GENOSIDA KESUNYIAN

Abdurrazzaq Zanky
Chapter #9

BAB IX

 

                                                               BAB IX

          

           Enam orang duduk lesehan di teras belakang rumah mantan kepala kampung.  Mereka se-

dang menyimak pembicaraan seorang lelaki berkaca mata, yang keseluruhan penampilannya me-

ngingatkan orang pada seekor Bekantan, monyet Belanda.  Hidungnya besar panjang, mengambil

sepertiga porsi wajah, kulitnya merah pucat, karena selalu tinggal di tempat tertutup.  Ukuran an-

tara kaki dan badan tidak seimbang. Kakinya pendek seperti orang cebol, sedang badannya tegap

besar seperti ras Eropa pada umumnya. Dia  mengaku sebagai broker ibukota.  Dia datang bersa-

ma seorang rekan. Pria gemuk gempal. Berkulit licin mengkilat.  Matanya  yang  kecil menjorok

ke dalam rongga di antara kedua pipinya yang tembem membengkak. Seperti mata belut. Si mata

belut duduk setengah menyender ke dinding, tak bisa tegak, karena ukuran perutnya yang hampir

menyamai gentong.

               “Kita memerlukan seluruh cadangan devisa untuk dioptimalkan.  Sahabat-sahabat lama

banyak yang ambil amannya sendiri, lari dari ladang pembantaian. Pemerintah kini berpaling pa-

da sekutu tradisional, rakyat.  Ya, pemerintah tak bisa meninggalkan rakyat.  Seyogyanya rakyat-

pun  tak  boleh  menelantarkan anak asuhnya sendirian melawan monster-monster asing itu. Kita

sedang dikeroyok dari segala jurusan.  Lembaga-lembaga keuangan yang selama ini mengemong

kita, mulai kelihatan tabiat aslinya. Mulai  menggeram dan menyeringai. Ringkas kata, sekarang

kita sedang berada di antara taring harimau dan geraham singa.”  Ia menarik nafas sejenak. Meli-

rik dari balik kaca mata tebalnya. Menunggu reaksi. Namun hadirin terlihat acuh. Bahkan si mata

belut setengah terpejam, kepala lemas terkulai layaknya orang tidur. Tapi si Bekantan belum pu-   

tus asa. Ia mencoba menimbulkan efek lain. Kata-kata himbauan yang lebih nyata dan heroik.

             “Situasi kita kini tak ubahnya dengan zaman revolusi 45.  Keberpihakan  kita sedang di-

uji. Negara membutuhkan setiap tetes keringat, setiap butir pemikiran, setiap inchi langkah maju

dan  upaya pengorbanan.  Saat ini,  setiap orang dipandang sama harganya, setara kontrobusinya.

Ya, kita punya peran yang tidak sama, itu sudah hukum alam.  Saya tak akan mendebatnya. Yang

saya maksudkan di sini,  kita sedang terdesak ke sudut terakhir pelarian,  melawan atau tidak kita

akan mati. Sama-sama mati. Tapi kita punya kesempatan untuk tidak mati sia-sia tanpa kehorma-

tan, yaitu dengan cara melawan.   Melawan untuk lolos dari kesia-siaan! Saya kira itu filosofi hi-

dup yang bagus bukan?”

            “Seakan-akan dia seorang pejuang,” kepala kampung tiba-tiba nyeletuk. Hadirin tertawa.

Mata belut tersedak beberapa kali sebelum ikut tertawa. “Kita, juga anda, tidak bermaksud mem-

bicarakan itu bukan?  Anda terlalu berbelit mister.  Sudah lama orang-orang Jakarta menganggap

kami  goblok. Saya harap anda jangan ikut-ikutan.” Lelaki  sepuh  itu tersenyum menantang.  Si

Bekantan  membersihkan kaca matanya dengan cepat. Tak menyangka orang dungu semacam itu

berani bicara blak-blakan pada seorang pejabat kementrian.

            Seorang pria paruh baya yang sejak tadi diam dan sangat tenang berkata; “jadi apa bisnis

yang anda tawarkan? Apa yang bisa kami lakukan dan bagaimana cara bagi hasilnya?”

