Bab IX
Enam orang duduk lesehan di teras belakang rumah mantan kepala kampung. Mereka sedang menyimak pembicaraan seorang lelaki berkaca mata, yang keseluruhan penampilannya mengingatkan orang pada seekor Bekantan, monyet Belanda. Hidungnya besar panjang, mengambil sepertiga porsi wajah, kulitnya merah pucat, karena selalu tinggal di tempat tertutup. Ukuran antara kaki dan badan tidak seimbang. Kakinya pendek seperti orang cebol, sedang badannya tegap besar seperti ras Eropa pada umumnya.
Dia mengaku sebagai broker ibukota. Dia datang bersama seorang rekan. Pria gemuk gempal. Berkulit licin mengkilat. Matanya yang kecil menjorok ke dalam rongga di antara kedua pipinya yang tembem membengkak. Seperti mata belut. Si mata belut duduk setengah menyender ke dinding. Tak bisa tegak, karena ukuran perutnya yang hampir menyamai gentong.
“Kita memerlukan seluruh cadangan devisa untuk dioptimalkan. Sahabat-sahabat lama banyak yang ambil amannya sendiri, lari dari ladang pembantaian. Pemerintah kini berpaling pada sekutu tradisionalnya, rakyat. Ya, pemerintah tak bisa meninggalkan rakyat. Seyogyanya rakyatpun tak boleh menelantarkan anak asuhnya sendirian ketika sedang berhadapan melawan monster-monster asing itu. Kita sedang dikeroyok dari segala jurusan. Lembaga-lembaga keuangan yang selama ini mengemong kita, mulai kelihatan tabiat aslinya. Mulai menggeram dan menyeringai. Ringkas kata, sekarang kita sedang berada di antara taring harimau dan geraham singa.” Ia menarik nafas sejenak. Melirik dari balik kaca mata tebalnya. Menunggu reaksi. Namun hadirin terlihat acuh. Bahkan si mata belut sudah setengah terpejam, kepala lemas terkulai layaknya orang tidur. Tapi si Bekantan belum putus asa. Ia mencoba menimbulkan efek lain. Kata-kata himbauan yang lebih nyata dan heroik.
“Situasi kita kini tak ubahnya dengan zaman revolusi 45. Keberpihakan kita sedang diuji. Negara membutuhkan setiap tetes keringat, setiap butir pemikiran, setiap inchi langkah maju dan upaya pengorbanan. Saat ini, setiap orang dipandang sama harganya, setara kontrobusinya. Ya, kita memang punya peran yang tidak sama, itu sudah hukum alam. Saya tak akan mendebatnya. Yang saya maksudkan di sini, kita sedang terdesak ke sudut terakhir pelarian, melawan atau tidak kita akan mati. Sama-sama mati. Tapi kita punya kesempatan memilih untuk tidak mati sia-sia tanpa kehormatan, yaitu dengan cara melawan. Melawan untuk lolos dari kesia-siaan! Saya kira itu filosofi hidup yang bagus bukan?”
“Seakan-akan dia seorang pejuang,” kepala kampung tiba-tiba nyeletuk. Hadirin tertawa. Mata belut tersedak beberapa kali sebelum ikut tertawa.
“Kita, juga anda, tidak bermaksud membicarakan itu bukan? Anda terlalu berbelit mister. Sudah lama orang-orang Jakarta menganggap kami goblok. Saya harap anda jangan ikut-ikutan. Hati-hatilah kalau bicara." Lelaki sepuh itu tersenyum menantang. Si Bekantan membersihkan kaca matanya dengan cepat. Tak menyangka orang dungu semacam itu berani bicara blak-blakan pada seorang pejabat kementerian.
Seorang pria paruh baya yang sejak tadi diam dan sangat tenang berkata; “jadi apa bisnis yang anda tawarkan? Apa yang bisa kami lakukan dan bagaimana cara bagi hasilnya?”
Ketiga orang lainnya nampak setuju untuk tidak buang-buang waktu. Si Bekantan menjawil mata belut. Menyumpah dalam hati. Tak menyangka bajingan-bajingan kumuh itu sudah banyak pengalaman. Mata belut mengambil alih pembicaraan.
“Bisnis kita adalah membersihkan lahan.”
“Mengadakan penggusuran?’
“Tidak persis.”
“Lantas?”
