BAB IX
Enam orang duduk lesehan di teras belakang rumah mantan kepala kampung. Mereka se-
dang menyimak pembicaraan seorang lelaki berkaca mata, yang keseluruhan penampilannya me-
ngingatkan orang pada seekor Bekantan, monyet Belanda. Hidungnya besar panjang, mengambil
sepertiga porsi wajah, kulitnya merah pucat, karena selalu tinggal di tempat tertutup. Ukuran an-
tara kaki dan badan tidak seimbang. Kakinya pendek seperti orang cebol, sedang badannya tegap
besar seperti ras Eropa pada umumnya. Dia mengaku sebagai broker ibukota. Dia datang bersa-
ma seorang rekan. Pria gemuk gempal. Berkulit licin mengkilat. Matanya yang kecil menjorok
ke dalam rongga di antara kedua pipinya yang tembem membengkak. Seperti mata belut. Si mata
belut duduk setengah menyender ke dinding, tak bisa tegak, karena ukuran perutnya yang hampir
menyamai gentong.
“Kita memerlukan seluruh cadangan devisa untuk dioptimalkan. Sahabat-sahabat lama
banyak yang ambil amannya sendiri, lari dari ladang pembantaian. Pemerintah kini berpaling pa-
da sekutu tradisional, rakyat. Ya, pemerintah tak bisa meninggalkan rakyat. Seyogyanya rakyat-
pun tak boleh menelantarkan anak asuhnya sendirian melawan monster-monster asing itu. Kita
sedang dikeroyok dari segala jurusan. Lembaga-lembaga keuangan yang selama ini mengemong
kita, mulai kelihatan tabiat aslinya. Mulai menggeram dan menyeringai. Ringkas kata, sekarang
kita sedang berada di antara taring harimau dan geraham singa.” Ia menarik nafas sejenak. Meli-
rik dari balik kaca mata tebalnya. Menunggu reaksi. Namun hadirin terlihat acuh. Bahkan si mata
belut setengah terpejam, kepala lemas terkulai layaknya orang tidur. Tapi si Bekantan belum pu-
tus asa. Ia mencoba menimbulkan efek lain. Kata-kata himbauan yang lebih nyata dan heroik.
“Situasi kita kini tak ubahnya dengan zaman revolusi 45. Keberpihakan kita sedang di-
uji. Negara membutuhkan setiap tetes keringat, setiap butir pemikiran, setiap inchi langkah maju
dan upaya pengorbanan. Saat ini, setiap orang dipandang sama harganya, setara kontrobusinya.
Ya, kita punya peran yang tidak sama, itu sudah hukum alam. Saya tak akan mendebatnya. Yang
saya maksudkan di sini, kita sedang terdesak ke sudut terakhir pelarian, melawan atau tidak kita
akan mati. Sama-sama mati. Tapi kita punya kesempatan untuk tidak mati sia-sia tanpa kehorma-
tan, yaitu dengan cara melawan. Melawan untuk lolos dari kesia-siaan! Saya kira itu filosofi hi-
dup yang bagus bukan?”
“Seakan-akan dia seorang pejuang,” kepala kampung tiba-tiba nyeletuk. Hadirin tertawa.
Mata belut tersedak beberapa kali sebelum ikut tertawa. “Kita, juga anda, tidak bermaksud mem-
bicarakan itu bukan? Anda terlalu berbelit mister. Sudah lama orang-orang Jakarta menganggap
kami goblok. Saya harap anda jangan ikut-ikutan.” Lelaki sepuh itu tersenyum menantang. Si
Bekantan membersihkan kaca matanya dengan cepat. Tak menyangka orang dungu semacam itu
berani bicara blak-blakan pada seorang pejabat kementrian.
Seorang pria paruh baya yang sejak tadi diam dan sangat tenang berkata; “jadi apa bisnis
yang anda tawarkan? Apa yang bisa kami lakukan dan bagaimana cara bagi hasilnya?”
