GENOSIDA KESUNYIAN

Abdurrazzaq Zanky
Chapter #10

BAB X

                                                                     BAB X

            

             Kelima  remaja  tanggung itu duduk bernaung dalam sebuah sumur kering. Mereka baru

saja menghabiskan sisa-sisa umbut pisang. Arhan sedang asyik memain-mainkan pisau lipatnya.

Sebuah benda tak berarti yang kini sangat nyata kegunaannya.  Selama beberapa hari ini, mereka

telah  menjelajah hingga ke area-area sawah di luar Kalahan.  Mencari umbi-umbian, umbut-um-

butan, akar-akaran, dan pucuk-pucukan.

            “Apa kau pikir kita bisa selamat melewati musim ini?” Dandi menerawangi kejauhan.

           “Kata  nenekku,  kita  pernah mengalami hal yang lebih sulit dari sekarang,  ketika semua

orang kena kolera. Banyak orang mati. Tua muda.” Arhan menjelaskan.

           “Kolera atau cacar api?” Salimi memotong,  “kalau melihat bekas luka pada wajah nenek,

jelas itu bekas cacar. Wajah nenek penuh lobang.”

           “Kolera atau cacar api sama saja. Banyak orang mati.”

           “Apa sekarang tak banyak yang mati?” Anak yang suka mendebat itu tak mau kalah, “da-

lam seminggu ini saja empat orang tua mati kelaparan!”

            “Itu salah mereka sendiri. Mati konyol karena malas berusaha. Kelaparan itu bukan  pe-

nyakit  menular. Bisa  dihindari dengan mudah. Selama  kita tak memberinya peluang,  kita akan

baik-baik saja.  Lihat saja si penjagal kucing itu, kalau melihat roman mukanya, aku percaya bila

mana  perlu  dia lebih memilih memakan bangkai anaknya daripada harus mati kelaparan.  Orang

bilang dia sudah menyembelih beberapa ekor kucing untuk santap malam. Sebentar lagi mungkin

dia akan menangkapi anak-anak yatim!”

             “Wah, wah anak yatim ya?”  Dandi mengedip nakal,  “rupanya kau ikut mengurus anak-

anak terlantar itu ya?” Semua tertawa.

             Arhan jadi bersemangat. “Ya, ya, bagaimana rasanya kawan? Kau ini sungguh pembera-

ni! Sedang sapi peot saja belum tentu berani!”

            “Kau ini seliar kuda binal!” Yang lain-lain menambahkan pujian.

            Yang mereka maksud adalah Bu Yasi,  janda beranak lima yang dikabarkan baru menjual

dua anaknya. Dua yang tertua. Dia adalah salah satu janda korban sumur maut itu.  Orangnya lin-

cah, tak berlarut, cepat tanggap, dan jeli melihat peluang. Bahkan  di  tengah segala keterbatasan

makanan yang melanda seluruh kawasan, badannya tak banyak mengalami penyusutan. Tetap pa-

dat, montok, dan menggiurkan.  Dia  punya bayi yang belum genap setahun, masih menyusu, wa-

jarlah kalau payudaranya bulat kencang.  Tak  seperti perempuan lain yang kebanyakan sudah se-

perti sandah, setan perempuan dengan wajah terpuntir menghadap ke belakang.  Ia  tidak terlihat

banyak mengeluarkan keringat atau keluyuran seperti tuyul,  namun dapurnya jelas tetap berasap.

Bau-bauan  harum masakan sering terbawa angin hingga ke hidung orang di jalanan.  Dengan  si-

kap dan pembawaannya yang begitu mengundang, bukan  salahnya  bila tiap hari ada saja pahla-

wan  kesiangan  yang bersimpati dengan sepenuh hati.  Membawakan sekedar dua atau tiga takar

kecil beras, yang akan ditukar dengan kecupan bercanda atau tepukan manja di pantat.  Beberapa

bungkus mie instan akan diganti dengan pelukan ringan bersahabat. Hal-hal  kecil yang kira-kira

bisa  melambungkan angan seseorang akan tindakan-tindakan lebih lanjut. Konon,  sekarang  dia

membuka praktek pijit khusus malam yang melayani segala usia dan kalangan.

           Salimi  merah  padam.  Tapi ia tak mau jadi bahan olok-olok. “Kalian harus mencobanya

sendiri. Dia pandai menenangkan anak bawang yang suka gugup dan gemetaran!”

