GENOSIDA KESUNYIAN

Abdurrazzaq Zanky
Chapter #8

BAB VIII

Bab VIII

       

Suatu hari, pagi-pagi sekali mereka menyelinap keluar. Mereka melewati rumah berpagar itu. Bana menceritakan pemandangan yang ia saksikan sebelum ia jatuh pingsan.Tentang keanehan dan misteri orang-orang yang tinggal di sana.

“Dulunya itu rumah kepala kampung, rumah kakeknya maksudku. Aku tak begitu ingat. Kau belum ada. Ayah dan ibu masih bersama. Lalu timbul masalah. Antara ayah dan dia, antara ibu dan dia, antara mereka bertiga. Aku tak begitu paham pada awalnya. Sampai ayah tiba-tiba menghilang. Sampai setahun kemudian kau lahir. Sampai ibu sakit-sakitan. Sejak itu dia tak pernah lagi kelihatan. Ada yang bilang dia meninggal. Ada yang mengatakan dia sakit parah. Mereka tak pernah lagi terlihat berbaur dengan warga. Aku tidak tahu mengapa.”

Pairah mengakhiri kisahnya. Ia takut mengungkapkan fakta yang sebenarnya. Lebih baik membiarkan Bana tetap dengan kenangan indahnya. Tentang ibu. Tentang masa lalu mereka. Kemudian ia membuka sedikit pengalamannya selama di kota. Tentang kekayaan yang dia bawa.

"Waktu itu adalah hari Jum’at tanggal 23 Mei. Seluruh karyawan lelaki pergi ke masjid menjelang tengah hari. Tinggal kami bertiga; Asih, Inong, dan aku. Pintu toko kami turunkan separuh karena biasanya memang tak ada pembeli bila sedang Jum’atan. Asih dan Inong ini adalah kawanku sejak di penjara. Sekeluar penjara kami tak punya rencana atau tujuan. Pelatih keterampilan kami, Bu Sumiri, menampung kami sementara di rumah kontrakannya. Sebulan kemudian kami bekerja di sebuah toko kain. Jadi kasir dan tukang potong. Bos kami punya tiga toko besar yang saling berdempetan. Enam kawan kami yang lain, yang semuanya laki-laki, menangani logistik, antar jemput barang, pengaduan pelanggan, penagihan kredit, pembukuan harian.

“Jam satu siang, Jum’atan belum usai dan jalanan masih diblokade dengan bangku-bangku panjang, para saksi melihat beberapa orang berpakaian kaos kuning partai mondar-mandir dengan motor dekat jama’ah yang masih berdoa. Memang sore itu adalah giliran partai kuning buat kampanye di lapangan Kamboja. Di pusat kota.

"Entah dari mana datangnya, puluhan motor lain tiba-tiba sudah berada di dekat bangku yang menyekat jalan, lengkap dengan bendera dan umbul-umbul kecil. Mereka bersikeras membuka blokade jalan. Beberapa anak muda berdiri menghadang. Mereka bertengkar hebat. Seorang pemotor tiba-tiba menabrakkan roda depannya ke salah satu bangku. Itulah awal provokasinya. Partai kuning adalah partai penguasa. Mereka punya banyak uang dan menguasai segalanya. Tapi sangat dibenci banyak kalangan. Aku tidak tahu kenapa. Maksudnya, aku tidak tahu apa itu partai. Kenapa mereka bisa saling membenci. 

"Kemudian aku teringat pasar subuh di Kalahan sini. Banyak blantik ikan datang. Mereka membeli ikan secara partai, memborong semuanya. Namun dengan harga lebih murah tentu. Jadi kupikir partai kuning itu semacam tukang borong ikan, blantik, calo, pokoknya hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan seorang serakah, bajinganlah istilahnya yang tepat. Tapi Asih mengatakan bahwa partai itu berhubungan dengan gambar-gambar, baju kaos, amanat presiden, hal-hal yang sebenarnya tidak penting-penting amat.