           Ketiga  orang  lainnya nampak setuju untuk tidak buang-buang waktu. Si Bekantan men-

jawil  mata  belut.  Menyumpah  dalam  hati. Tak menyangka bajingan-bajingan kumuh itu sudah

banyak pengalaman. Mata belut mengambil alih pembicaraan.

          “Bisnis kita adalah membersihkan lahan.”

          “Mengadakan penggusuran?’

         “Tidak persis.”

        “Lantas?”

        Ia menjelaskan latar belakang proyek yang akan dilaksanakan. Bahwa  hutan-hutan  sekitar

Kalahan telah pernah coba dieksplorasi barang 20 tahun lalu. Diduga  tanah-tanah berpasir halus

itu mengandung satu lapisan batu-batuan kuno yang mengandung emas. Tapi  eksplorasi  itu ter-

henti tanpa kejelasan.  Mungkin  karena di era 70-an itu kita sedang booming Migas.  Pemerintah

bisa mendapatkan uang dengan cepat. Dengan jualan bahan mentah yang melimpah ruah. Tindak

lanjut  eksplorasi  itu  tenggelam begitu saja terdesak prioritas kerja yang lebih kongkrit.  Namun

baru-baru ini, entah dengan cara bagaimana, seorang insinyur lokal berhasil melakukan pengebo-

ran  mandiri di awal tahun ini. Ia membawa sampel penemuannya pada seorang pengusaha yang

juga merangkap sebagai menteri. Tentu saja dia tak mendapat tanggapan serius. Tapi situasi beru-

bah cepat. Kelompok usaha sang menteri yang berfokus pada pengolahan kayu gulung tikar. Dua

juta hektar HPH yang dipegangnya sedang diobok-obok  LSM dan aktivis lingkungan.  Dia bu-

kanlah  pengusaha  rantau yang punya banyak teman di luar negeri seperti taipan-taipan hasil asi-

milasi itu. Dia produk domestik sepenuhnya, anak bawang presiden. Bisnisnya semata bertopang

pada konsesi-konsesi pemerintah. Pada detik itulah si insinyur kembali datang. Ia menyampaikan

satu skenario akselerasi terhadap HPH yang dipegang sang menteri.  Semacam tukar guling antar

kawasan. Pak  menteri harus melepas beberapa puluh ribu hektar lahan untuk program transmig-

rasi.  Itu akan sangat menyenangkan presiden.  Sebagai gantinya, ia mendapatkan lokasi tambang

pasir koral yang selama ini ditelantarkan pemerintah daerah.

            Orang-orang cerdas itu langsung dapat menangkap initi dari bisnis sang menteri. Itu ada-

lah  pekerjaan  lama mereka. Masing-masing  orang mulai membikin pola dalam kepala mereka.

Mata  belut maklum.  Dia menyudahi uraiannya dengan mengatakan bahwa urusan mereka hanya

sebatas pembebasan lahan,  semacam  relokasi. Sebab sejak 20 tahun terakhir permukinan sekitar

hutan  meluas  enam kali lipat. Belum lagi hutan rawa yang dialihfungsikan jadi lahan pertanian,

kebun, dan tambak ikan.

             “Kita umpamakan begini,”  si pendiam menegakkan duduknya,  “seorang tamu asing tak

dikenal ingin datang.  Ia mengirim utusan untuk mengabari tuan rumah. Menyampaikan  keingi-

nan-keinginan,  menetapkan syarat-syarat dan aturan. Ia menuntut agar tuan rumah menyediakan

seluruh keperluan yang mendukung hajat kedatangannya. Sebagai imbalan, tuan rumah diberi se-

mua sisa-sisa fasilitas sang tamu. Orang asing itu begitu bangga dengan segala kemuliaannya, se-

hingga  menduga dengan kuat bahwa tuan rumah akan merasa terangkat derajatnya dengan mela-

kukan seluruh pelayanan itu. Dia lupa bahwa yang berkuasa di situ adalah pemilik rumah…”

             “No no, bukan seperti itu kawan…”

             “Anda  menyuruh kami melicinkan jalan untuk segala keperluan anda.  Anda  ingin me-

ngadakan pesta di rumah kami tanpa mengundang kami barang seorang!”