Ia menjelaskan latar belakang proyek yang akan dilaksanakan. Bahwa hutan-hutan sekitar Kalahan telah pernah coba dieksplorasi barang 20 tahun lalu. Diduga tanah-tanah berpasir halus itu mengandung satu lapisan batu-batuan kuno yang mengandung emas. Tapi eksplorasi itu terhenti tanpa kejelasan. Mungkin karena di era 70-an itu kita sedang booming Migas. Pemerintah bisa mendapatkan uang cepat dengan jualan bahan mentah yang melimpah ruah. Tindak lanjut eksplorasi itu tenggelam begitu saja terdesak prioritas kerja yang lebih kongkrit.
Namun baru-baru ini, entah dengan cara bagaimana, seorang insinyur lokal berhasil melakukan pengeboran mandiri di awal tahun ini. Ia membawa sampel penemuannya pada seorang pengusaha yang juga merangkap sebagai menteri. Tentu saja dia tak mendapat tanggapan serius. Tapi situasi berubah cepat. Kelompok usaha sang menteri yang berfokus pada pengolahan kayu gulung tikar. Dua juta hektar HPH yang dipegangnya sedang diobok-obok LSM dan aktivis lingkungan. Dia bukanlah pengusaha rantau yang punya banyak teman di luar negeri seperti taipan-taipan hasil asimilasi itu. Dia produk domestik sepenuhnya, anak bawang presiden. Bisnisnya semata bertopang pada konsesi-konsesi proyek yang diberikan pemerintah.
Pada detik itulah si insinyur kembali datang. Ia menyampaikan satu skenario akselerasi terhadap HPH yang dipegang sang menteri. Semacam tukar guling antar kawasan. Pak menteri harus melepas beberapa puluh ribu hektar lahan untuk program transmigrasi. Itu akan sangat menyenangkan presiden. Presiden sedang diganggu PHK besar-besaran. Para penganggur itu bisa dikirim ke tengah hutan sebagai transmigran. Sebagai gantinya, ia mendapatkan lokasitambang pasir koral yang selama ini ditelantarkan pemerintah daerah. Di sekitar Kalahan sini.
Orang-orang cerdas itu langsung dapat menangkap initi dari bisnis sang menteri. Itu adalah pekerjaan lama mereka. Masing-masing orang mulai membikin pola dalam kepala mereka. Mata belut maklum. Dia menyudahi uraiannya dengan mengatakan bahwa urusan mereka hanya sebatas pembebasan lahan, semacam relokasi. Sebab sejak 20 tahun terakhir permukinan sekitar hutan meluas enam kali lipat. Belum lagi hutan rawa yang dialihfungsikan jadi lahan pertanian,kebun, dan tambak ikan.
“Kita umpamakan begini,” si pendiam menegakkan duduknya, “seorang tamu asing tak dikenal ingin datang. Ia mengirim utusan untuk mengabari tuan rumah. Menyampaikan keinginan-keinginan, menetapkan syarat-syarat dan aturan. Ia menuntut agar tuan rumah menyediakan seluruh keperluan yang mendukung hajat kedatangannya. Sebagai imbalan, tuan rumah diberi semua sisa-sisa fasilitas sang tamu. Orang asing itu begitu bangga dengan segala kemuliaannya, sehingga menduga dengan kuat bahwa tuan rumah akan merasa terangkat derajatnya dengan melakukan seluruh pelayanan itu. Dia lupa bahwa yang berkuasa di situ adalah pemilik rumah…”
“No no, bukan seperti itu kawan…” Mata belut menepiskan tangan.
“Anda menyuruh kami melicinkan jalan untuk segala keperluan anda. Anda ingin mengadakan pesta di rumah kami tanpa mengundang kami barang seorang!” Si pendiam meradang.
Kepala kampung tersenyum ironis. “Hmm. Benar-benar penuh sopan santun.”
“Sudah berpuluh tahun kalian merampok hutan-hutan kami, menghisap minyak bumi kami, memeras keringat puluhan ribu keluarga kami. Kalian memetik buah-buah kekayaan dengan berpijak di atas bahu puluhan ribu buruh yang hidup di gang-gang sempit, pinggir-pinggir sungai yang penuh tinja busuk. Lalu pada dies natalis perusahaan kalian membagikan bingkisan, piagam-piagam penghargaan, dan menebah dada mengaku sebagai pahlawan. Tokoh kemanusiaan. Pengayom kaum buruh sedunia! “ Dia tersenyum sinis. “Tidak kawan rakyat. Dengan segala hormat saya harus bilang tidak. Itu penghinaan. Bebar-benar penghinaan!Saya kira bahkan Karl Marx sendiri akan bangkit dari kubur bila menyaksikan kebiadaban ini!”
