali. Sudah lama.” Pairah tak bisa meneruskan kata-katanya. Ia sendiri selalu terkenang keadaan ibunya. Bagaimana keadaannya sekarang? Siapa yang mengurusnya? Memberinya makan?

“Buka!”

“Ampun Pak! Ampun!”

 “Buka!”

Pairah diam saja. Bana memeluknya dari belakang. Antung Hasan mengangkat kain Pairah dan secepat kilat mendaratkan tiga pukulan telak pada paha kurus itu. Bana melompat, tapi Pak Hasan berhasil menangkap tangannya. Ia mendapatkan tiga pukulan pada pantat celananya yang bolong. Terdengar suara cekikikan dari dua jendela depan yang dipenuhi para penonton.

“Setan kecil. Memangnya kalian ditelantarkan di sini!”

Antung Hasan meninggalkan kedua kakak beradik yang terkencing-kencing itu. Penonton bubar. Kembali ke lapangan dan bermain kejar-kejaran. Pairah masih terpana. Tak bisa mencerna peristiwa yang baru saja mereka alami. Sungguh di luar nalarnya,  bahwa ia berhadapan dengan seseorang yang bisa menyakiti adiknya dengan leluasa tanpa ia sanggup membela. Itulah hari ketiga mereka di panti asuhan.

Selama itu mereka tak sempat mandi. Bana tidur berjejalan dengan dua orang lain pada sebuah dipan kayu seluas satu meter.  Bana meringkuk seperti seekor anak kucing pada suatu sudut, mengigau dan memanggil-manggil ibu. Kawan sedipannya yang sangat terganggu mencubit pahanya kecil-kecil hingga bocah itu meraung, membangunkan sesisi asrama. Ketua asrama mengeluarkannya ke teras dan mengunci pintu asrama . Diam-diam Pairah keluar dari asrama sebelah, memberikan sarung, lalu mereka tidur meringkuk dekat bak sampah hingga menjelang subuh. Pairah kembali ke asramanya sebelum anak-anak lain terbangun.

Selepas jam pelajaran, Pairah selalu mengajak Bana ke belakang sekolah. Menyendiri. Menghindar dari jangkauan anak-anak lain. Panti asuhan itu baru dibuka dua tahun lalu. Menampung kurang lebih lima puluh orang anak, laki-laki dan perempuan. Mereka punya dua asrama, tiga ruang kelas, satu ruang makan, dan tiga pondokan guru sekaligus pengasuh. 

Bagian belakang sekolah itu merupakan semak karamunting dan hutan akasia. Ada dua baris pohon pepaya setinggi pinggang juga tunas-tunas nanas yang baru tumbuh. Kelakuan dua kakak beradik ini diperhatikan oleh dua orang anak laki-laki lain. Setiap ia dan Pairah menyelinap ke tempat sepi, dua bocah itu tak lama kemudian menyusul. Mereka kemudian asyik bercerita dan bermain.

Mereka adalah dua sepupu yang baru seminggu datang, namanya Juhri dan Sabran. Juhri selalu bercerita tentang ibunya yang tua dan sakit-sakitan, kadang sampai muntah darah. Mereka juga tidak betah dan ingin pulang. Tapi tidak tahu cara dan jalannya. Mereka juga udik. Seumur hidup tidak pernah keluar kampung.

 Di antara mereka berempat, Bana adalah yang paling kecil. Di kampung ia masih tidur dengan ibunya, juga makan masih disuapi. Ia tidak pernah dimarahi apalagi berkelahi. Maka tindakan sewenang-wenang orang-orang asing itu sangatlah mengejutkan, mengerikan. Ia sama sekali tak sanggup memahami, kenapa semua orang tiba-tiba memusuhi dan ingin menyakitinya, menyakiti Pairah. Kenapa orang-orang bisa begitu jahat dan buas tanpa alasan.

