GENOSIDA KESUNYIAN

Abdurrazzaq Zanky
Chapter #8

BAB VIII

                                                  BAB VIII

         

            Suatu  hari,  pagi-pagi sekali mereka menyelinap keluar.  Mereka melewati rumah berpa-

gar itu. Bana menceritakan pemandangan yang ia saksikan sebelum ia jatuh pingsan. Tentang ke-

anehan dan misteri orang-orang yang tinggal di sana.

          “Dulunya  itu  rumah kepala kampung,  rumah kakeknya maksudku.  Aku tak begitu ingat.

Kau belum ada.  Ayah dan ibu masih bersama.  Lalu timbul masalah.  Antara ayah dan dia, antara

ibu  dan dia,  antara mereka bertiga.  Aku tak begitu paham pada awalnya.  Sampai ayah tiba-tiba

menghilang. Sampai setahun kemudian kau lahir.  Sampai ibu sakit-sakitan. Sejak itu dia tak per-

nah lagi kelihatan.  Ada yang bilang dia meninggal. Ada yang mengatakan dia sakit parah. Mere-

ka tak pernah lagi terlihat berbaur dengan warga. Aku tidak tahu mengapa.”

           Pairah mengakhiri kisahnya.  Ia takut mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Lebih baik

membiarkan Bana tetap dengan kenangan indahnya. Tentang ibu. Tentang masa lalu mereka. Ke-

mudian ia membuka sedikit pengalamannya selama di kota. Tentang kekayaan yang dia bawa.

          “Itu  adalah  hari Jum’at  tanggal 23 Mei.  Seluruh karyawan lelaki pergi ke masjid menje-

lang tengah hari.  Tinggal kami bertiga; Asih, Inong, dan aku.  Pintu toko kami turunkan separuh

karena  biasanya  memang  tak  ada pembeli bila sedang Jum’atan.  Asih dan Inong ini adalah ka-

wanku sejak di penjara. Sekeluar penjara kami tak punya rencana atau tujuan.  Pelatih keterampi-

lan  kami,  Bu Sumiri,  menampung  kami sementara di rumah kontrakannya.  Sebulan kemudian

kami bekerja di sebuah toko kain.  Jadi kasir dan tukang potong.  Bos kami punya tiga toko besar

yang saling berdempetan. Enam kawan kami yang lain, yang semuanya laki-laki, menangani lo-

gistik, antar jemput barang, pengaduan pelanggan, penagihan kredit, pembukuan harian.

           “Jam satu  siang,  Jum’atan  belum  usai dan jalanan masih diblokade dengan kursi,  kami

lihat beberapa orang berpakaian kaos kuning partai mondar-mandir dengan motor dekat jama’ah

yang  masih  berdoa.  Memang  sore  itu  adalah giliran partai kuning buat kampanye di lapangan

Kamboja.  Entah  dari  mana datangnya,  puluhan motor lain tiba-tiba sudah berada di dekat kursi

yang menyekat jalan, lengkap dengan bendera dan umbul-umbul kecil.  Mereka bersikeras mem-

buka blokade jalan. Beberapa anak muda berdiri menghadang. Mereka bertengkar hebat. Seorang

pemotor tiba-tiba menabrakkan roda depannya ke kursi. Itulah awal provokasinya.  Partai kuning

adalah  partai penguasa.  Mereka banyak uang dan menguasai segalanya.  Tapi sangat dibenci ba-

nyak kalangan. Aku tidak tahu kenapa. Maksudnya, aku tidak tahu apa itu partai. Kenapa mereka

bisa  saling membenci.  Kemudian aku teringat pasar subuh di Kalahan sini.  Banyak blantik ikan

datang. Mereka membeli ikan secara partai. Semuanya.  Namun  dengan harga lebih murah tentu.