"Asih memang pernah bersekolah sampai kelas lima. Nah, di sekolahnya tiap hari senin ada apel bendera. Seorang guru menyampaikan amanat, yaitu ‘belajarlah baik-baik’, sebuah amanat yang sangat membosankan. Partai adalah orang yang sangat membosankan. Jadi mungkin saja, orang yang benci partai kuning itu sudah bosan dengan semua amanat itu. Amanat presiden maksudnya. Amanat yang itu-itu juga. Karena seorang presiden itu tidak boleh tidak, pada dasarnya adalah juga seorang guru. Seorang guru gambar tepatnya. Orang konyol itulah yang bikin gambar-gambar besar di sepanjang jalan. Poster-poster raksasa yang biasa tergantung melambai-lambai di antara dua batang pohon di jalanan kota. Semacam orang-orangan sawah kalau di Kalahan sini. 

"Inong tidak terima kalau presiden dikatakan sebagai tukang gambar. Ia bersikeras mengatakan bahwa presiden itu adalah seorang pekerja musiman. Di rumahnya ada kalender bergambar presiden sedang memanen padi. Banyak sekali. Nampaknya pada tempat dan waktu yang berlainan. 

"Nah, presiden ini punya banyak teman. Mereka berkeliling mencari-cari daerah yang sedang panen. Orang-orang ini telah mengikat sumpah setia satu sama lain. Saling berbagi dan kabar-mengabari kalau ada peluang usaha. Intinya presiden adalah seseorang yang tidak punya kesibukan lain selain mencari-cari orang yang sedang panen. Karena tidak boleh tidak presiden itu pada dasarnya juga seorang penganggur, terutama di luar musim panen.

“Sedang asyik-asyiknya kami berdebat, datanglah bos Acong bersama enam orang teman kami. Si bos pucat pasi. 'Mereka mengamuk! Mereka mengamuk!' Dia berteriak-teriak. Kami melongok ke luar. Jalanan dipenuhi motor. Orang-orang berlarian tak tentu arah. Para pemilik toko sepanjang blok itu pada berdiri di bahu jalan. Termasuk Wong Samidin, pemilik toko emas yang persis berseberangan dengan toko kami, musuh besar Acong yang selalu meniru-niru gaya bos kami. 

"Dia juga berdiri di luar, lengkap dengan sepuluh pegawainya, sama seperti kami. Menonton keramaian. Koh Acong menunjuk-nunjuk sebuah angkot kuning yang sedang diguncang-guncangkan. Kami menengok berbarengan. Wong Samidin menunjuk ke arah yang sama. Para pegawainya juga menoleh ke sana. Seluruh penumpang angkot itu, yang semuanya berbaju kuning, tumpah tumpang tindih ke jalan seperti sekaleng sarden. Pakaian mereka dilucuti semua hingga tinggal beha dan kolor. Mereka berlarian menyelamatkan diri, masuk ke gang-gang kecil sepanjang blok perniagaan. Koh Acong merenggut spanduk toko yang berwarna kuning. Kami berlari ke dalam, menyembunyikan barang apa saja yang ada warna kuningnya. Kau tahu kelebihan seorang cina? Mereka cepat tanggap  terhadap situasi. Kami menutup toko dan diam-diam menyelinap keluar dari pintu belakang. 

"Dari pagar pembatas sungai, kami dapat melihat ke atas jembatan besar yang menyambungkan dua pusat perbelanjaan. Seluruh jalanan kini dipenuhi orang-orang berseragam hijau. Mereka mengalir datang dari berbagai sudut kota. Dari jalan sempit di belakang pasar, dari terminal angkot, dari sungai, dari empat penjuru jalan di pusat kota. Mereka tampak sangat bersemangat dan kompak. Saling mendukung dan bersatu. Tampak jelas seperti kawanan yang tak terbendung. Sehingga polisi-polisi itu  hanya dapat berdiri termangu-mangu di depan pos jaganya. Mengamati segalanya dengan pandang masygul. Sama bingungnya dengan kami.