Kepala kampung dan dua rekannya hampir bertepuk tangan. Tak menyangka kawannya yang suka membual itu mampu menggertak demikian meyakinkan. Si Bekantan mengusap-usap hidung dengan gugup. Si mata belut mencoba bersikap tenang. Tapi kepala kampung sekilas bisa menangkap jari-jari orang itu sedikit gemetar ketika ia coba menangkupkannya. Mereka ini pasti negosiator kelas tiga, pikirnya. Orang-orang dungu yang biasa dikirim untuk menghadapi preman pasar. Atau mereka ini cuma spekulan jalanan yang biasa berkerumun di halaman belakang kantor kementrian. Menunggu bocoran informasi para pegawai yang sedang pipis ke WC.
“Ini bisnis. Bisnis semata bung,"mata belut memperbaiki diplomasinya, “tidak ada unsur eksploitasi sedikitpun di sini. Kami memandang semua mitra setara. Kami harap anda semua mengesampingkan dulu soal teori-teori kelas itu. Lagi pula Marx sendiri bukanlah orang cerdas seperti disangka orang. Dia pernah tidak naik kelas bung! Sebagai tambahan, saya ingin menekankan satu hal; sebelum kita meninggalkan tempat ini, semua hal masih dalam proses negosiasi. Apa tawaran kongkrit anda?”
Si pendiam belum sempat berpikir ke situ. Ia sedang asyik merancang-rancang khotbah yang ia hapalkan dari orasai-orasi yang ia lihat di televisi beberapa bulan lalu. Seluruh apa yang diajarkan kedua mentornya.
“Kami ingin truk!” Ia menjawab spontan. Semua yang hadir saling berpandangan.
“Truk?” Mata belut bertanya hati-hati. Tak ingin lagi menyinggung tuan rumah yang pemberang itu.
“Bersediakah anda menjelaskannya kepada kami yang bebal ini apa itu?'
“Kami ingin jadi sopir. Sopir truk-truk itu.”
Kepala kampung dan dua rekannya tertunduk lesu. Mantra sudah diucapkan. Apa yang dikehendaki terjadi akan terjadi. Hal itu benar-benar berada di luar rencana mereka semula. Ia melirik dengan sengit dua pelatih drama yang selama dua hari ini giat melatih si tukang bual. Pastidua anak kuyang itu telah mencampur-adukkan skenario yang dipesannya dengan naskah-naskah teater Mamanda yang konyol itu. Cerita semacam putri yang diculik jin lalu ditolong seorang pemuda desa. Atau seorang perempuan yang melahirkan bayi kembar. Yang satunya manusia, satunya lagi ular sanca. Lalu dua makhluk terkutuk itu membuat kehebohan dengan pergi keluyuran ke mana-mana berdua setelah dewasa.
Negosiasi itu berakhir dengan penuh kedamaian. Mereka sepakat untuk bekerjasama merelokasi warga di dua kecamatan itu. Mata belut dan si Bekantan akan mendatangkan tim khusus yang telah berpengalaman menangani kasus yang serupa di berbagai pelosok negeri. Kacung-kacung terlatih yang bisa menyesuaikan diri dengan situasi dalam waktu sekejap. Di kalangan birokrasi ibukota, mereka ini terkenal dengan sebutan bunglon penyergap. Orang-orang bayaran yang disusupkan pemerintah ke tengah khalayak ketika sebuah proyek diduga keras akan mengalami hambatan berat.
Setelah orang-orang itu pergi, kepala kampung masih saja berkecap-kecap gemas. Tak habis-habis menyesali nasib sial yang tak terduga itu. Ia mengira tukang bual itu lebih cerdas dari dirinya. Paling tidak paham arti kalimat-kalimat yang diajarkan padanya. Ia sendiri tak mengerti sama sekali makna kalimat-kalimat aneh itu. Tapi ia paham, dengan kalimat-kalimat tolol semacam itulah, anak-anak muda di Jakarta bisa memaksa seorang raja meletakkan mahkota. Akibatnya harga-harga melambung tinggi. Ingat harga, ia teringat dua rekan lainnya yang sejak tadi mengintip dari celah dinding.