          “Kawan kita sudah profesional uy!”

          “Bukan anak bawang!”

          “Jantannya sapi jantan!”

          “Binalnya kuda binal!”

          Tiba-tiba  dua  ekor elang jatuh bergulingan di hadapan mereka.  Keduanya  cepat  bangkit  

dan  melanjutkan  pertarungan  tanpa menyadari kehadiran anak-anak itu. Serpihan bangkai tikus

terburai  di  atas  tanah.  Anak-anak itu cepat merapat ke tebing.  Menyamarkan diri sebisa mung-

kin.  Arhan  menyimpan  pisau lipatnya. Mengeluarkan sebiji batu bulat, memasukkannya ke da-

dalam  kulit  pelontar ketapel.  Anak itu menarik tali pelontar hingga berada persis di sisi telinga-

nya.  Semua  yang  memperhatikan  tegang  kaku.  Lalu terdengarlah desingan singkat membelah

udara.  Salah  satu  dari  elang itu mengamuk berjumpalitan di atas tanah. Secepat kucing mereka

menyerbu bersamaan ke depan.  Menerkam elang tambunau yang patah sayap itu.  Arhan menge-

luarkan pisau lipatnya kembali. Mengakhiri petualangan hidup penculik anak-anak ayam itu. Ke-

mudian  mereka kembali bersandar ke dinding sumur. Mengamati sang raja langit meregang nya-

wa dengan penuh suka cita.

           “Sayang tak ada kecap,” Dandi mengguman setengah bermimpi.

           “Aku ada garam.” Yadi yang sejak tadi diam mengeluarkan kotak korek apinya. Kotak itu

masih terisi setengahnya. “Ini akan jadi makan besar kita yang pertama.”                              

          Mereka menyiangi burung raksasa itu dengan cepat seperti sekawanan pemburu kawakan.

Mengeratnya kecil-kecil.  Daging predator itu ternyata hitam kemerahan.  Kedua  tulang  kakinya

pendek dan besar, kokoh. Jelaslah  burung  itu menumpukan seluruh hidupnya pada kedua cakar

maut di ujung kaki yang kokoh itu. Salimi menggali sebuah lubang kecil. Meninggikan kedua si-

si  lubang dengan tanah.  Ia menumpukkan jerami banyak-banyak ke dasar lubang.  Yadi meman-

tik-mantik batu belerangnya.  Tak lama kemudian api berkobar di dasar lubang.  Arhan mematah-

kan ranting-ranting jambu klotok yang telah meranggas.  Mereka  duduk  santai  mengelilingi api

unggun itu sambil membolak-balik tusuk panggangan masing-masing.  Tangan-tangan   kurus itu

gemetar  seiring denyut ria kegembiraan yang menjalari urat-urat nadi mereka.  Setelah  berhari-

hari  keluyuran,  inilah makanan pertama sebenarnya yang mereka dapatkan dari alam. Langsung

jatuh dari langit Tuhan.

           “Kau ikut ke rumah H. Jali tadi malam?” Yadi menanyai Salimi.

           “Dia asyik di rumah anak yatim!” Dandi nyeletuk.

           “Kalau  aku sudah tahu bahwa rumah itu kosong,”  Arhan  menyombong, “ada orang lain

yang datang lebih dulu. Itu seperti kejadian di rumah Juragan Kambing.Kita keduluan orang lain.

Hanya dtinggali sarang laba-laba dan tahi cicak!”

           “Siapa sih yang menjarah duluan itu?”

           “Pak Alga, guru olahraga itu bilang, penjarahan itu hanya main-main.  Habis tak ada yang

rusak. Pintu dan jendela juga utuh.  Hanya ada pecahan piring dan lampu petromak di dapur. Ko-

tak-kotak rokok masih tersusun rapi di langkan jendela. Yang mengamuk itu yang datang belaka-

ngan. Orang-orang kita yang marah karena tak kebagian barang. Untunglah Pak Alga sempat me-

ngamankan sebuah tanduk menjangan dari ruang depan. Kalau  tidak  dia juga pulang dengan ta-

ngan hampa.”

           “Kenapa ya kita selalu dibodohi orang?” Yadi bertanya seperti merenung.

           “Kita? Situ yang bodoh! Kita sih baik-baik saja,” Salimi menukas cepat.