“Seandainya ada lalat lewat, pastilah akan masuk ke mulut kami. Semua bengong, tak tahu apa yang terjadi. Lalu Misran berteriak; 'radio! Cepat buka radio!' Kami lari ke dalam. Bos Acong membuka Garda FM, stasiaun yang bermarkas di lantai atas sebuah hotel tak jauh dari toko kami. Mereka sedang mengamati dengan teropong seluruh sudut kota dan melaporkan keadaan secara langsung. Beberapa reporter telah menyebar di sejumlah titik dalam radius 800 meter, jarak yang bisa dijangkau orari. Orang-orang ini saling berebut melaporkan situasi. Menyiarkan wawancara dengan bermacam orang. Mendesak supaya aparat mengambil alih keadaan. Mereka ribut dengan sesama kawan sendiri.

"Mas Gilang, wartawan paling gemilang di Garda, terpaksa turun tangan melerai keadaan. Dia mengancam akan membakar studio kalau tak ada yang mau diam. Dia mengomel-ngomel sendirian. Menyeruduk sana-sini. Menyebut-nyebut kekejaman, penindasan, hak-hak yang tergadaikan, muak dan kemuakan, setan-setan penunggu pohon beringin, para wasit yang bermain curang, kepala daerah yang merangkap kepala keamanan, para penjilat pantat, cukong-cukong yang berak persis di atas kepala pejabat. Kata-katanya yang terakhir ini membuat kami tertawa. Mengingatkan kami pada cerita koh Acong yang sedang menunggu pacar di bawah pohon jambu mente, persis di tempat ayam-ayam biasa eek. Salam satu ayam berak persis di antara belahan rambutnya.

"Nampaknya kami terlalu asyik mendengarkan radio, berdebat, mengomentari analisa-analisa para ahli, tahu-tahu hari sudah gelap. Misran pergi ke luar. Kebakaran di mana-mana. Kami berdiri di pinggiran sungai. Bayangan lidah api menjilat-jilat sepenuh air sungai. Pusat perbelanjaan paling besar di seberang kami, Mitra Plaza, terbakar dengan hebat. Listrik dipadamkan. Kota gelap gulita. Tapi di jembatan, kami melihat ribuan orang berlarian ke segala arah, berteriak-teriak kalap. Beberapa helikopter mondar-mandir di langit malam kota. Menembakkan lampu sorot yang amat menyilaukan ke tengah-tengah kerumunan manusia. Tiba-tiba dua sosok gelap berlari dari gang kecil di samping toko kami. Mereka menabrak Asih dan Misran hingga jatuh terjengkang. Kami hampir saja menghajar orang-orang itu. Tapi koh Acong mengenali mereka. Para tukang becak yang biasa mangkal di depan toko kami. Mereka sedang melarikan barang jarahan; sepatu, celana jins, rokok, sarung. Koh Acong sangat marah: 'dasar penyu tolol! Kenapa kalian mencuri rongsokan-rongsokan begini? Dengar, kalian bisa sekaya Karun kalau berani bongkar toko-toko bangsat di seberang jalan itu!' 

"Kata-kata itu ditujukan pada kami semua. Kami saling berpandangan. Di seberang toko kami adalah toko-toko emas. Para pemiliknya adalah orang-orang paling kaya di kota. Turun-temurun. Dan menjadi sumber pemicu iri dengki koh Acong. Kami bingung. Lalu, dengan suara yang tak mengandung keraguan lagi, koh Acong berbisik: 'aku tunggu lima belas menit di sini, di atas perahu motor. Ambil hak kalian. Barang-barang kuning itu. Aku akan bakar toko-toko ini pada menit keenam belas!' 

"Semula kami mengira koh Acong sudah gila. Hal yang biasa terjadi pada seorang cina yang akan bangkrut. Tapi dia membentak kami: 'pergi kalian hei anak-anak kegelapan!' 