Ia mengetuk dinding tiga kali. Dari pintu belakang keluar Juragan Kambing dan H.Jali. Masing-masing membawa secangkir kopi. Keduanya tersenyum simpul penuh kepuasan. Penampakan itu makin mengesalkan hatinya saja. Tak bisa lain, terpaksa ia memelihara tikus-tikus busuk ini. Menjaga dan memberi mereka makan. Terpaksa pura-pura bodoh. Membiarkan dua orang durhaka ini mengutil serba sedikit sana-sini. Mereka memang harus terus mengasah gigi, layaknya tikus sawah, agar tetap disebut tikus. Namun kesabaran tentu ada batasnya. Ia sedang merancang sebuah hukuman untuk keduanya secara hati-hati.
“Kita harus berkemas,” kepala kampung menjelaskan, “daerah ini akan dikosongkan. Selama ini kita berdiam di kawasan hutan lindung!”
“Hutan lindung?” Juragan kambing bengong. “siapa yang mau melindungi kayu-kayu galam tak berharga itu? Memangnya pemerintah itu pelindung kayu bakar?’
Kepala kampung diam. Menahan diri agar tidak meledak.
“Wak Gamak betul Juragan,” H. Jali menengahi. “Aku pernah melihat beberapa batang pohon berharga di sekitar hutan sini; pohon sengon, marapat, balangiran, akasia…”
“Tapi tak ada ulin dan meranti.”
“Kalau ada kayu ulin dan meranti, itu bukan hutan lindung namanya. Tapi hutan produksi. Kan semua orang jualan yang begitu? Kalau pemerintah melindunginya, bagaimana nasib para pedagang kayu itu? Dengan kayu apa kita mau bikin rumah? Kau ini benar-benar setolol kambing betina!” H. Jali membentak.
Wak Gamak membiarkan saja kedua cecurut itu bersitegang. Ia terlalu letih untuk bertengkar. Ia sedang memikirkan cara bagaiamana supaya kedua orang ini cepat enyah dari hadapannya. Sekarang ia perlu waktu untuk menyendiri. Memikir ulang segalanya. Mencari alternatif lain agar ia bisa mendapatkan penghasilan tambahan lebih dari sopir-sopir truk itu.
“Begini, orang-orang pusat itu akan membuka kembali penambangan pasir. Nah, kita ada dapat jatah jadi sopir dan pembagi kopun. Aku telah minta dua pintu portal. Kita bikin pos di sana dan membagikan jatah kopun pada sopir. Sopir-sopir itu akan menyetor sepuluh persen dari upah angkut pada kita supaya terus dapat kopun. Kalian bersiaplah cepat. Berhentilah memeras orang-orang miskin itu". Kepala kampung berbicara tegas. Lalu sambil tersenyum misterius ia menamhakan: "Kita akan bikin permainan serupa di rumah H. Jali seperti di tempat Juragan Kambing kemarin dulu. Tinggalkan saja Kalahan ini dengan damai, oke? Biarkan kawan kita dari Jakarta yang mengatur sisanya. Mereka mahir. Terbiasa membersihkan sampah.”
Kedua orang itu jelas belum begitu paham. Menunggu penjelasan lebih lanjut. Tapi Wak Gamak sudah kehilanagn selera untuk bicara. Ia memerintahkan dua sopir pikap untuk mengangkut rongsokan di halaman rumah H. Jali, seraya menambahkan; “dalam dua hari ini akan ada kebakaran besar. Pastikan kalian tidak dekat-dekat dengan lokasi.”
H. Jali tak berani lagi membantah. Ia tahu Wak Gamak punya teman di luaran sana yang sebagian tidak ia kenal. Orang-orang yang sepenuhnya bisa digerakkan dengan duit. Lagi pula orang yang sedang berkacakak pinggang di hadapannya ini adalah sepupu dekat si penggantung kucing. Orang yang benar-benar punya tabiat kejam tak terduga. Tak gampang melupakan sakit hati. Bahkan kasus hampir dua puluh tahun lalu itu, kiranya masih membekas dalam benaknya. Walau kedua orang yang paling dibenci dan dicintanya itu telah lama tiada.
“Bagaimana keadaan kedua kakak beradik itu?” Wak Gamak tiba-tiba mengalihkan pembicaraan. Ia bisa menebak pikiran orang.
H. Jali mencoba menduga apa yang ingin diketahui kepala kampung. Ia memberi jawaban mengambang. “Mereka jualan kayu bakar ke arah kota.”