           “Bodoh? Siapa bialng? Otak kita encer kok. Lihat tuh, sampai berleleran begitu!”  Arhan

memberi isyarat dengan mulutnya. Rupanya congek Yadi berleleran lagi.  Tawa mereka pecah se-

ketika.  Yadi mengorek kupingnya, “nih kalau kamu mau!”  Anak-anak itu berlarian menyelamat-

kan diri masing-masing. Yadi tertinggal jauh di belakang. Mereka menunggu sebentar, begitu Ya-

di mendekat mereka lari lagi. Yadi tidak meneruska mengejar. Ia tahu batas ketahanan kawan-ka-

wannya  itu.  Beberapa  potong  daging  elang tidak akan cukup untuk memompakan tenaga pada

anak-anak kering kerontang itu.  Namun itulah kali pertama mereka menyantap lauk, setelah em-

pat hari ini hanya makan umbut dan pucuk-pucukan.  Selama itu pula mereka tidak pulang ke ru-

Sebab  keadaan  rumah jauh lebih menyedihkan. Orangtua yang bertenggar, adik-adik yang bere-

But hal-hal sepele, caci-maki, bentakan,  dan tempelengan yang tak terelakkan,  hujatan terhadap

satu sama lain.  Tak seperti yang banyak diceramahkan orang, musibah,  kemiskinan, dan kelapa-

ran akut itu bukannya mendatangkan hikmah atau kearifan.  Malah makin menjerumuskan mere-

ka ke dalam jurang fatalisme dan kepahitan yang makin dalam.

            Masyarakat Kalahan bukanlah tipe orang yang suka bermenung, kecuali untuk urusan ju-

di dan sabung ayam. Dalam urusan memetik pelajaran dan kebijakan, tak bisa tidak, otak mereka

selalu mampat disesaki hal-hal yang lebih praktis; bagaimana cara mendapatkan uang dan meng-

gunakannya untuk kesenangan.  Sepanjang  sejarahnya  mereka mengulang pola-pola hidup yang

sama, jargon-jargon serupa, dan teknik-teknik yang tak pernah berubah.  Mereka suka menyebut-

nyebut kebijakan para pendahulu, namun tak tahu mesti bagaimana menyikapi kebijakan itu. Me-

reka  sangat  bangga  kalau punya garis keturunan dari orang-orang terpandang, namun  keadaan

mereka  sendiri  sangat mengenaskan.  Mereka senang dan merasa lega bila sudah saling bertukar

keluhan,  bisa mengungkap aib dan skandal,  jadi pelopor dalam menciptakan intrik baru dan per-

sekongkolan.  Hidup di Kalahan bukanlah hidup yang ideal. Bukan hidup yang bisa membuat iri

manusia normal.  Walau  begitu mereka sangat mencintai sepotong tanah yang terasing dan ganjil

itu.  Sejauh yang dapat diingat,  belum pernah terjadi tutus keturunan Kalahan bisa berlama-lama

dalam perantauan.  Betapun kecewa dan beratnya aib yang membuat mereka harus meninggalkan

tanah  kelahiran,  ujung-ujungnya pasti akan kembali ke kampung halaman.  Begitu  pula mereka

yang menemukan jodoh di tempat lain, lelaki atau perempuan, lambat laun akan pulang juga, wa-

lau dalam usia yang sudah senja. Bahkan  orang-orang  yang  coba mencari peruntungan lain ini,

sering pulang dalam keadaan miskin dan mengenaskan.  Lebih payah dari warga selebihnya. Me-

reka mesti merintis kehidupan baru dari awal. Tertinggal jauh dari orang-orang muda yang sudah

punya rumah dan ladang garapan. Ada juga yang berusaha sekolah lebih tinggi, seperti Pak Alga,

namun reputasinya tak pernah diakui. Tak lebih dihargai dari seorang pembual. Atau Wak Gamak

yang tamat SLTA, ujung-ujungnya juga menyerah dengan keadaan.  Terjebak dan tenggelam  da-

lam kungkungan cita-cita lokal dan kejumudan khas Kalahan.