Ketiga orang lainnya nampak setuju untuk tidak buang-buang waktu. Si Bekantan men-
jawil mata belut. Menyumpah dalam hati. Tak menyangka bajingan-bajingan kumuh itu sudah
banyak pengalaman. Mata belut mengambil alih pembicaraan.
“Bisnis kita adalah membersihkan lahan.”
“Mengadakan penggusuran?’
“Tidak persis.”
“Lantas?”
Ia menjelaskan latar belakang proyek yang akan dilaksanakan. Bahwa hutan-hutan sekitar
Kalahan telah pernah coba dieksplorasi barang 20 tahun lalu. Diduga tanah-tanah berpasir halus
itu mengandung satu lapisan batu-batuan kuno yang mengandung emas. Tapi eksplorasi itu ter-
henti tanpa kejelasan. Mungkin karena di era 70-an itu kita sedang booming Migas. Pemerintah
bisa mendapatkan uang dengan cepat. Dengan jualan bahan mentah yang melimpah ruah. Tindak
lanjut eksplorasi itu tenggelam begitu saja terdesak prioritas kerja yang lebih kongkrit. Namun
baru-baru ini, entah dengan cara bagaimana, seorang insinyur lokal berhasil melakukan pengebo-
ran mandiri di awal tahun ini. Ia membawa sampel penemuannya pada seorang pengusaha yang
juga merangkap sebagai menteri. Tentu saja dia tak mendapat tanggapan serius. Tapi situasi beru-
bah cepat. Kelompok usaha sang menteri yang berfokus pada pengolahan kayu gulung tikar. Dua
juta hektar HPH yang dipegangnya sedang diobok-obok LSM dan aktivis lingkungan. Dia bu-
kanlah pengusaha rantau yang punya banyak teman di luar negeri seperti taipan-taipan hasil asi-
milasi itu. Dia produk domestik sepenuhnya, anak bawang presiden. Bisnisnya semata bertopang
pada konsesi-konsesi pemerintah. Pada detik itulah si insinyur kembali datang. Ia menyampaikan
satu skenario akselerasi terhadap HPH yang dipegang sang menteri. Semacam tukar guling antar
kawasan. Pak menteri harus melepas beberapa puluh ribu hektar lahan untuk program transmig-
rasi. Itu akan sangat menyenangkan presiden. Sebagai gantinya, ia mendapatkan lokasi tambang
pasir koral yang selama ini ditelantarkan pemerintah daerah.
Orang-orang cerdas itu langsung dapat menangkap initi dari bisnis sang menteri. Itu ada-
lah pekerjaan lama mereka. Masing-masing orang mulai membikin pola dalam kepala mereka.
Mata belut maklum. Dia menyudahi uraiannya dengan mengatakan bahwa urusan mereka hanya
sebatas pembebasan lahan, semacam relokasi. Sebab sejak 20 tahun terakhir permukinan sekitar
hutan meluas enam kali lipat. Belum lagi hutan rawa yang dialihfungsikan jadi lahan pertanian,
kebun, dan tambak ikan.
“Kita umpamakan begini,” si pendiam menegakkan duduknya, “seorang tamu asing tak
dikenal ingin datang. Ia mengirim utusan untuk mengabari tuan rumah. Menyampaikan keingi-
nan-keinginan, menetapkan syarat-syarat dan aturan. Ia menuntut agar tuan rumah menyediakan
seluruh keperluan yang mendukung hajat kedatangannya. Sebagai imbalan, tuan rumah diberi se-
mua sisa-sisa fasilitas sang tamu. Orang asing itu begitu bangga dengan segala kemuliaannya, se-
hingga menduga dengan kuat bahwa tuan rumah akan merasa terangkat derajatnya dengan mela-
kukan seluruh pelayanan itu. Dia lupa bahwa yang berkuasa di situ adalah pemilik rumah…”
“No no, bukan seperti itu kawan…”
“Anda menyuruh kami melicinkan jalan untuk segala keperluan anda. Anda ingin me-
ngadakan pesta di rumah kami tanpa mengundang kami barang seorang!”