Jadi kupikir partai kuning itu semacam tukang borong ikan, blantik, calo,  pokoknya hal-hal yang

berhubungan  dengan  pekerjaan  seorang  serakah,  bajinganlah istilahnya yang tepat.  Tapi  Asih

mengatakan  bahwa  partai itu berhubungan dengan gambar-gambar,  baju kaos, amanat presiden,

hal-hal yang sebenarnya tidak penting-penting amat. Asih memang pernah bersekolah sampai ke-

las lima. Nah, di sekolahnya tiap hari senin ada apel bendera. Seorang guru menyampaikan ama-

nat,  yaitu ‘belajarlah baik-baik’, sebuah amanat yang sangat membosankan.  Jadi  mungkin saja,

orang  yang  benci partai  kuning  itu  sudah bosan dengan  semua amanat itu.  Amanat  presiden 

maksudnya.  Amanat yang itu-itu juga.  Karena seorang presiden itu  tidak  boleh tidak,  pada da-

sarnya adalah juga seorang guru.  Seorang  guru  gambar tepatnya.  Orang konyol itulah yang bi-

kin gambar-gambar besar di sepanjang jalan. Poster-poster raksasa yang biasa tergantung melam-

bai-lambai  di  antara dua batang pohon di jalanan kota.  Semacam orang-orangan sawah kalau di

kampung sini. Inong tidak terima kalau presiden dikatakan sebagai tukang gambar.  Ia bersikeras

mengatakan bahwa presiden itu adalah seorang pekerja musiman. Di rumahnya ada kalender ber-

gambar presiden sedang memanen padi. Banyak sekali. Nampaknya pada tempat dan waktu yang

berlainan.  Nah,  presiden ini punya banyak teman.  Mereka berkeliling mencar-icari daerah yang

sedang  panen.  Orang-orang  ini telah mengikat sumpah setia satu sama lain.  Saling berbagi dan

kabar-mengabari  kalau ada peluang usaha. Intinya presiden adalah seseorang  yang tidak  punya

kesibukan lain selain mencari-cari orang yang sedang panen. Karena tidak  boleh  tidak  presiden  

itu pada dasarnya juga seorang penganggur,  terutama di luar musim panen…”

           “Sedang asyik-asyiknya kami berdebat,  datanglah bos Acong bersama enam orang teman

kami. Si bos pucat pasi. Mereka mengamuk! Mereka mengamuk! Dia berteriak-teriak. Kami me-

longok ke luar. Jalanan dipenuhi motor.  Orang-orang berlarian tak tentu arah.  Para pemilik toko

sepanjang blok itu pada berdiri di bahu jalan.  Termasuk Wong Samidin,  pemilik toko emas yang

persis  berseberangan  dengan  toko  kami, musuh besar Acong yang selalu meniru-niru gaya bos

kami.  Dia  juga  berdiri  di  luar,  lengkap dengan sepuluh pegawainya,  sama seperti kami.  Koh

Acong  menunjuk-nunjuk  sebuah  angkot  kuning  yang sedang diguling-gulingkan. Kami mene-

ngok berbarengan. Wong Samidin menunjuk ke arah yang sama.  Para pegawainya juga menoleh

ke sana.  Seluruh penumpang angkot itu, yang semuanya berbaju kuning, tumpah tumpang tindih

ke  jalan  seperti sekaleng sarden.  Pakaian mereka dilucuti semua hingga tinggal beha dan kolor.

Mereka  berlarian  menyelamatkan  diri,  masuk  ke gang-gang kecil sepanjang blok . Koh Acong

merenggut  spanduk  toko  yang berwarna kuning.  Kami berlari ke dalam,  menyembunyikan ba-

rang  apa saja yang ada warna kuningnya.  Kau tahu kelebihan seorang cina?  Mereka cepat tang-

gap  terhadap situasi. Kami menutup toko dan diam-diam menyelinap dari pintu belakang.  Dari

pagar  pembatas  sungai,  kami  dapat  melihat ke atas jembatan besar yang menyambungkan dua

pusat perbelanjaan. Seluruh jalanan kini dipenuhi orang-orang berseragam hijau. Mereka menga-

lir datang dari berbagai sudut kota. Dari jalan sempit di belakang pasar, dari terminal angkot, dari

sungai,  dari empat penjuru jalan di pusat kota.  Mereka tampak sangat bersemangat dan kompak.

Saling  mendukung  dan  bersatu. Tampak jelas seperti kawanan yang tak terbendung.  Sehingga  

polisi-polisi  itu  hanya dapat berdiri termangu-mangu di depan pos jaganya.  Mengamati segala-

nya dengan pandang masygul. Sama bingungnya dengan kami.