           Lima  remaja  tanggung itu akhirnya bergelimpangan di bawah sebatang pohon galam be-

sar.  Sekitar mereka berserakan tahi burung dan tulang belulang tikus.  Pohon galam itu sudah te-

gak  di sana jauh sebelum mereka lahir. Kini batangnya sudah dua kali pelukan orang dewasa le-

bih. Cabang-cabangnya menjulur puluhan meter ke segala penjuru. Membentuk kanopi alami di

tengah sengangar udara yang membakar.  Bila angin bertiup seperti sekarang, akan terdengar ge-

muruh  teredam yang berkepanjangan.  Seakan  puluhan  makhluk  gaib sedang memukul tambur

secara bersamaan dari sebuah padang tak kelihatan. Pohon  hutan itu tumbuh menyendiri jauh di

tengah persawahan, jadi suaka dari banyak burung, ular, bahkan monyet. Ia telah melintasi bebe-

rapa angkatan generasi di Kalahan. Jejak-jejak  orang terdahulu itu masih terlihat pada bekas tali

ayunan yang jauh berada di atas ketinggian. Tali rotan yang membelit batang, ada  juga beberapa

pakaian  lapuk  terpaku  pada bonggol-bonggol batang yang kini juga makin jauh dari permukaan

sawah. Dua meter dari pohon,  terdapat enam tiang ulin yang telah jadi arang, bekas pondok per-

istirahatan.

             “Kita tidur saja di sini,” Dandi mengusulkan,  “siapa tahu malam ini ada makanan tersa-

sar.”

            Yang lain saling berpandangan.  Pohon itu sedikit angker, seperti sering diceritakan.  Roh

seorang gila yang diasingkan puluhan tahun silam masih gentayangan. Pada  mala-malam sunyi,

tangis lirihnya sering terbawa angin ke perkampungan. Roh nenek gila itu protes kenapa di Kala-

han  tak  ada lagi  belas kasihan.  Kenapa orang-orang membiarkan ia mati perlahan dalam pasu-

ngan.  Dalam  pengabaian  yang  sungguh  tak pernah terbayangkan.  Tiga puluh tahun lalu,  Mak

Iyang dipasung dan dibuang ke tengah-tengah ladang. Ia menderita penyakit otak yang aneh dan

telah membakar dua buah rumah warga. Mereka  memasungnya  dengan  tali rotan ke pohon ga-

lam. Membiarkannya membusuk sendirian sampai tinggal tulang belulang.  Maka  pohon raksasa

ini  adalah  pohon  yang  selalu dihindari kalau orang pergi ke ladang.  Pohon  angker  yang terus

menghantui nurani orang-orang Kalahan.

           “Aku sih mau saja,” Arhan melepas baju, “daripada di rumah kena hajar lagi.”  Dia punya

ayah tiri yang ringan tangan.

          “Kita tunggu Yadi. Kalau dia mau, kita menginap. Aku yakin setan manapun pasti tak kuat

dengan bau congeknya!” Salimi mengusulkan. Ia berkacak pinggang memandang alam yang kini

menghitam. Seluruh area di sana telah terbakar. Abu hitam jerami menutupi permukaan tanah se-

tebal tilam. “Kalau angin tutus datang, habislah kita.”

           “Kata nenekku, abu jerami yang diterbangkan angin tutus bagus untuk jimat usaha,” Dan-

di  menirukan seseorang yang sedang menangkap benda di udara, “H. Jali dan Juragan Kambing

punya jimat itu.”

          “Bagaimana cara menangkapnya?”  Kejar Salimi.

          “Itulah yang ingin aku ketahui oon!”

          Anak-anak  itu tertawa karena Dandi berhasil mengerjai Salimi.  Yadi  datang  diam-diam.

Duduk menyendiri agak jauh. Mereka pura-pura tidak melihat.

         “Ayolah neng, jangan merajuk begitu. Nanti jadi sapi ompong.” Dandi melemparkan sebu-

ah ranting kering.

         Menjelang senja anak-anak itu telah selesai membersihkan sedikit area di sebelah utara po-

hon. Mereka memperkirakan angin tetap akan datang dari arah selatan. Sehingga mereka bisa ter-

lindung  dari semburan dingin embun. Ini kali pertama mereka tidur di tempat terbuka.  Beberapa

hari sebelum ini mereka selalu tidur dalam sumur atau bantaran sungai.