"Kami bukanlah orang yang suka menunggu perintah untuk kedua kali. Kedua tukang becak itu ikut terinspirasi Acong. Dalam kemelut kegelapan malam itu, dengan cepat kami menyebar. Merangsek ke seberang jalan. Pekerjaan itu hanya seperti mengambil buah-buah mangga yang sudah jatuh. Kami sangat hapal dengan segala seluk beluk toko-toko itu. Sebab dua kali sehari kami bolak-balik ke toilet yang ada di belakangnya. Maka tak sampai lima belas menit kami telah berada di tengah-tengah sungai. Membawa kantong-kantong kain yang memberat seperti diisi dengan besi timbangan. Berkayuh diam-diam seperti perahu pencari ikan, di tengah bayangan api di kedua sisi sungai yang berkobar bagai cakar-cakar neraka.

“Kami menginap dua hari di rumah Acong. Dia minta dari kami masing-masing setengah kilo. Katanya buat modal baru. Hari-hari itu dia banyak tertawa. Lebih gembira dari hari-hari biasa. Istrinya yang gemuk bertotol-totol, karena kebanyakan makan bulus, memanjakan kami bagai anak-anaknya sendiri. Menyebut kami sebagai anjing sirkus yang lincah, putra daerah yang tersesat di jalan kebenaran, anak manja berang-berang yang penuh perasaan.

"Acong tinggal di sebauh kawasan perumahan mewah. Tetanggganya adalah para pejabat tinggi di daerah, pedagang dan pebisnis, mereka yang namanya sering disebut-sebut dalam berita koran dan iklan-iklan di radio. Mereka punya pusat olahraga, kolam renang, klinik, taman, lapangan bola, lapangan golf mini, sanggar seni, lapangan tembak. Daerah itu dulunya adalah kawasan kampung tua orang-orang Melayu. Letaknya persis di belakang gedung dan sentra perbelanjaan di kota. Dulu, ketika Pemda dan pemodal berniat mengembangkan kawasan itu, orang-orang Melayu itu adalah satu-satunya kelompok yang tak mau dipindahkan. Mereka nekat bertahan dan bersedia menanggung semua resiko. "

Ketika semua akses jalan keluar ditutup, orang-orang pulau itu membangun dermaga kecil di pinggir sungai. Mereka punya puluhan perahu cepat dan kapal-kapal layar mini. Mereka menjalin bisnis pintu belakang dengan bos-bos nakal di sentra perbelanjaan kota. Kapal-kapal layar itu punya kapasitas angkut setara empat kotak kontainer standar dengan biaya empat kali lebih murah dari jalur darat. Dermaga itu berubah menjadi jalan ‘tikus’ bagi para pedagang dan penyuplai barang antar pulau. Dimana para petugas lapangan dan aparat pajak saling berbagi hasil dengan adil. 

"Mereka menempuh separoh perjalanan ekspedesi untuk menghindari formalitas pelabuhan Trisakti, lalu dipunggah dan disalin ke kapal-kapal tradisional yang lebih keci di tengah laut. Inilah yang mereka namakan transaksi terapung, plesetan dari pasar terapung yang terkenal itu.

“Tapi kegiatan ini hanya sempat berlangsung beberapa tahun saja. Seorang pengembang nasional kemudian berhasil membebaskan kawasan terisolir itu dengan membeli lahannya sepuluh kali lipat tawaran pemerintah dan menyediakan lahan relokasi gratis di pinggiran kota. 313 pemukim kampung tua itu mendadak kaya raya. Mereka mengembangkan kawasan pertokoan tersendiri yang kemudian terkenal dengan sebutan Pasar Baru. Mereka inilah pelopor jenis tempat usaha yang disebut ruko, rumah sekaligus toko di Banjaramasin.