           “Seandainya ada lalat lewat, pastilah akan masuk ke mulut kami.  Semua bengong, tak ta-

hu apa yang terjadi.  Lalu Misran berteriak, radio!  Cepat buka radio! Kami lari ke dalam. Bos A-

cong membuka Garda FM, stasiaun yang bermarkas di lantai atas sebuah hotel tak jauh dari toko

kami.  Mereka  sedang  mengamati  dengan teropong seluruh sudut kota dan melaporkan keadaan

secara langsung.  Beberapa reporter telah menyebar di sejumlah titik dalam radius 800 meter,  ja-

rak  yang  bisa  dijangkau orari.  Orang-orang ini saling berebut melaporkan situasi.  Menyiarkan

wawancara dengan bermacam orang. Mendesak supaya aparat mengambil alih keadaan. Mas Gi-

lang,  wartawan paling gemilang di Garda,  terpaksa turun tangan melerai keadaan.  Dia mengan-

cam akan membakar studio kalau tak ada yang mau diam. Dia mengomel-ngomel sendirian. Me-

nyeruduk sana-sini.  Menyebut-nyebut kekejaman,  penindasan, hak-hak yang tergadaikan, muak

dan  kemuakan,  setan-setan  penunggu pohon beringin,  para wasit yang bermain curang, kepala

daerah yang merangkap kepala keamanan,  para penjilat pantat,  cukong-cukong yang  berak per-

sis di atas kepala pejabat.  Kata-katanya yang terakhir ini membuat kami tertawa.  Mengingatkan

kami  pada  cerita koh Acong yang sedang menunggu pacar di bawah pohon jambu mente,  persis

di tempat ayam-ayam biasa eek.  Nampaknya  kami  terlalu asyik mendengarkan radio,  berdebat,

mengomentari analisa-analisa para ahli,  tahu-tahu hari sudah gelap.  Misran pergi ke luar.  Keba-

karan di mana-mana. Kami berdiri di pinggiran sungai. Bayangan lidah api menjilat-jilat sepenuh

air sungai.  Pusat perbelanjaan paling besar di seberang kami terbakar dengan hebat. Listrik dipa-

damkan. Kota gelap gulita. Tapi di jembatan, kami melihat ribuan orang berlarian ke segala arah,

berteriak-teriak kalap. Beberapa helikopter mondar-mandir di langit malam kota.  Menembakkan

lampu  sorot yang amat menyilaukan ke tengah-tengah kerumunan manusia.  Tiba-tiba dua sosok

gelap  berlari  dari  gang  kecil di samping toko kami.  Mereka menabrak Asih dan Misran hingga

jatuh terjengkang. Kami hampir saja menghajar orang-orang itu.  Tapi koh Acong mengenali me-

reka.  Para  tukang becak yang biasa mangkal di depan toko kami.  Mereka sedang melarikan ba-

rang jarahan; sepatu, celana jins, rokok, sarung. Koh Acong sangat marah: dasar penyu tolol! Ke-

napa kalian mencuri rongsokan-rongsokan begini? Dengar, kalian bisa sekaya Karun kalau bera-

ni  bongkar  toko-toko  bangsat  di seberang jalan itu!  Kata-kata itu ditujukan pada kami semua.

Kami saling berpandangan. Di seberang toko kami adalah toko-toko emas. Mereka adalah orang-

orang paling kaya di kota. Turun-temurun. Dan menjadi sumber pemicu iri dengki koh Acong.

Lalu,  dengan  suara  yang tak mengandung keraguan lagi,  koh Acong berbisik:  aku tunggu lima

belas menit di sini, di atas perahu motor.  Ambil hak kalian. Barang-barang kuning itu.  Aku akan

bakar  toko-toko ini pada menit keenam belas!  Semula kami mengira koh Acong sudah gila.  Hal

yang  biasa terjadi pada seorang cina yang akan bangkrut.  Tapi dia membentak kami:  pergi kali-

an  hei  anak-anak  kegelapan!  Kami bukanlah orang yang suka menunggu perintah untuk kedua

kali.  Kedua  tukang becak itu ikut terinspirasi Acong.  Dalam kemelut kegelapan malam itu,  de-

ngan  cepat kami menyebar. Merangsek ke seberang jalan. Pekerjaan itu hanya seperti mengam-

bil buah-buah mangga yang sudah jatuh. Kami sangat hapal dengan segala seluk beluk toko-toko

itu. Sebab dua kali sehari kami bolak-balik ke toilet yang ada di belakangnya.  Maka tak sampai

lima  belas  menit  kami  telah  berada di tengah-tengah sungai.  Membawa kantong-kantong kain

yang  memberat seperti diisi dengan besi timbangan. Berkayuh diam-diam seperti perahu pencari

ikan, di tengah bayangan api di kedua sisi sungai yang berkobar bagai cakar-cakar neraka.