          Matahari mengambang merah di balik tirai asap.  Angin semilir berhembus menggemakan

gemuruh perlahan dari daun-daun galam yang saling bergesekan. Membuai senja yang permai itu

dalam nina bobo alam yang penuh elegi.  Ada kontras yang sulit diterjemahkan dengan kata-kata,

ketika senja yang damai itu dipersandingkan dengan gersang alam,  ketika suasana syahdu itu di-

suguhkan kepada anak-anak yang sedang kelaparan.  Seakan semua itu adalah cerminan azali da-

ri situasi hubungan batin yang ganjil antara warga Kalahan dengan tanah kelahiran mereka.  Situ-

asi  yang dari generasi ke generasi tak kunjung terpahami.  Seperti kata Umbuy Iruk, orang Kala-

han  seakan telah dikutuk untuk mencintai tanah kelahirannya, bahkan jauh melebihi hidup mere-

ka  sendiri.  Mereka rela mengarungi intrik dan perselisihan, sengketa dan iri dengki, pancaroba,

banjir dan wabah, dan sekarang potensi kemusnahan yang semakin dekat di depan mata. Dan tak

seorangpun  yang  berniat  lari  menghindar. Semua  nestapa malapetaka itu tak pernah membuat

mereka jera atau sakit hati berkepanjangan.  Mereka masih tetap saja di sini. Bergulat dengan ga-

nasnya alam dan sisi paling gelap dari watak manusia:  kebodohan yang abai.  Setiap hancur, me-

reka selalu bisa bangkit dengan cara yang ganjil dan sulit dipahami akal. Berikhtiar menata kem-

bali  kehidupan  mereka  yang dulu dengan gamang sekaligus penuh pengharapan.  Orang-orang

yang pernah disakiti, mereka yang pernah mengecap manis hidup di rantau, atau mereka yang te-

lah  betul-betul  kehilangan  pengharapan  nun  di suatu tempat entah di mana,  pastilah  di  ujung

permenungannnya akan teringat lagi pada Kalahan.  Merindukan  lagi suasana hidup seperti yang

dulu mereka jalani di Kalahan.

            Dengan  cara  yang  sulit dicerna inilah kehidupan di Kalahan berevolusi,  merayap pelan

seperti seekor siput. Meninggalkan jejak lendir sepanjang lintasan jalannya yang lamban.  Ketika

kampung-kampung di sekitarnya berkemas dalam gegas,  menyesuaikan diri dengan keadaan, la-

tah  mengutip  sana-sini,  membuka  diri  dan  menyambut riang segala bentuk perubahan zaman,

Kalahan tetap bersikap tenang.  Seperti seorang tuli yang tak mendengar desingan peluru berseli-

weran  di sekitar kepalanya,  justru senyum-senyum saja ketika semua orang panik berhamburan.

Kebiasaannya tetap yang itu-itu saja dari waktu ke waktu. Tak ada variasi, seperti jalan di tem-

pat, jumud dan dekaden seperti awal penciptaan alam. Namun  justru itu yang banyak dicari-cari

orang,  dikangeni  para diasporanya,  dikenang-kenang  para sesepuhnya,  dan  dalam banyak hal,

mudah dijadikan tumbal. Hidup di Kalahan seperti tinggal di sebuah tempat yang dikepung peng-

hujan; tentram, terasing, penuh privasi.  Tak banyak tuntutan.  Karakter warganya angin-anginan,

labil, pandir, dan cepat pudar.  Mereka  gampang memuja-muja, tapi gampang pula melindasnya.

Mudah dibujuk, mudah pula ngambek dan merajuk.  Secara keseluruhan gambaran tentang watak

manusia Kalahan bisa disejajarkan dengan hakikat segala kefanaan alam. Sikap serba gampangan

inilah  yang  selalu  dimanfaatkan  pihak luar untuk buang sial,  menjadikan mereka sebagai kuda

hitam,  atau sekedar menjadikan mereka sebagai bahan mainan dan percobaan.  Maka dalam dua

bulan ini saja, tanpa sepengetahuan warga, empat belas partai politik telah mengklaim punya ran-

ting kepengurusan di Kalahan, lengkap dengan susunan kepengurusan, alamat, bahkan kartu tan-

da anggota fiktif.  Mungkin mereka yang mendidirikan ranting-ranting partai ini benar-benar ber-

anggapan bahwa  entitas yang bernama Kalahan itu sungguh tak ada.