"Mereka memasok barang-barang ke toko-toko kecil di berbagai kota kabupaten dan kotamadya. Keluarga Acong adalah salah satu OKB dari kampung tua. Tapi dia punya pemikiran berbeda dengan rekan-rekan sekampung. Dia termasuk orang pertama yang membeli unit perumahan super mahal di lokasi bekas kampung tua itu. Dia menghabiskan sepertiga dari uang pembebasan lahan untuk melunasi DP-nya saja. Si pengembang nekat itu, membeli sebuah gedung pertokoan berlantai empat untuk membuka akses jalan. Dia mengosongkan lantai dasar itu untuk parkiran sekaligus akses jalan ke perumahan. Tipe rumah yang dia kembangkan itu sendiri adalah jenis rumah mewah pertama di seluruh Kalimantan. Ide gila ini banyak menarik perhatian bos-bos dan para pejabat tinggi yang merindukan gengsi sekaligus ketenangan. Dalam kurun waktu tak sampai dua tahun, seluruh unit rumah langka itu habis terjual. Kampung tua itu kini berubah jadi semacam oase di tengah gebalau kota yang panas dan penuh persaingan. Acong tetap punya barang-barang murah dalam gudang di belakang rumahnya. Ia tetap melakukan jual beli terapung dengan langganan-langganan lamanya. Dan sebagai kedok, ia membeli tiga toko kecil di kawasan Sudimampir, tempat kami bekerja selama enam tahun ini. Semua rahasia itu dia ungkapkan, tidak lain adalah karena dia sudah menganggap kami sebagai keluarga sendiri. Karena kami telah banyak menolong dia. Karena sesama keluarga tak boleh jahat. Karena kami adalah anak berang-berang kesayangan istrinya.

“Malam ketiga kami pulang ke kontrakan Bu Sumiri. Kami shok dan bingung. Kota hancur lebur dan kami merasa seperti dikejar-kejar orang entah siapa. Kami tidak berani menongolkan kepala ke dunia luar, padahal jam malam sudah dicabut dan polisi menjamin keamanan warga. 

"Sehari-hari kami hanya berbisik-bisik di kamar. Berkumpul di teras belakang rumah kontrakan. Kami tak tahu apa yang harus dilakukan dengan kantong-kantong berisi emas itu. Kami tak dapat membayangkan bagaimana kelanjutan hubungan kami dengan Acong di waktu mendatang. Kami justru curiga dengan babi licik itu, jangan-jangan dia melaporkan kami ke polisi suatu hari nanti. Toh dia tidak akan rugi barang seujung kuku.Dia punya lima kilo emas. Tiga kali lipat dari yang kami punya masing-masing. Tanpa merasa berdosa sama sekali. Maksudku, dia benar-benar bahagia. Tanpa tanggungan beban pikiran seperti yang kami rasakan. Dan satu fakta yang sangat mendukung kekhawatiran kami, istrinya terus-terusan memanggil kami anak berang-berang. Suatu pernyataan lugas yang menyiratkan bahwa di matanya kami setara belaka dengan hewan. Tidak punya otak.

“Namun yang amat menggelisahkan adalah hubungan kami dengan Bu Sumiri. Bagaimanapun dia adalah seorang aparat penegak hukum. Dia adalah bagian dari petugas penjara. Sejauh ini dia bisa cukup berbangga terhadap kemajuan akhlak yang kami capai. Kami mandiri dan rajin sembahyang . Hidup normal seperti kebanyakan orang. Dia sering mengajak kami ke penjara pada hari-hari libur kerja. Menjadikan kami sebagai contoh suri teladan bagi warga binaan yang sukses menempuh jalan kebenaran. Andai keadaan kami yang sekarang terungkap, apa kata beliau? 

"Kami telah mencacati budi baik beliau. Seminggu lebih kami berdebat tentang keadaan terakhir kami dan sikap yang harus diambil terhadap Bu Sumiri. Beliau sendiri bersikap biasa setiap kali lewat di depan kontrakan dan melihat sepeda kami masih terparkir di tempat. Beliau pasti tahu bahwa tempat kerja kami ikut terbakar. Kami kehilangan pekerjaan. Kami tak bisa bayar kontrakan. Tapi bukan itu persoalan pokoknya. Sekarang kami terlalu kaya. Kekayaan yang justru sangat menggelisahkan. Bikin serba salah. Tidak enak hati. Kami merasa terlalu mencolok dibanding orang-orang kebanyakan. Emas-emas itu selalu menjadi ganjalan ketika kami ingin bersikap layaknya orang biasa. Ya, kami bukan orang yang dulu lagi. Derajat kami naik beberapa tingkat dari para buruh biasa. Sungguh tidak enak.