          “Kami  menginap dua hari di rumah Acong.  Dia minta dari kami masing-masing setengah

kilo. Katanya buat modal baru. Hari-hari itu dia banyak tertawa.  Lebih gembira dari hari-hari bi-

asa.  Istrinya yang gemuk bertotol-totol,  karena kebanyakan makan bulus, memanjakan kami ba-

gai  anak-anaknya  sendiri.  Menyebut kami sebagai anjing sirkus yang lincah,  putra daerah yang

tersesat  di  jalan kebenaran,  anak manja berang-berang.  Acong tinggal di sebauh kawasan peru-

mahan mewah. Tetanggganya adalah para pejabat tinggi di daerah, pedagang dan pebisnis, mere-

ka yang namanya sering disebut-sebut dalam berita koran dan iklan-iklan di radio. Mereka punya

pusat olahraga,  kolam renang, klinik, taman, lapangan bola, lapangan golf mini, sanggar seni, la-

pangan  tembak.  Daerah  itu dulunya adalah kawasan kampung tua orang-orang Melayu.  Letak-

nya persis di belakang gedung dan sentra perbelanjaan di kota. Dulu, ketika Pemda dan pemodal

berniat mengembangkan  kawasan  itu,  orang-orang  Melayu  itu  adalah satu-satunya kelompok

yang tak mau dipindahkan, mereka nekat bertahan dan menanggung semua resiko.  Ketika semua

akses  jalan  keluar  ditutup,  orang-orang  pulau itu membangun dermaga kecil di pinggir sungai.

Mereka  punya puluhan perahu cepat dan kapal-kapal layar mini.  Menjalin bisnis pintu belakang

dengan  bos-bos nakal di sentra perbelanjaan kota.  Kapal-kapal layar itu punya kapasitas angkut

setara  empat  kotak kontainer standar dengan biaya emapt kali lebih murah dari jalur darat.  Der-

maga itu berubah menjadi jalan ‘tikus’ bagi para pedagang dan penyuplai barang antar pulau. Di-

mana para petugas lapangan dan aparat pajak saling berbagi hasil dengan adil. Mereka menem-

puh separoh perjalanan ekspedesi untuk menghindari formalitas pelabuhan Trisakti,  lalu dipung-

gah  dan disalin ke kapal-kapal tradisional yang lebih keci di tengah laut.  Inilah yang mereka na-

makan transaksi terapung, plesetan dari pasar terapung yang terkenal itu.

            “Tapi kegiatan ini hanya sempat berlangsung beberapa tahun saja.  Seorang pengembang

nasional  kemudian  berhasil membebaskan kawasan terisolir itu dengan membeli lahannya sepu-

luh  kali  lipat  tawaran pemerintah dan menyediakan lahan relokasi gratis di pinggiran kota.  313

pemukim  kampung  tua  itu  mendadak kaya raya.  Mereka mengembangkan kawasan pertokoan

tersendiri  yang kemudian terkenal dengan sebutan Pasar Baru.  Mereka inilah pelopor jenis tem-

pat usaha yang disebut ruko, rumah sekaligus toko.  Mereka memasok barang-barang ke toko-to-

ko kecil di berbagai kota kabupaten dan kotamadya. Keluarga Acong adalah salah satu OKB dari

kampung  tua.  Tapi dia punya pemikiran berbeda dengan rekan-rekan sekampung.  Dia termasuk

orang  pertama  yang membeli unit perumahan super mahal itu.  Dia menghabiskan sepertiga dari

uang pembebasan lahan untuk melunasi DP-nya saja.  Si pengembang nekat itu,  membeli sebuah

gedung  pertokoan  berlantai empat untuk membuka akses jalan.  Dia mengosongkan lantai dasar

itu untuk parkiran sekaligus akses jalan ke perumahan. Tipe rumah yang dia kembangkan itu sen-

diri adalah jenis rumah mewah pertama di seluruh Kalimantan.  Ide gila ini banyak menarik per-

hatian bos-bos dan para pejabat tinggi yang merindukan gengsi sekaligus ketenangan. Dalam ku-

run waktu tak sampai dua tahun, seluruh unit rumah langka itu habis terjual. Kampung tua itu ki-