Kepala kampung tersenyum. “Benar-benar penuh sopan santun.”
“Sudah berpuluh tahun kalian merampok hutan-hutan kami, menghisap minyak bumi ka-
mi, memeras keringat puluhan ribu keluarga kami. Kalian memetik buah-buah kekayaan dengan
berpijak di atas bahu puluhan ribu buruh yang hidup di gang-gang sempit, pinggir-pinggir sungai
yang penuh tinja busuk. Lalu pada dies natalis perusahaan kalian membagikan bingkisan, pia-
gam-piagam penghargaan, lalu menebah dada mengaku sebagai pahlawan. Tokoh kemanusiaan.
Pengayom kaum buruh sedunia! “ Dia tersenyum sinis. “Tidak kawan rakyat. Dengan segala hor-
mat saya harus bilang tidak. Saya kira bahkan Karl Marx sendiri akan bangkit dari kubur bila
menyaksikan kebiadaban ini!”
Kepala kampung dan dua rekannya hampir bertepuk tangan. Ia tak menyangka kawannya
yang suka membual itu mampu menggertak demikian meyakinkan. Si Bekantan mengusap-usap
hidung dengan gugup. Si mata belut mencoba bersikap tenang. Tapi kepala kampung sekilas bisa
menangkap jari-jari orang itu sedikit gemetar ketika ia menangkupkannya. Mereka ini pasti ne-
gosiator kelas tiga, pikirnya. Orang-orang dungu yang biasa dikirim untuk menghadapi preman
pasar. Atau mereka ini cuma spekulan jalanan yang biasa berkerumun di halaman belakang kan-
tor kementrian. Menunggu bocoran informasi para pegawai yang sedang pipis ke WC.
“Ini bisnis,” mata belut memperbaiki diplomasinya, “sebelum kita meninggalkan tempat
ini, semua hal masih dalam proses negosiasi. Apa tawaran anda?”
Si pendiam belum sempat berpikir ke situ. Ia sedang asyik merancang-rancang khotbah
yang ia hapalkan dari orasai-orasi yang ia lihat di televisi beberapa bulan lalu. Seluruh apa yang
diajarkan kedua mentornya.
“Kami ingin truk!” Ia menjawab spontan. Semua yang hadir saling berpandangan.
“Truk?” Mata belut bertanya hati-hati. Tak ingin lagi menyinggung tuan rumah yang pem-
berang itu. “Bersediakah anda menjelaskannya kepada kami yang bebal ini?”
“Kami ingin jadi sopir. Sopir truk-truk itu.”
Kepala kampung dan dua rekannya tertunduk diam. Mantra sudah diucapkan. Apa yang di-
kehendaki terjadi akan terjadi. Itu benar-benar berada di luar rencana mereka semula. Ia melirik
dengan sengit dua pelatih drama yang selama dua hari ini giat melatih si tukang bual itu. Pasti
dua anak kuyang itu telah mencampur-adukkan skenario yang dipesannya dengan naskah-naskah
teater Mamanda yang konyol itu. Cerita semacam putri yang diculik jin lalu ditolong seorang pe-
muda desa. Atau seorang perempuan yang melahirkan bayi kembar. Yang satunya manusia, satu-
nya lagi ular sanca. Lalu dua makhluk terkutuk itu membuat kehebohan dengan pergi keluyuran
ke mana-mana berdua setelah dewasa.
Negosiasi itu berakhir dengan penuh kedamaian. Mereka sepakat untuk bekerjasama mere-
lokasi warga di dua kecamatan itu. Mata belut dan si Bekantan akan mendatangkan tim khusus
yang telah berpengalaman menangani kasus yang serupa di berbagai pelosok negeri. Kacung-ka-
cung terlatih yang bisa menyesuaikan diri dengan situasi dalam waktu sekejap. Di kalangan bi-
rokrasi ibukota, mereka ini terkenal dengan sebutan bunglon penyergap. Orang-orang bayaran
yang disusupkan pemerintah ke tengah khalayak ketika sebuah proyek diduga keras akan menga-
lami hambatan berat.