“Celakanya, fantasi buruk emas-emas sialan itu merambah juga sampai ke dalam tidur. Inong yang pertama mengalami. Pada suatu tengah malam ia menjerit-jerit dengan suara seperti orang terbekap, sesak nafas. Aku menendangnya sampai jatuh ke lantai. Kami semua terjaga dengan perasaan ganjil. Secara naluriah kami dapat menduga apa yang baru mendatangi Inong dalam mimpinya. Ada ancaman dari segala penjuru. Kami terus merasa diintai mata-mata. Mata-mata dunia kegelapan. 

"Ada sesuatu yang tak pernah tidur mengawasi kami siang malam. Dia sangat dekat. Tapi kami tak tahu dimana. Kami hanya dapat merasakan kehadirannya, sinar dingin pancaran matanya yang menembus tengkuk kami yang terbuka. Dia bisa membekuk kami kapan saja. Selama beberapa hari ini dia telah melepaskan beberapa anak panah kecil, anak panah mainan untuk menakuti kami. 

"Inong demam dan tak mau makan. Dia bersikeras ingin mengembalikan barang-barang curian itu. Tapi ke mana? Toko-toko itu telah rata dengan tanah. Ke Acong? Bisa saja. Tapi itu akan menimbulkan masalah bagi yang lain, aku dan Asih. Acong pasti akan menggarong kami sampai habis.Sampai sore Inong tetap tak mau makan. Kami mulai bertengkar. Inong menunuduh kami sebagai biang keladi semua kesialannya. Dia mengatakan, melihat kami sama seperti melihat cerminan nasib buruk dunia. Yakni sebuah gambaran suram tentang alam baka.Ia mengatakan kami telah menjerumuskannya ke jalan setan, memperkosa hak-haknya sebagai manusia berahati bersih.Yaitu perempuan baik-baik yang sedang mendamba cinta pemuda baik-baik pula, mempermalukan seluruh nenek moyangnya yang merupakan keturunan langsung dari Bekantan. 

"Ya, apa boleh buat, kami terpaksa menghajarnya demi membuatnya cepat sadar. Aku menjambak rambutnya dan Asih memukuli pantatnya dengan gagang sapu. Kuguncang-guncang kepalanya sekuat tenaga. Tapi dia makin kesurupan. Menggeram-geram seperti kucing jantan berebut kawin. Pada waktu itulah pintu kontrakan tiba-tiba terbuka. Pak RT dan warga berkerumun di teras. Bu Sumiri keluar menyibak kerumunan. ‘Apa di sini ada yang memerlukan aparat keamanan?’ Dia mendekati kami. Membangunkan Inong yang tertelungkup kelelahan. Keributan itu telah memancing perhatian orang banyak. "Mengundang bahaya. Kamipun minta maaf. Kami tak sadar. 

"Asih, sebagai orang yang paling berpendidikan, berhasil meyakinkan Pak RT bahwa kami sedang mencoba terapi ruqyah. Bahwa kami adalah korban PHK sewenang-wenang dari keadaan yang tak disangka-sangka. Sebuah rezim yang tak mengenal belas kasihan. Kami bangkrut dan kehilangan akal waras. Lalu seseorang mengamuk. Mencaci maki dan ingin mencekik. Kami terpaksa memberangus dan menggunakan kemampuan yang ada untuk mengobatinya. Orang-orang itupun akhirnya meninggalkan kami dengan perasaan was-was. Tahu Asih bohong.