ni  berubah  jadi semacam oase di tengah gebalau kota yang panas dan penuh persaingan.  Acong

tetap  punya barang-barang murah dalam gudang di belakang rumahnya.  Ia tetap melakukan jual

beli terapung  dengan  langganan-langganan lamanya.  Dan sebagai kedok,  ia membeli tiga toko

kecil di kawasan Sudimampir, tempat kami bekerja selama enam tahun ini. Semua rahasia itu dia

ungkapkan, tidak lain adalah karena dia sudah menganggap kami sebagai keluarga sendiri. Kare-

na kami telah banyak menolong dia. Karena keluarganya bukan orang jahat. Karena kami adalah

anak berang-berang kesayangan istrinya.

            “Malam ketiga kami pulang ke kontrakan Bu Sumiri. Kami shok dan bingung. Kota han-

cur  lebur dan kami merasa seperti dikejar-kejar orang entah siapa.  Kami tidak berani menongol-

kan kepala ke dunia luar,  padahal jam malam sudah dicabut dan polisi menjamin keamanan war-

ga.  Sehar-hari  kami  hanya berbisik-bisik di kamar.  Berkumpul di teras belakang rumah kontra-

kan.  Kami tak tahu apa yang harus dilakukan dengan kantong-kantong berisi emas itu.  Kami tak

dapat memahami bagaimana kelanjutan hubungan kami dengan Acong di waktu mendatang. Ka-

mi  justru  curiga  dengan  babi  licik itu,  jangan-jangan dia melaporkan kami ke polisi suatu hari

nanti. Toh dia tidak akan rugi barang seujung kuku. Dia punya lima kilo emas. Tiga kali lipat dari

yang kami punya masing-masing. Tanpa merasa berdosa sama sekali. Maksudku, dia benar-benar

bahagia. Tanpa tanggungan beban pikiran seperti yang kami rasakan.  Dan satu fakta yang sangat

mendukung kekhawatiran kami, istrinya terus-terusan memanggil kami anak berang-berang. Su-

atu pernyataan lugas yang menyiratkan bahwa kami sebenarnya tidak punya otak.

“Tapi  yang  amat menggelisahkan adalah hubungan kami dengan Bu Sumiri.  Bagaimana-

pun  dia adalah seorang aparat penegak hukum.  Dia adalah bagian dari petugas penjara.  Sejauh

ini  dia bisa cukup berbangga terhadap kemajuan yang kami capai.  Kami  mandiri dan rajin sem-

bahyang . Dia  sering  mengajak kami ke penjara pada hari-hari libur kerja.  Menjadikan kami se-

bagai  contoh  suri teladan bagi warga binaan yang ingin menempuh jalan kebenaran.  Andai kea-

daan  kami  yang sebenarnya terungkap, apa kata beliau?  Kami telah mencacati budi baik beliau.

Seminggu  lebih  kami berdebat tentang keadaan terakhir kami dan sikap yang harus diambil  ter-

hadap  Bu Sumiri.  Beliau sendiri bersikap biasa setiap kali lewat di depan kontrakan dan melihat

sepeda  kami masih terparkir di tempat.  Beliau pasti tahu bahwa tempat kerja kami ikut terbakar.

Kami kehilangan pekerjaan. Kami tak bisa bayar kontrakan.  Tapi bukan itu persoalan pokoknya.

Sekarang kami terlalu kaya. Kekayaan yang justru sangat menggelisahkan.  Bikin serba salah. Ti-

dak enak hati. Kami merasa terlalu mencolok dibanding orang-orang kebanyakan. Emas-emas itu

selalu  menjadi  ganjalan ketika kami ingin bersikap layaknya orang biasa. Ya, kami bukan orang

biasa lagi. Derajat kami naik beberapa tingkat dari para buruh biasa. Sungguh tidak enak.

            “Celakanya,  fantasi  buruk emas-emas sialan itu meramabah juga sampai ke dalam tidur.

Inong yang pertama mengalami. Pada suatu tengah malam ia menjerit-jerit dengan suara seperti

orang terbekap, sesak nafas. Aku menendangnya sampai jatuh ke lantai. Kami semua terjaga de-

ngan perasaan  ganjil. Secara bersamaan kami dapat menduga  apa yang baru mendatangi Inong

dalam mimpinya.  Ada ancaman dari segala penjuru.  Kami diintai mata-mata,  mata-mata dunia

kegelapan.  Ada sesuatu yang tak pernah tidur mengawasi kami siang malam.  Dia  sangat  dekat.