“Apa benar mereka terlihat tidak sama dengan orang-orang lainnya?”
“Mungkin tidak sepenuhnya. Tapi mereka patut diwaspadai. Yang kakak punya pengalaman dalam penjara dan lama tinggal di kota. Aku pernah melihatnya di toko kain cina.”
Wak Gamak tak meneruskan. Ia tak mau dua cecunguk itu mengetahui isi hatinya.
Kedua orang itu pergi ke arah jurusan yang berbeda. Juragan kambing kini menyewa sebuah toko pecah belah kecil di kota. Berdempetan dengan tukang jam, penyepuh emas, tukang cukur, dan kakus pasar. Ia ingin melewatkan masa tuanya dengan damai di dekat rumah mertua. Seperti kata Wak Gamak, Kalahan bukanlah tempat yang bagus bagi orang yang mendambakan masa tua yang damai. Banyak hal yang di tempat lain merupakan suatu pamali, tabu, di Kalahan malah jadi kebiasaan.
Wak Gamak telah memberinya banyak nasehat, masukan yang masuk akal, gambaran jelas tentang pengalaman pahit seorang tuna wisma, dan betapa sakitnya patah hati. Sehingga ia tak ragu lagi meninggalkan sawah ladangnya yang luas itu, toh ia tak punya keturunan yang harus dipikirkan.
Wak Gamak sendiri telah menyatakan bersedia menjamin kalau nanti terjadi apa-apa dengan tanah-tanah itu. Tanah itu sendiri ia dapatkan secara cuma-cuma sebagai harta warisan. Dan yang terpenting, hal yang tak pernah ia ceritakan, ia telah mendengar dua ancaman pembunuhan yang ditujukan pada dirinya secara diam-diam lewat mulut pemilik warung, si Perca Gombal. Ia merasa telah berhasil mengerjai para pembunuh itu dengan cara diam-diam melarikan diri pada suatu subuh. Membawa seluruh uang dan perhiasan. Hanya itu yang ia perlukan. Ia bersyukur bertindak tepat waktu. Sebab malam berikutnya rumah itu dijarah rayah sampai ke tahi-tahi kambingnya.
Sepanjang jalan pulang, H. Jali terus merenungkan peristiwa yang terjadi sepanjang hari ini di rumah Wak Gamak. Ia tahu, di balik segala kedok kepentingan bersama, orang itu sepenuhnya adalah musang berbulu domba. Wak Gamak selalu bersedia mengulurkan tangan selama kepentingannya ada di sana.
Juragan Kambing yang tolol itu telah dikerjainya mentah-mentah. Tak habis pikir ia, bagaimana bisa makhluk lemah akal itu mau menerima nasehat seekor ular bludak. Tipu muslihat konu para iblis untuk menjerumuskan manusia agar keluar dari sorga. Bayangkan saja, seorang durjana yang tak mengenal belas kasihan, tiba-tiba saja berkhotbah tentang keutamaan hati nurani, kedamaian hari tua, harta yang diamanahkan. Dan si kambing congek itu mau saja dicocok hidungnya barang ke mana diarahkan. Dunia ini sungguh ajaib. Naif.
H. Jali sendiri diam-diam memperhatikan tingkah polah Pairah dan Bana. Nampaknya kedua anak itu memang bukan bocah Kalahan lagi. Bahkan Bana, yang sejak umur delapan tahun hidup sendirian, tak pernah terdengar meminta-minta. Ia sanggup mengurus hidup pribadinya dengan penuh martabat, walau disisihkan banyak orang. Bocah itu punya pegangan disiplin harga diri yang jelas. Ia tak terlihat hancur walau semua orang memandang remeh padanya. Malah terlihat damai sentosa dengan segala kepapaannya yang mengibakan itu.
Sehari-hari anak itu selalu melintas dengan diam-diamndi sepanjang jalanan kampung, mengendap-ngendap dekatnkeramaian tanpa menarik perhatian, atau berkelana seantero persawahan untuk mencari upahan, menangkap ikan, dan menombak kodok. Ia tumbuh dan belajar bersama alam. Menyimak segala sesuatu dengan penuh perhatian. Dengan pembawaannya yang ganjil dan mengundang tanda tanya. Tentunya bocah itu juga meresapi setiap rasa sakit, penghinaan, dan pengabaian masyarakat. Mungkin saja ia tahu lebih banyak tentang kehidupan warga Kalahan dengan pembawaannya yang tekun dan penuh perhatian itu, tapi tidak sebaliknya. Tidak seorang wargapun yang berminat mengetahui kehidupan pribadinya.