“Keadaan kepalang basah  itu akhirnya memojokkan kami ke sudut terakhir persembunyian. Terpaksalah kami mengaku pada Bu Sumiri. Menceritakan keadaan kami yang penuh beban batin. Dikejar-kejar rasa berdosa. Beliau tertawa terpingkal-pingkal. Mengguncang-guncang kepala kami bergantian. Inong kami bawa ke kamar mandi. Bu Sumiri menyiramnya dengan air hangat. Menuangkan shampo banyak-banyak ke kepalanya. Menggosoknya kuat-kuat seperti seorang pemeras sagu membanting parutan batang paya di atas tapisan. Inong bisa ditenangkan. Dia tertawa-tawa sambil menangis. Kami lega. Inong tidak gila. Kami lega, karena telah mengaku dosa. Terserahlan lagi orang menilainya.

'Apa kalian menjual emas itu?' Itulah kalimat pertama yang dilontarkan Bu Sumiri setelah keadaan tenang. Tentu saja kami belum sempat. Kata beliau emas-emas itu tidak bisa dijual dalam waktu dekat ini karena tak punya surat selembar pun. Lebih-lebih suasana sangat tidak mendukung. Polisi sedang gencar-gencarnya memasang telinga di setiap sudut kota. Pemerintah yang berkuasa sangat terpukul dengan kerusuhan spontan itu. Tak menyangka sampai sebesar itu kemarahan rakyat. Peristwa itu dianggap sepenuhnya politis. Yang diserang dan dirusak adalah sarana dan lembaga yang sangat erat hubungannya dengan pemerintahan. Atau yang dianggap sebagai simbol dari kekuasaan. Itu sangat memalukan. Bahkan kaum kriminal kota yang selama ini beroperasi di bawah tanah, jelas-jelas mengambil prakarsa paling depan untuk menghancurkan wibawa pemerintahan yang sah. Ajaibnya, mereka berhasil mengorganisir preman-preman pasar, preman terminal, anak jalanan, penunggu pos-pos ronda, para penganggur dan gelandangan, bersatu padu dengan tukang becak, tukang ojek, kuli gerobak, sopir angkot, mereka yang paling menguasai jalanan kota dan tahu persis lokasi-lokasi ekonomi paling strategis, bahu-membahu untuk menguras timbunan kekayaan kota. Mengosongkan lumbung lalu membakar wadahnya lengkap dengan segenap tikus yang terperangkap di dalamnya. Sungguh kejam.

"Kata Bu Sumiri, kenyataan inilah yang membuat pemerintah dan aparatnya sulit untuk menganbil tindakan tegas. Kerusuhan itu jelas menunjukkan satu hal: dendam publik terhadap kecurangan kekuasaan yang tak pernah jujur ketika menyelenggarakan Pemilu.

“Bu Sumiri mengatakan, bahwa hampir semua kalangan yang berada di luar pemerintahan, merasa terwakili oleh peristiwa Jum’at kelabu itu. Opini publik sedang berpihak pada para perusuh. Aparat keamanan, polisi dan ABRI, sedang dicurigai bertindak berlebihan ketika memberlakukan Jam Malam. Kesaksian yang menyudutkan bermunculan dalam berita-berita kriminal di koran, wawancara di radio, juga majalah-majalah kampus. Untuk saat ini, memang tidak simpatik bagi aparat untuk bertindak frontal. Maka mereka menunggu suasana reda sambil terus bergerilya mengumpulkan bukti-bukti, menyusun skenario investigasi, memantau gerak-gerik tokoh masyarakat dan LSM. Bila sampai waktunya nanti, keadaan bisa berbalik 180 derajat. Mereka yang hari ini dipahalawankan boleh jadi nanti jadi pesakitan atau kambing hitam. Maka kami dilarang bertindak tolol, menjual emas-emas itu umpamanya. Harta karun itu harus disimpan untuk waktu yang tak bisa ditentukan. Tempat paling aman untuk menyimpannya tentu saja adalah penjara, petugas penjara, beliau sendiri maksudnya. 

"Kami tak bisa berpikir lagi. Kami menyetujui usul beliau begitu saja. Bahkan kami tak pernah menghitung jumlah emas-emas itu. Harta itu masih terbungkus asli dalam kantung-kantungnya yang pertama sejak kami meninggalkan rumah Acong.  Jujur, kami agak takut untuk melihatnya.

Lihat selengkapnya