            Kepala kampung tersenyum. “Benar-benar penuh sopan santun.”

           “Sudah berpuluh tahun kalian merampok hutan-hutan kami,  menghisap minyak bumi ka-

mi, memeras keringat puluhan ribu keluarga kami.  Kalian memetik buah-buah kekayaan dengan

berpijak di atas bahu puluhan ribu buruh yang hidup di gang-gang sempit, pinggir-pinggir sungai

yang penuh tinja busuk.  Lalu  pada  dies  natalis perusahaan kalian membagikan bingkisan,  pia-

gam-piagam penghargaan,  lalu menebah dada mengaku sebagai pahlawan. Tokoh kemanusiaan.  

Pengayom kaum buruh sedunia! “ Dia tersenyum sinis. “Tidak kawan rakyat. Dengan segala hor-

mat saya harus bilang tidak. Saya  kira  bahkan  Karl Marx  sendiri  akan bangkit dari kubur bila

menyaksikan kebiadaban ini!”

           Kepala kampung dan dua rekannya hampir bertepuk tangan. Ia tak menyangka kawannya

yang suka membual itu mampu menggertak demikian meyakinkan.  Si Bekantan mengusap-usap

hidung dengan gugup. Si mata belut mencoba bersikap tenang. Tapi kepala kampung sekilas bisa

menangkap  jari-jari  orang itu sedikit gemetar ketika ia menangkupkannya.  Mereka ini pasti ne-

gosiator kelas tiga, pikirnya.  Orang-orang  dungu  yang biasa dikirim untuk menghadapi preman

pasar.  Atau  mereka ini cuma spekulan jalanan yang biasa berkerumun di halaman belakang kan-

tor kementrian. Menunggu bocoran informasi para pegawai yang sedang pipis ke WC.

          “Ini bisnis,”   mata belut memperbaiki diplomasinya,  “sebelum kita meninggalkan tempat

ini, semua hal masih dalam proses negosiasi. Apa tawaran anda?”

          Si  pendiam  belum sempat berpikir ke situ.  Ia  sedang  asyik merancang-rancang khotbah

yang ia hapalkan dari orasai-orasi yang ia lihat di televisi beberapa bulan lalu. Seluruh  apa yang

diajarkan kedua mentornya.

         “Kami ingin truk!” Ia menjawab spontan. Semua yang hadir saling berpandangan.

         “Truk?”  Mata belut bertanya hati-hati. Tak ingin lagi menyinggung tuan rumah yang pem-

berang itu. “Bersediakah anda menjelaskannya kepada kami yang bebal ini?”

        “Kami ingin jadi sopir. Sopir truk-truk itu.”

        Kepala kampung dan dua rekannya tertunduk diam.  Mantra sudah diucapkan. Apa yang di-

kehendaki terjadi akan terjadi. Itu benar-benar berada di luar rencana mereka semula.  Ia  melirik

dengan  sengit  dua  pelatih  drama yang selama dua hari ini giat melatih si tukang bual itu. Pasti  

dua anak kuyang itu telah mencampur-adukkan skenario yang dipesannya dengan naskah-naskah

teater Mamanda yang konyol itu. Cerita semacam putri yang diculik jin lalu ditolong seorang pe-

muda desa. Atau seorang perempuan yang melahirkan bayi kembar.  Yang satunya manusia, satu-

nya  lagi ular sanca. Lalu dua makhluk terkutuk itu membuat kehebohan dengan pergi keluyuran

ke mana-mana berdua setelah dewasa.

         Negosiasi itu berakhir dengan penuh kedamaian. Mereka sepakat untuk bekerjasama mere-

lokasi  warga  di  dua kecamatan itu.  Mata belut dan si Bekantan akan mendatangkan tim khusus

yang telah berpengalaman menangani kasus yang serupa di berbagai pelosok negeri.  Kacung-ka-

cung  terlatih  yang bisa menyesuaikan diri dengan situasi dalam waktu sekejap.  Di kalangan  bi-

rokrasi  ibukota,  mereka  ini terkenal dengan sebutan bunglon penyergap. Orang-orang  bayaran

yang disusupkan pemerintah ke tengah khalayak ketika sebuah proyek diduga keras akan menga-

lami hambatan berat.