Sulit mencari perumpamaan untuk menggambarkan kepribadian anak itu. Ia tidak jinak juga tidak liar. Tidak masa bodoh juga tidak penuh kepedulian. Tidak melulu mengalah juga tidak ingin selalu menang. Anak itu pernah menghajar bocah yang terlalu kurang ajar. Lalu rumahnya dilempari lumpur dan kotoran. Tapi ia diam saja. Tidak melanjutkan urusan itu lebih jauh. Hingga anak-anak berandal itu kehabisan akal sendiri.
Yang menarik adalah bahwa anak itu tak ragu bersitegang dengan Juragan Kambing, seorang yang cukup disegani di kampung karena kepelitannya yang masyhur. Anak itu memenangkan perkelahiam dengan gilang-gemilang. Hingga Juragan Kambing sempat jadi bahan tertawaan seisi kampung. Konon katanya dia mengetahui sebuah rahasia yang tidak diketahui banyak orang. Dengan senjata rahasia itulah dia mengakali Juragan Kambing. Anak itu tahu cara memenangkan pertengkaran yang efektif. Dia cerdas.
Dalam gaya hidupnya yang kumuh dan seenaknya, terlihat bahwa dia menerapkan satu pola yang tak kentara. Posisinya yang tersisih, ia manfaatkan untuk memoles citra dirinya agar makin tak diperhatikan. Ia mendekam saja pada satu sudut gelap sambil menguping segala percakapan orang banyak. Ia tak pernah berkomentar atau menampakkan reaksi pada sebuah peristiwa, agar orang lain menganggapnya bodoh, tidak mengerti apa-apa.
H. Jali teringat peristiwa waktu mereka lari dari panti asuhan. Tak seorang yang bersedia meluangkan waktu untuk menghibur mereka, ketika kakak beradik itu menangis berjam-jam di atas kuburan ibunya. Semua orang hanya terpana, melongo, berbisik-bisik. Sampai berhari-hari kemudian, tak seorang warga datang menengok. Membiarkan kakak beradik itu pontang-panting mencari upahan, menggadaikan barang-barang. Warga juga tidak peduli ketika mereka memutuskan untuk menombak kodok malam-malam, menjualkan minuman keras di tempat perjudian, atau sekedar menunggu persenan dari uang taruhan yang dititipkan pada mereka.
Yang paling membingungkan H. Jali adalah Wak Gamak. Bekas kepala kampung itu benar-benar tak peduli. Ia justru menarik diri setelah Bibah, ibu kedua bocah meninggal. Ia juga tidak ikut melayat ke kuburan. Orang itu benar-benar tak punya simpati.
Dua pulu dua tahun lalu Bibah adalah kembang desa. Sugamak, pemuda terkaya di Kalahan, jelas-jelas menaruh cinta. Tapi gadis itu lebih memilih Kardi, pemuda pendatang yang sebaya dengannya, dibanding Sugamak yang lebih tua lima belas tahun dari dia. Segala intrik dilancarkan untuk menghalangi perncintaan itu. Namun selalu kandas.
Orangtua Bibah, tinggal sang ibu, adalah tipe wanita romantis. Ia selalu menjadikan perjalanan cintanya sendiri sebagai patokan kebahagian sebuah rumah tangga. Waktu itu di Kalahan memang sedang musim kawin tajun, kawin lari. Sepasang insan yang dimabuk asmara tapi tak mendapat restu orangtua, biasa melarikan diri ke suatu daerah yang jauh untuk kemudian menikah. Para pelarian cinta ini biasanya akan kembali beberapa tahun kemudian sambil membawa satu atau dua orang anak. Anak-anak mungil inilah yang mereka gunakan sebagai senjata untuk meruntuhkan pendirian orang-orang kolot di kampung halaman.
Teknik ini jarang gagal. Ibu Bibah adalah satu dari sekian banyak orang yang menempuh jalan cinta demikian. Ia paham benar dengan situasi batin seseorang yang sedang mabuk cinta. Ia tak mau sejarah cintanya terulang bagi anaknya semata wayang. Tapi Bibah dan Kardi tak perlu melakukan itu. Soal mereka tak ada hubungannya dengan masalah restu-merestu. Tapi orang ketiga, pemuda Sugamak. Soal yang tak begitu berarti.