Ketika orang-orang itu pergi, kepala kampung masih saja berkecap-kecap gemas. Tak ha-
bis-habis menyesali nasib sial yang tak terduga itu. Ia mengira tukang bual itu lebih cerdas dari
dirinya. Paling tidak paham arti kalimat-kalimat yang diajarkan padanya. Ia sendiri tak mengerti
sama sekali makna kalimat-kalimat aneh itu. Tapi ia paham, dengan kalimat-kalimat tolol sema-
cam itulah, anak-anak muda di Jakarta bisa memaksa seorang raja meletakkan mahkota. Akibat-
nya harga-harga melambung tinggi. Ingat harga, ia teringat dua rekannya yang lain yang sejak ta-
di mengintip dari celah dinding. Ia mengetuk dinding tiga kali. Dari pintu belakang keluar Jura-
gan Kambing dan H.Jali. Masing-masing membawa secangkir kopi. Keduanya tersenyum simpul
penuh kepuasan. Penampakan itu makin mengesalkan hatinya saja. Tak bisa lain, ia terpaksa me-
melihara tikus-tikus busuk ini. Menjaga dan memberi mereka makan. Terpaksa pura-pura bodoh.
Membiarkan dua orang durhaka ini mengutil serba sedikit sana-sini. Mereka memang harus terus
mengasah gigi, layaknya tikus sawah, agar tetap disebut tikus. Namun kesabaran tentu ada batas-
nya. Ia sedang merancang sebuah hukuman untuk keduanya secara hati-hati.
“Kita harus berkemas,” kepala kampung menjelaskan, “daerah ini akan dikosongkan. Se-
lama ini kita berdiam di kawasan hutan lindung!”
“Hutan lindung?” Juragan kambing bengong. “siapa yang mau melidungi kayu-kayu ga-
lam tak berharga itu? Memangnya pemerintah itu pelindung kayu bakar?’
Kepala kampung diam. Menahan diri agar tidak meledak.
“Wak Gamak betul Juragan,” H. Jali menengahi. “Aku pernah melihat beberapa batang po-
hon berharga di sekitar hutan sini; pohon sengon, marapat, balangiran, akasia…”
“Tapi tak ada ulin dan meranti.”
“Kalau ada kayu ulin dan meranti, itu bukan hutan lindung namanya. Tapi hutan produksi.
Kan semua orang jualan yang begitu? Kalau pemerintah melindunginya, bagaimana nasib para
pedagang kayu itu? Dengan kayu apa kita mau bikin rumah? Kau ini benar-benar setolol kam-
bing betina!” H. Jali membentak.
Wak Gamak membiarkan saja kedua cecurut itu bersitegang. Ia terlalu letih untuk berteng-
kar. Ia sedang memikirkan cara bagaiamana supaya kedua orang ini cepat enyah dari hadapan-
nya. Sekarang ia perlu waktu untuk menyendiri.
“Begini, orang-orang pusat itu akan membuka kembali penambangan pasir. Nah, kita ada
dapat jatah jadi sopir dan pembagi kopun. Aku telah minta dua pintu portal. Kita bikin pos di sa-
na dan membagikan jatah kopun pada sopir. Sopir-sopir itu akan menyetor sepuluh persen dari
upah angkut pada kita supaya terus dapat kopun. Kalian bersiaplah cepat. Berhentilah memeras
orang-orang miskin itu. Kita akan bikin permainan serupa di rumah H. Jali seperti di tempat Ju-
ragan Kambing kemarin.Tinggalkan saja Kalahan ini dengan damai oke? Biarkan kawan kita dari
Jakarta yang mengatur sisanya. Mereka mahir. Terbiasa membersihkan sampah.”