Selama waktu-waktu itu ia tak berani mandi. Ia tak menggosok gigi, tak mengganti baju dan celana. Sekujur tubuhnya gatal-gatal. Sandal dan sebagian pakaiannya juga hilang. Badannya kini menguarkan bau basuk dalam jarak tiga meter. Namun sejak peristiwa penggigitan itu, anak-anak tak mau lagi bertindak sembarangan. Mereka menyisih dan menjauhinya secara diam-diam.

Rasa tidak nyaman ini dilaporkan ketua asrama pada Antung Hasan. Maka pada suatu pagi, ketika semua anak berkumpul di kolan, Antung Hasan mengangkatnya dengan sebelah tangan lalu melemparkannya ke tengah-tengah kolam. Anak-anak bersorak kegirangan. Antung Hasan meninggalkan tempat itu sambil menyapukan tangannya ke baju seakan membersihkan kotoran. Beberapa detik bocah itu tidak juga muncul ke permukaan. Pairah terjun menyelam dan mendapati adiknya menggapai-gapaikan tangan di dasar kolam. Bocah itu sama sekali tak bisa berenang. Di kampung ia belum diizinkan menjamah air. Umurnya belum empat tahun. Pairah mengangkatnya ke permukaan. Juhri merangkum kedua kaki Bana dengan tangan, mengangkatnya terbalik. Bana megap-megap. Mulut dan hidungnya mengeluarkan air bercampur muntahan berwarna kuning. Mukanya sebiru cangkang kepiting darat. 

Kini Pairah yakin, suatu saat, satu di antara orang-orang asing ini, entah dengan alasan apa dan cara bagaimana, bisa saja membunuh adiknya tanpa ia bisa melawan. Malam itu Bana menggigil hebat. Demam. Ia terus meracau memanggil ibu dalam bisikan-bisikan pelan. Mereka meringkuk di teras, dikerumuni nyamuk. Angin dingin menghembus ngilu dari dahan-dahan pohon yang bergoyang, sementara gerimis turun menyapui seluruh halaman asrama yang gelap gulita itu.

Mereka tercekat ketika pintu asrama putra terbuka perlahan. Dua sosok hitam menghampiri. Pairah menegakkan diri, bersiap terhadap segala kemungkinan.

“Kita bisa pergi sekarang,” itu suara Juhri, “semua barang sudah kami siapkan.” Juhri dan Sabran masing-masing menenteng dua kantong plastik. Bana berdiri seketika. Seperti baru tersadar dari mimpi. Ia sangat bersemangat. Pairah memandangi adiknya lekat. Otaknya bekerja keras menimbang-nimbang segala kemungkinan. 

“Mungkin ibuku sudah meninggal,” Juhri berkata menerawang, “aku bermimpi terus-menerus. Orang-orang datang melayat ke rumah kami. Aku melihat seseorang terbujur kaku, berselimut kain hijau.” Kata-kata itu diucapkan dengan berbisik-bisik, satu demi satu, di tengah malam pekat, sehingga menyerupai suara kematian itu sendiri. Mereka terbawa suasana berkabung.

“Barang-barangku di asrama,” Pairah akhirnya mengambil keputusan, “tunggulah sebentar.” Ia melangkah. Tapi Juhri mencekal tangannya, “kita sudah kepalang basah. Ketahuan sedikit matilah.”

Lalu Sabran menyerahkan kantong milik Bana pada Pairah.

“Dengar, kampung kami bisa tiga kali lipat kampung kalian jauhnya. Kami tidak tahu itu di mana. Kita tidak tahu apakah akan selamat atau mati nanti. Tapi kita tahu, bahwa di sini kita bisa mati kapan saja. Tanpa diketahui siapapun. Tanpa alasan, tanpa jejak, tanpa kuburan. Mungkin mereka akan melempar kita begitu saja ke tengah hutan. Diserahkan pada anjing-anjing…”

Maka di malam buta itu, merekapun lari sekencang-kencangnya melintasi halaman asrama. Menuju jalan setapak di sebelah kanan sekolah. Mereka tercebur ke parit kecil di sisi jalan. Terguling bersamaan ke dalam genangan air. Bana menjerit spontan. Mereka mendengar gonggongan anjing di kejauhan. Semua terdiam. Menunggu dengan tegang. Selarik kilat membiasi kegelapan.  Memperlihatkan sekilas alur jalan menuju ke luar hutan. 