          Ketika orang-orang itu pergi,  kepala kampung masih saja berkecap-kecap gemas. Tak ha-

bis-habis  menyesali  nasib sial yang tak terduga itu.  Ia mengira tukang bual itu lebih cerdas dari

dirinya.  Paling tidak paham arti kalimat-kalimat yang diajarkan padanya.  Ia sendiri tak mengerti

sama  sekali makna kalimat-kalimat aneh itu.  Tapi ia paham, dengan kalimat-kalimat tolol sema-

cam itulah, anak-anak muda di Jakarta bisa memaksa seorang raja  meletakkan mahkota.  Akibat-

nya harga-harga melambung tinggi. Ingat harga, ia teringat dua rekannya yang lain yang sejak ta-

di mengintip dari celah dinding.  Ia mengetuk dinding tiga kali.  Dari pintu belakang keluar Jura-

gan Kambing dan H.Jali. Masing-masing membawa secangkir kopi. Keduanya tersenyum simpul

penuh kepuasan. Penampakan itu makin mengesalkan hatinya saja.  Tak bisa lain, ia terpaksa me-

melihara tikus-tikus busuk ini. Menjaga dan memberi mereka makan. Terpaksa pura-pura bodoh.

Membiarkan dua orang durhaka ini mengutil serba sedikit sana-sini. Mereka memang harus terus

mengasah gigi, layaknya tikus sawah, agar tetap disebut tikus. Namun kesabaran tentu ada batas-

nya. Ia sedang merancang sebuah hukuman untuk keduanya secara hati-hati.

          “Kita harus berkemas,”  kepala kampung menjelaskan,  “daerah ini akan dikosongkan. Se-

lama ini kita berdiam di kawasan hutan lindung!”

          “Hutan lindung?”  Juragan kambing bengong.  “siapa yang mau melidungi kayu-kayu ga-

lam tak berharga itu? Memangnya pemerintah itu pelindung kayu bakar?’

          Kepala kampung diam. Menahan diri agar tidak meledak.

         “Wak Gamak betul Juragan,” H. Jali menengahi. “Aku pernah melihat beberapa batang po-

hon berharga di sekitar hutan sini; pohon sengon, marapat, balangiran, akasia…”

         “Tapi tak ada ulin dan meranti.”

         “Kalau ada kayu ulin dan meranti, itu bukan hutan lindung namanya.  Tapi hutan produksi.

Kan  semua orang jualan yang begitu?   Kalau pemerintah melindunginya,  bagaimana nasib para

pedagang kayu itu?  Dengan  kayu  apa kita mau bikin rumah? Kau  ini benar-benar setolol kam-

bing betina!” H. Jali membentak.

         Wak Gamak membiarkan saja kedua cecurut itu bersitegang.  Ia terlalu letih untuk berteng-

kar. Ia  sedang  memikirkan  cara bagaiamana supaya kedua orang ini cepat enyah dari hadapan-

nya. Sekarang ia perlu waktu untuk menyendiri.

         “Begini, orang-orang pusat itu akan membuka kembali penambangan pasir.  Nah,  kita  ada

dapat jatah jadi sopir dan pembagi kopun.  Aku telah minta dua pintu portal. Kita bikin pos di sa-

na  dan membagikan jatah kopun pada sopir.  Sopir-sopir  itu  akan menyetor sepuluh persen dari

upah  angkut pada kita supaya terus dapat kopun. Kalian bersiaplah cepat.  Berhentilah memeras

orang-orang miskin itu.  Kita  akan  bikin permainan serupa di rumah H. Jali seperti di tempat Ju-

ragan Kambing kemarin.Tinggalkan saja Kalahan ini dengan damai oke? Biarkan kawan kita dari

Jakarta yang mengatur sisanya. Mereka mahir. Terbiasa membersihkan sampah.”