Kedua orang itu jelas belum begitu paham. Menunggu penjelasan lebih lanjut. Tapi Wak
Gamak sudah kehilanagn selera untuk bicara. Ia memerintahkan dua sopir pikap untuk mengang-
kut rongsokan di halaman rumah H. Jali, seraya menambahkan; “dalam dua hari ini akan ada ke-
bakaran besar. Pastikan kalian tidak dekat-dekat dengan lokasi.”
H. Jali tak berani lagi membantah. Ia tahu Wak Gamak punya teman di luaran sana yang
tidak ia kenal. Mereka yang sepenuhnya bisa digerakkan dengan duit. Dan orang yang sedang
berkacakak pinggang di hadapannya ini adalah sepupu dekat si penggantung kucing. Orang yang
benar-benar punya tabiat kejam tak terduga. Tak gampang melupakan sakit hati. Bahkan kasus
hampir dua puluh tahun lalu itu, kiranya masih membekas dalam benaknya. Walau kedua orang
yang paling dibenci dan dicintanya itu telah lama tiada.
“Bagaimana keadaan kedua kakak beradik itu?” Wak Gamak tiba-tiba mengalihkan pem-
bicaraan. Ia bisa menebak pikiran orang. H. Jali mencoba menduga apa yang ingin diketahui ke-
pala kampung.
Ia memberi jawaban mengambang. “Mereka jualan kayu bakar ke arah kota.”
“Apa benar mereka terlihat tidak sama dengan orang-orang lainnya?”
“Mungkin tidak sepenuhnya. Tapi mereka patut diwaspadai. Yang kakak punya pengalaman
dalam penjara dan lama tinggal di kota. Aku pernah melihatnya di toko kain cina.”
Wak Gamak tak meneruskan. Ia tak mau dua cecunguk itu mengetahui isi hatinya. Kedua
orang itu pergi ke arah jurusan yang berbeda. Juragan kambing kini menyewa sebuah toko pecah
belah kecil di kota. Berdempetan dengan tukang jam, penyepuh emas, tukang cukur, dan kakus
pasar. Ia ingin melewatkan masa tuanya dengan damai di dekat rumah mertua. Seperti kata Wak
Gamak, Kalahan bukanlah tempat yang bagus bagi orang yang mendambakan masa tua yang da-
mai. Banyak hal yang di tempat lain merupakan suatu pamali, tabu, di Kalahan malah jadi kebi-
asaan. Wak Gamak telah memberinya banyak nasehat, masukan yang masuk akal, gambaran je-
las tentang pengalaman pahit seorang tuna wisma, dan betapa sakitnya patah hati. Sehingga ia
tak ragu lagi meninggalkan sawah ladangnya yang luas itu, toh ia tak punya keturunan yang ha-
rus dipikirkan. Wak Gamak sendiri telah menyatakan bersedia menjamin kalau nanti terjadi apa-
apa dengan tanah-tanah itu. Tanah itu sendiri ia dapatkan secara cuma-cuma sebagai harta wari-
san. Dan yang terpenting, hal yang tak pernah ia ceritakan, ia telah mendengar dua ancaman
pembunuhan yang ditujukan pada dirinya secara diam-diam lewat mulut pemilik warung, si per-
ca gombal. Ia merasa telah berhasil mengerjai para pembunuh itu dengan cara diam-diam melari-
kan diri pada suatu subuh. Membawa seluruh uang dan perhiasan. Hanya itu yang ia perlukan. Ia
bersyukur bertindak tepat waktu. Sebab malam berikutnya rumah itu dijarah rayah sampai ke
tahi-tahi kambingnya.
Sepanjang jalan pulang, H. Jali terus merenungkan peristiwa yang terjadi sepanjang hari
ini di rumah Wak Gamak. Ia tahu, di balik segala kedok kepentingan bersama, orang itu sepenuh-
nya adalah musang berbulu domba. Wak Gamak selalu bersedia mengulurkan tangan selama ke-
pentingannya ada di sana. Juragan Kambing yang tolol itu telah dikerjainya mentah-mentah. Tak
habis pikir ia, bagaimana bisa makhluk lemah akal itu mau menerima nasehat seekor ular bludak.