Tapi  kami  tak  tahu dimana.  Kami hanya dapat merasakan kehadirannya,  sinar dingin pancaran

matanya yang menembus tengkuk kami yang terbuka.  Dia bisa membekuk kami kapan saja.  Se-

lama  beberapa  hari ini dia telah melepaskan beberapa anak panah kecil,  anak panah mainan un-

tuk menakuti kami.  Inong demam dan tak mau makan.  Dia bersikeras ingin mengembalikan ba-

rang-barang curian itu. Tapi ke mana? Toko-toko itu telah rata dengan tanah. Ke Acong? Bisa sa-

ja.  Tapi  itu  akan menimbulkan masalah bagi yang lain, aku dan Asih.  Acong akan menggarong

kami sampai habis. Sampai sore dia  tetap tak mau makan.  Kami mulai bertengkar.  Inong menu-

nuduh kami sebagai biang keladi semua kesialannya.  Dia mengatakan, melihat kami sama seper-

ti melihat cerminan nasib buruk dunia.  Yakni sebuah gambaran suram tentang alam baka. Ia me-

ngatakan kami telah menjerumuskannya ke jalan setan,  memperkosa  hak-haknya sebagai manu-

sia  berahati  bersih. Yaitu perempuan baik-baik yang sedang mendamba cinta pemuda baik-baik,

mempermalukan seluruh nenek moyangnya yang merupakan keturunan  langsung dari Bekantan.  

Ya, apa boleh buat, kami terpaksa menghajarnya demi membuatnya  cepat  sadar.  Aku  menjam-

bak rambutnya dan Asih memukuli pantatnya dengan gagang sapu.  Kuguncang-guncang kepala-

nya sekuat tenaga.  Tapi dia makin kesurupan.  Menggeram-geram seperti  kucing  jantan berebut

kawin.  Pada  waktu  itulah pintu kontrakan tiba-tiba terbuka. Pak RT dan  warga  berkerumun  di

teras.  Bu Sumiri keluar menyibak kerumunan.  ‘Apa di sini ada yang memerlukan aparat keama-

nan?’  Dia mendekati kami.  Membangunkan  Inong  yang tertelungkup kelelahan.  Keributan  itu

telah memancing perhatian orang banyak. Mengundang bahaya. Kamipun minta maaf. Tak sadar. 

Asih, sebagai orang yang paling berpendidikan, berhasil meyakinkan Pak RT bahwa kami sedang

mencoba  terapi  ruqyah.  Bahwa  kami adalah korban PHK sewenang-wenang dari keadaan yang

tak disangka-sangka. Sebuah rezim yang tak mengenal belas kasihan. Kami bangkrut dan kehila-

ngan akal waras.  Lalu seseorang mengamuk. Mencaci maki dan ingin mencekik. Kami  terpaksa

memberangus dan menggunakan kemampuan yang ada untuk mengobatinya. Orang-orang itupun

akhirnya meninggalkan kami dengan perasaan was-was. Tahu Asih bohong.

            “Keadaan  kepalang  basah  itu akhirnya memojokkan kami ke sudut terakhir persembu-

nyian.  Terpaksalah kami mengaku pada Bu Sumiri. Menceritakan keadaan kami yang penuh be-

ban batin. Dikejar-kejar rasa berdosa. Beliau tertawa terpingkal-pingkal. Mengguncang-guncang

kepala kami bergantian.  Inong kami bawa ke kamar mandi.  Bu Sumiri menyiramnya dengan air

hangat.  Menuangkan shampo banyak-banyak ke kepalanya. Menggosoknya kuat-kuat seperti se-

orang  pemerah  sagu  membanting  parutan batang paya di atas tapisan.  Inong bisa ditenangkan.

Dia tertawa-tawa sambil menangis. Kami lega. Inong tidak gila.  Kami lega, karena telah menga-

ku dosa. Terserahlan lagi untuk menilainya.

            “Apa kalian menjual emas itu?  Itulah  kalimat pertama yang dilontarkan Bu Sumiri sete-

lah keadaan tenang.  Tentu  saja kami belum sempat.  Kata beliau emas-emas itu tidak bisa dijual

Lihat selengkapnya