           Kedua orang itu jelas belum begitu paham. Menunggu penjelasan lebih lanjut. Tapi Wak

Gamak sudah kehilanagn selera untuk bicara. Ia memerintahkan dua sopir pikap untuk mengang-

kut rongsokan di halaman rumah H. Jali, seraya menambahkan; “dalam dua hari ini akan ada ke-

bakaran besar. Pastikan kalian tidak dekat-dekat dengan lokasi.”

          H. Jali  tak  berani lagi membantah.  Ia tahu Wak Gamak punya teman di luaran sana yang

tidak  ia kenal.  Mereka yang sepenuhnya bisa digerakkan dengan duit.  Dan orang  yang sedang

berkacakak pinggang di hadapannya ini adalah sepupu dekat si penggantung kucing.  Orang yang

benar-benar  punya tabiat kejam tak terduga.  Tak gampang melupakan sakit hati. Bahkan  kasus

hampir  dua puluh tahun lalu itu,  kiranya masih membekas dalam benaknya.  Walau kedua orang

yang paling dibenci dan dicintanya itu telah lama tiada.

          “Bagaimana keadaan kedua kakak beradik itu?”  Wak Gamak tiba-tiba mengalihkan pem-

bicaraan. Ia bisa menebak pikiran orang.  H. Jali mencoba menduga apa yang ingin diketahui ke-

pala kampung.

         Ia memberi jawaban mengambang. “Mereka jualan kayu bakar ke arah kota.”

         “Apa benar mereka terlihat tidak sama dengan orang-orang lainnya?”

        “Mungkin tidak sepenuhnya. Tapi mereka patut diwaspadai. Yang kakak punya pengalaman

dalam penjara dan lama tinggal di kota. Aku pernah melihatnya di toko kain cina.”

        Wak  Gamak  tak  meneruskan.  Ia tak mau dua cecunguk itu mengetahui isi hatinya. Kedua

orang itu pergi ke arah jurusan yang berbeda.  Juragan kambing kini menyewa sebuah toko pecah

belah  kecil  di  kota.  Berdempetan dengan tukang jam, penyepuh emas, tukang cukur, dan kakus

pasar.  Ia ingin melewatkan masa tuanya dengan damai di dekat rumah mertua. Seperti kata Wak

Gamak,  Kalahan bukanlah tempat yang bagus bagi orang yang mendambakan masa tua yang da-

mai. Banyak hal yang di tempat lain merupakan suatu pamali, tabu,  di Kalahan malah jadi kebi-

asaan. Wak  Gamak telah memberinya banyak nasehat,  masukan yang masuk akal, gambaran je-

las tentang  pengalaman pahit seorang tuna wisma,  dan betapa sakitnya patah hati.  Sehingga ia

tak  ragu  lagi meninggalkan sawah ladangnya yang luas itu, toh ia tak punya keturunan yang ha-

rus dipikirkan.  Wak Gamak sendiri telah menyatakan bersedia menjamin kalau nanti terjadi apa-

apa  dengan  tanah-tanah itu. Tanah itu sendiri ia dapatkan secara cuma-cuma sebagai harta wari-

san.  Dan  yang  terpenting,  hal  yang  tak  pernah ia ceritakan, ia telah mendengar dua ancaman

pembunuhan  yang ditujukan pada dirinya secara diam-diam lewat mulut pemilik warung,  si per-

ca gombal. Ia merasa telah berhasil mengerjai para pembunuh itu dengan cara diam-diam melari-

kan diri pada suatu subuh. Membawa seluruh uang dan perhiasan. Hanya itu yang ia perlukan. Ia

bersyukur bertindak tepat waktu. Sebab malam berikutnya rumah itu dijarah rayah sampai ke

tahi-tahi kambingnya.

          Sepanjang  jalan  pulang,  H. Jali terus merenungkan peristiwa yang terjadi sepanjang hari

ini di rumah Wak Gamak. Ia tahu, di balik segala kedok kepentingan bersama, orang itu sepenuh-

nya adalah musang berbulu domba.  Wak Gamak selalu bersedia mengulurkan tangan selama ke-

pentingannya ada di sana.  Juragan Kambing yang tolol itu telah dikerjainya mentah-mentah. Tak

habis pikir ia, bagaimana bisa makhluk lemah akal itu mau menerima nasehat seekor ular bludak.