Tipu muslihat konu para iblis untuk menjerumuskan manusia agar keluar dari sorga. Bayangkan
saja, seorang durjana yang tak mengenal belas kasihan, tiba-tiba saja berkhotbah tentang keuta-
maan hati nurani, kedamaian hari tua, harta yang diamanahkan. Dan si kambing congek itu mau
saja dicocok hidungnya barang ke mana ia mau. Dunia ini sungguh ajaib.
H. Jali sendiri diam-diam memperhatikan tingkah polah Pairah dan Bana. Nampaknya ke-
dua anak itu memang bukan bocah Kalahan lagi. Bahkan Bana, yang sejak umur delapan tahun
hidup sendirian, tak pernah terdengar meminta-minta. Ia sanggup mengurus hidup pribadinya de-
ngan penuh martabat, walau disisihkan banyak orang. Bocah itu punya pegangan disiplin harga
diri yang jelas. Ia tak terlihat hancur walau semua orang memandang remeh padanya. Malah ter-
lihat damai sentosa dengan segala kepapaannya yang mengibakan itu. Sehari-hari anak itu selalu
melintas dengan diam-diam di sepanjang jalanan kampung, mengendap-ngendap dekat keramai-
an tanpa menarik perhatian, atau berkelana seantero persawahan untuk mencari upahan, menang-
kap ikan, dan menombak kodok. Ia tumbuh dan belajar bersama alam. Menyimak segala sesuatu
dengan seksama, dengan pembawaannya yang ganjil dan mengundang tanda tanya. Tentunya
bocah itu juga meresapi setiap rasa sakit, penghinaan, dan pengabaian masyarakat. Mungkin sa-
ja ia tahu lebih banyak tentang kehidupan warga Kalahan dengan pembawaannya yang tekun dan
penuh perhatian itu, tapi tidak sebaliknya. Tidak seorang wargapun yang berminat mengetahui
kehidupan pribadinya. Sulit mencari perumpamaan untuk menggambarkan kepribadian anak itu.
itu. Ia tidak jinak juga tidak liar. Tidak masa bodoh juga tidak penuh perhatian. Tidak melulu me-
ngalah juga tidak ingin selalu ingin menang. Anak itu pernah menghajar bocah yang terlalu ku-
rang ajar. Lalu rumahnya dilempari lumpur dan kotoran. Tapi ia diam saja. Tidak melanjutkan
urusan itu lebih jauh. Hingga anak-anak berandal itu kehabisan akal sendiri. Yang menarik ada-
lah anak itu tak ragu bersitegang dengan Juragan Kambing, seorang yang cukup disegani di kam-
pung karena kepelitannya yang masyhur. Anak itu menang dengan gilang-gemilang. Hingga Ju-
ragan Kambing sempat jadi bahan tertawaan seisi kampung. Dalam gaya hidupnya yang kumuh
dan seenaknya, terlihat bahwa dia menerapkan satu pola yang tak kentara. Posisinya yang tersi-
sih, ia manfaatkan untuk memoles citra dirinya agar makin tak diperhatikan. Ia mendekam saja
pada satu sudut gelap sambil menguping percakapan orang banyak. Ia tak pernah berkomentar
atau menampakkan reaksi pada sebuah peristiwa, agar orang lain menganggapnya bodoh, tidak
mengerti apa-apa.