“Ke sana!” Juhri kembali berlari. Semua mengikuti. Kini mereka sampai di sisi sebuah gudang yang gelap pekat. Tapi tak lama kemudian, kaki mereka menginjak jalanan beraspal.

“Ini dia. Kita harus belok kanan.” Juhri memberi aba-aba. Yang lain menurut saja.

Mereka beriringan menyisir jalan ke arah kota. Sebentar-sebentar sebuah mobil melintas. Menerangi jalan, membiaskan sekilas cahaya ke kejauhan, ke dalam kegelapan. Mereka berjalan tanpa istirahat sejenakpun, tanpa bicara. Bana merasa sangat segar bugar. Kadang ia berlari-lari kecil untuk mengimbangi langkah ketiga kawannya yang melaju kesetanan. Beberapa jam kemudian  mereka melihat pantulan benda-benda putih sepanjang sisi jalan. Itu adalah patok-patok rambu lalu lintas yang dipasang menjelang sebuah jembatan. 

Pairah berteriak kegirangan. “Benar! Inilah jalannya.Aku ingat, kami melintasi sebuah sungai dengan jembatan berwarna putih!” Memeka berlari menyongsong ke depan seakan sudah sampai tempat tujuan. Sebuah mobil melintas cepat. Roda-rodanya  berderak sejenak ketika melindas lantai jembatan. Juhri menahan langkah teman-temannya. 

“Kita turun saja ke bawah. Siapa tahu ada yang mengejar. Kita sembunyi dulu di bawah jembatan. Menunggu sampai hari terang.”

Tak ada yang membantah. Mereka masuk ke bawah kolong. Air sungai samar mengalir beberapa depa di hadapan mereka. Kolong itu ternyata hangat. Mereka mengambil sebuah sudut. Menggelar kain-kain dan berbaring berhimpitan. Mereka tidur dengan cepat dalam tenang buaian gerimis malam.

Mereka terbangun keesokan harinya oleh keributan di atas jembatan. Suara lantai yang derderak-derak terlindas bermacam  roda kendaraan dan kaki manusia, suara klotok yang hilir mudik di sungai. Mereka turun ke bawah. Kencing dan mencuci muka. Sebuah klotok bermuatan nanas dan kelapa melaju kencang, mengirimkan ombak pada kaki-kaki mereka. Bana tertawa girang. Menendang-nendang air ke arah perahu motor itu. Seorang remaja tanggung yang duduk dekat kemudi mengacungkan kepalan tangan ke arah mereka. Bana membalasnya dengan menunggingkan pantat bolongnya. Membuat teman-temannya terpingkal-pingkal. 

Mereka naik ke atas. Terkaget-kaget oleh keramaian sebuah pasar. Sepanjang sisi jalan di seberang jembatan, berjejer orang  menggelar bermacam kue dan penganan. Barulah Bana sadar bahwa ia sangat lapar. Ia berdiri cukup lama di hadapan seorang penjual nasi kuning dengan ekspresi penuh minat sebelum Pairah menarik tangannya menjauh. 

Mereka cepat berlalu dan matahari cepat meninggi. Kini sekujur tubuh mereka dipenuhi keringat dan debu. Air liur mereka kental dan asam. Menjelang tengah hari mereka berteduh di bawah sebatang pohon trembesi. Mereka sudah berjalan tanpa henti sejak pagi dan mulai merasa bingung. Tak pasti lagi dengan arah.

“Aku yakin ini jalan ke arah kota,” Juhri memicingkan mata, “tapi aku belum bisa menebak jalur mana yang harus diambil.  Kampung kami ada jauh di seberang sungai. Dua jam naik klotok dari pelabuhan kota.”

Lihat selengkapnya