Tipu  muslihat konu para iblis untuk menjerumuskan manusia agar keluar dari sorga.  Bayangkan

saja,  seorang durjana yang tak mengenal belas kasihan, tiba-tiba  saja berkhotbah tentang keuta-

maan hati nurani,  kedamaian hari tua, harta yang diamanahkan. Dan si kambing congek itu mau

saja dicocok hidungnya barang ke mana ia mau. Dunia ini sungguh ajaib.

          H. Jali sendiri diam-diam memperhatikan tingkah polah Pairah dan Bana. Nampaknya ke-

dua anak itu memang bukan bocah Kalahan lagi.  Bahkan Bana, yang sejak umur delapan tahun

hidup sendirian, tak pernah terdengar meminta-minta. Ia sanggup mengurus hidup pribadinya de-

ngan  penuh martabat,  walau disisihkan banyak orang.  Bocah itu punya pegangan disiplin harga

diri  yang jelas. Ia tak terlihat hancur walau semua orang memandang remeh padanya. Malah ter-

lihat damai sentosa dengan segala kepapaannya yang mengibakan itu. Sehari-hari anak itu selalu

melintas dengan diam-diam di sepanjang jalanan kampung,  mengendap-ngendap dekat keramai-

an tanpa menarik perhatian, atau berkelana seantero persawahan untuk mencari upahan, menang-

kap ikan, dan menombak kodok. Ia tumbuh dan belajar bersama alam.  Menyimak segala sesuatu

 dengan  seksama, dengan  pembawaannya  yang  ganjil  dan mengundang tanda tanya. Tentunya

 bocah itu juga meresapi setiap rasa sakit, penghinaan, dan pengabaian masyarakat.  Mungkin sa-

ja ia tahu lebih banyak tentang kehidupan warga Kalahan dengan pembawaannya yang tekun dan

penuh  perhatian  itu,  tapi  tidak sebaliknya.  Tidak seorang wargapun yang berminat mengetahui

kehidupan pribadinya.  Sulit mencari perumpamaan untuk menggambarkan kepribadian anak itu.

itu. Ia tidak jinak juga tidak liar. Tidak masa bodoh juga tidak penuh perhatian. Tidak melulu me-

ngalah  juga tidak ingin selalu ingin menang.  Anak  itu pernah menghajar bocah yang terlalu ku-

rang  ajar.  Lalu rumahnya dilempari lumpur dan kotoran.  Tapi ia diam saja.  Tidak  melanjutkan

urusan itu lebih  jauh.  Hingga anak-anak berandal itu kehabisan akal sendiri.  Yang menarik ada-

lah anak itu tak ragu bersitegang dengan Juragan Kambing, seorang yang cukup disegani di kam-

pung karena kepelitannya yang masyhur. Anak itu menang dengan gilang-gemilang.  Hingga  Ju-

ragan  Kambing  sempat jadi bahan tertawaan seisi kampung. Dalam gaya hidupnya yang kumuh

dan seenaknya, terlihat bahwa dia menerapkan satu pola yang tak kentara.  Posisinya  yang  tersi-

sih,  ia manfaatkan untuk memoles citra dirinya agar makin tak diperhatikan.  Ia  mendekam  saja

pada  satu  sudut  gelap  sambil menguping percakapan orang banyak.  Ia tak pernah berkomentar

atau  menampakkan  reaksi pada sebuah peristiwa,  agar orang lain menganggapnya bodoh, tidak

mengerti apa-apa.