H. Jali teringat peristiwa waktu mereka lari dari panti asuhan. Tak seorang yang bersedia
meluangkan waktu untuk menghibur mereka, ketika kakak beradik itu menangis berjam-jam di
atas kuburan ibunya. Semua orang terpana, melongo, berbisik-bisik. Sampai berhari-hari kemu-
dian, tak seorang warga datang menengok. Membiarkan kakak beradik itu pontang-panting men-
cari upahan, menggadaikan barang-barang. Warga juga tidak peduli ketika mereka memutuskan
untuk menombak kodok malam-malam, menjualkan minuman keras di tempat perjudian, atau se-
kedar menunggu persenan dari uang taruhan yang dititipkan pada mereka. Yang paling membi-
ngungkan H. Jali adalah Wak Gamak. Bekas kepala kampung itu benar-benar tak peduli. Ia justru
menarik diri setelah Bibah, ibu kedua bocah meninggal. Ia juga tidak ikut melayat ke kuburan.
Orang itu benar-benar tak punya simpati.
Dua pulu dua tahun lalu Bibah adalah kembang desa. Sugamak, pemuda terkaya di Kala-
han, jelas-jelas menaruh cinta. Tapi gadis itu lebih memilih Kardi, pemuda pendatang yang seba-
ya dengannya, dibanding Sugamak yang lebih tua lima belas tahun dari dia. Segala intrik dilan-
carkan untuk menghalangi perncintaan itu. Namun selalu kandas. Orangtua Bibah, tinggal sang
ibu, adalah tipe wanita romantis. Ia selalu menjadikan perjalanan cintanya sendiri sebagai pato-
kan. Waktu itu di Kalahan memang sedang musim kawin tajun, kawin lari. Sepasang insan yang
dimabuk asmara tapi tak mendapat restu orangtua, biasa melarikan diri ke suatu daerah yang jauh
untuk kemudian menikah. Para pelarian cinta ini biasanya akan kembali beberapa tahun kemudi-
an sambil membawa satu atau dua orang anak. Anak-anak mungil inilah yang mereka gunakan
untuk meruntuhkan pendirian orang-orang kolot itu. Teknik ini jarang gagal. Ibu Bibah adalah
satu dari sekian banyak orang yang menempuh jalan cinta demikian. Ia paham benar dengan situ-
asi batin seseorang yang sedang mabuk cinta. Ia tak mau sejarah cintanya terulang bagi anaknya
semata wayang. Tapi Bibah dan Kardi tak perlu melakukan itu. Soal mereka tak ada hubungan-
nya dengan masalah restu-merestu. Tapi orang ketiga, pemuda Sugamak. Soal yang tak begitu
berarti.
Tanpa bisa dihalangi, pernikahan itu akhirnya terjadi. Mereka dapat sokongan penuh dari
para pecinta drama Mamanda itu. Kedua insan itu diumpamakan seperti Makmun dan Fatmah.
Dua sosok legendaris pahlawan cinta masa itu dalam lakon Nisan Berdarah.
Lakon itu sendiri tak jelas juntrungannya. Orang hanya tahu bahwa cinta mereka tak per-
nah mendapatkan restu dan Makmun akhirnya meninggal karena sakit. Fatmah lalu dijodohkan
dengan pemuda lain. Gadis malang yang belum sembuh dari luka hati itu suatu hari mendatangi
kuburan kekasihnya untuk mengadukan halnya. Tentu saja ia tak mendapat penghiburan apapun.
Makmun sendiri telah berada di alam baka dan juga sedang digalau oleh huru-hara. Fatmah me-
rasa diabaikan. Di dunia ia dipaksa kawin dengan pemuda yang tak dia cinta. Sedang kekasih se-
jatinya telah berada dalam pembisuan alam baka. Di tengah puncak rasa putus asa itulah ia me-
nubrukkan diri ke nisan makam kekasihnya. Perutnya robek dan Fatmah meninggal di tempat.
Darah segar mengucuri nisan putih itu. Fatmah dikuburkan berdampingan dengan kekasihnya.
Sementara darah Fatmah tak pernah bisa terhapuskan berpuluh tahun kemudian sebagai lambang
cinta yang kekal dan tak bisa dipisahkan bahkan oleh kematian. Kisah inilah yang banyak meng-