           H. Jali  teringat peristiwa waktu mereka lari dari panti asuhan.  Tak seorang yang bersedia

meluangkan waktu untuk menghibur mereka,   ketika  kakak  beradik itu menangis berjam-jam di

atas kuburan ibunya. Semua  orang  terpana, melongo, berbisik-bisik. Sampai berhari-hari kemu-

dian, tak seorang warga datang menengok.  Membiarkan kakak beradik itu pontang-panting men-

cari upahan,  menggadaikan barang-barang.  Warga juga tidak peduli ketika mereka memutuskan

untuk menombak kodok malam-malam, menjualkan minuman keras di tempat perjudian, atau se-

kedar  menunggu persenan dari uang taruhan yang dititipkan pada mereka.  Yang  paling  membi-

ngungkan H. Jali adalah Wak Gamak. Bekas kepala kampung itu benar-benar tak peduli. Ia justru

menarik diri setelah Bibah,  ibu  kedua  bocah meninggal.  Ia juga tidak ikut melayat ke kuburan.

Orang itu benar-benar tak punya simpati.

          Dua pulu dua tahun lalu Bibah adalah kembang desa.  Sugamak,  pemuda terkaya di Kala-

han, jelas-jelas menaruh cinta.  Tapi gadis itu lebih memilih Kardi, pemuda pendatang yang seba-

ya  dengannya,  dibanding Sugamak yang lebih tua lima belas tahun dari dia.  Segala intrik dilan-

carkan  untuk  menghalangi perncintaan itu.  Namun selalu kandas. Orangtua Bibah, tinggal sang

ibu,  adalah tipe wanita romantis.   Ia selalu menjadikan perjalanan cintanya sendiri sebagai pato-

kan. Waktu itu di Kalahan memang sedang musim kawin tajun, kawin lari.   Sepasang insan yang

dimabuk asmara tapi tak mendapat restu orangtua, biasa melarikan diri ke suatu daerah yang jauh

untuk kemudian menikah.  Para pelarian cinta ini biasanya akan kembali beberapa tahun kemudi-

an sambil membawa satu atau dua orang anak.  Anak-anak  mungil  inilah  yang mereka gunakan

untuk  meruntuhkan pendirian orang-orang kolot itu. Teknik ini jarang gagal.  Ibu  Bibah  adalah

satu dari sekian banyak orang yang menempuh jalan cinta demikian. Ia paham benar dengan situ-

asi  batin seseorang yang sedang mabuk cinta. Ia tak mau sejarah cintanya terulang bagi anaknya

semata  wayang.  Tapi Bibah dan Kardi tak perlu melakukan itu.  Soal mereka tak ada hubungan-

nya  dengan masalah restu-merestu. Tapi orang ketiga, pemuda Sugamak.  Soal  yang  tak begitu

berarti.

          Tanpa  bisa dihalangi,  pernikahan itu akhirnya terjadi. Mereka dapat sokongan penuh dari

para  pecinta  drama  Mamanda itu.  Kedua insan itu diumpamakan seperti Makmun dan Fatmah.

Dua sosok legendaris pahlawan cinta masa itu dalam lakon Nisan Berdarah.

          Lakon  itu  sendiri tak jelas juntrungannya. Orang hanya tahu bahwa cinta mereka tak per-

nah  mendapatkan  restu  dan Makmun akhirnya meninggal karena sakit. Fatmah lalu dijodohkan

dengan pemuda  lain.  Gadis malang yang belum sembuh dari luka hati itu suatu hari mendatangi

kuburan kekasihnya untuk mengadukan halnya. Tentu saja ia tak mendapat penghiburan apapun.

Makmun sendiri telah berada di alam baka dan juga sedang digalau oleh huru-hara.  Fatmah  me-

rasa diabaikan. Di dunia ia dipaksa kawin dengan pemuda yang tak dia cinta.  Sedang kekasih se-

jatinya telah berada dalam pembisuan alam baka. Di  tengah  puncak rasa putus asa itulah ia me-

nubrukkan diri ke nisan makam kekasihnya.  Perutnya  robek  dan  Fatmah  meninggal di tempat.

Darah  segar  mengucuri  nisan  putih itu.  Fatmah dikuburkan berdampingan dengan kekasihnya.

Sementara darah Fatmah tak pernah bisa  terhapuskan berpuluh tahun kemudian sebagai lambang

cinta yang kekal dan tak bisa dipisahkan bahkan oleh kematian.  Kisah inilah yang banyak meng-

Lihat selengkapnya