           Malam itu,  ketika lima remaja tanggung tersebut tidur saling bertumpukan berbantal akar

galam, di bagian lain sudut perkampungan berkelebatan bayangan-baynagan hitam.  Mereka ber-

gerak ringan layaknya kapas.  Dalam cadar kabut tengah malam,  orang-orang  itu kemudian ber-

pencar. Sunyi senyap dan gelap gulita.  Tak ada pelita, apalagi lampu listrik.  Bulan kuning berla-

yar sendiri dalam kesepian antariksa yang mencekam.  Hanya suara tangir dan jangkrik masih sa-

ling  berbisik,  membacakan  hikayat  sunyi abadi kampung yang sedang tidur lelap itu.  Lalu  api

berkobar di tiga tempat yang saling berjauhan; rumah H.Jali, rumah Juragan Kambing, dan sebu-

ah pondok terpencil di tikungan jalan.  Dalam pekat embun dan kabut, api menjalar perlahan tan-

pa menimbulkan keributan.  Tanpa gemuruh, tanpa suara gemerutuk,  tanpa hembusan angin. Ti-

dak  seorang  warga terjaga.  Hanya tiga orang tampak bertengger di atas pagar sebuah rumah tua

jauh di luar pemukiman.  Sejam kemudian,  tiga sosok itupun menghilang ke balik rimbun pohon

ketapang.

             Tak seorangpun terkejut dengan kejadian malam itu, karena mereka lebih dikejutkan de-

ngan kematian seorang bayi yang baru berumur 11 bulan, putra Bu Tinah. Sebelumnya Bu Tinah

sudah punya eman mulut yang harus disuapi sebelum bayi itu lahir. Dia seorang perempuan ting-

gi besar dengan gigi kuning seperti seekor gorila. Kontras  dengan suaminya yang berperawakan

ramping,  berkumis  tipis, dengan  wajah penuh bopeng digerogoti cacar.  Mereka  ini tak pernah

akur dalam berbagai hal, kecuali kalau sedang bikin anak.  Nah,  entah bagaimana caranya, suatu

hari si bopeng bisa membawa pulang sekarung kecil pepaya mentah.  Mereka  dapat rezeki nom-

plok yang akan membuat iri banyak orang.  Bu Tinah adalah orang yang berwawasan jauh ke de-

pan. Ia membayangkan masa depan ketujuh anaknya yang tak menentu. Bagaimana supaya pepa-

ya  itu  paling tidak cukup buat cadangan makan seminggu.  Lalu ia memutuskan untuk membuat

asinan.  Ia memotong kecil-kecil pepaya, merendamnya dengan air garam dalam tujuh kaleng ka-

ca berbeda.  Kaleng-kaleng itu ia jajarkan sesuai ukuran dan deretan hari.  Makin ke ujung makin

kecil. Tiap pagi dan malam, anak-anak itu berbaris rapi dengan piring plastik kecil mereka. Maju

satu  persatu  sesuai  urutan usia. Yang paling besar paling dulu.  Masing-masing mendapat jatah

sendokan  sesuai  porsi tubuhnya.  Bu Tinah sudah menyiapkan sebilah kayu sebesar jempol kaki

untuk menertibkan acara makan yang langka itu.  Sementara si bopeng memperhatikan dari sebu-

ah  sudut  dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena terharu, tapi karena was-was, apakah wanita

kejam itu akan memberinya sisa atau tidak. Sungguh sulit ditebak.

           Pagi itu kebetulan semua orang bangun agak kesiangan, kecuali si bayi.  Anak yang begi-

tu bangun langsung kelaparan itu, berinisiatif mengambil jatah sarapannya sendiri.  Ia  sudah cu-

kup  belajar  bagaimana  cara  membuka  tutup  kaleng itu dalam pengalamannya selama dua hari

belakngan.  Ia  meraup  makanan  itu dengan rakus.  Menelannya bulat-bulat karena belum punya

cukup  gigi untuk mengunyah.  Tak  sampai  dua menit,  bayi itu tersedak hebat. Tenggorokannya

tersumbat potongan-potongan asinan yang saling berjejalan.  Ia menangis,  tapi gagal mengeluar-

kan  suara.  Ia terus megap-megap beberapa saat sebelum akhirnya kehabisan udara di paru-paru-

nya. Di kedua tangannya tergenggam erat beberapa potong besar asinan.

            Kematian  itu menarik banyak perhatian orang. Bukan karena tragedi atau simpati terha-

dap anak malang itu,  tapi  karena cara matinya yang tak biasa.  Ketika banyak orang mati karena

kelaparan, bayi itu justru meninggal ketika sedang makan. Jadi anak itu meninggal dalam keada-

an senang, begitulah anggapan banyak orang. Maka sejak berita itu tersiar, hampir semua perem-

puan dan anak-anak segera merubung rumah Bu Tinah untuk menengok sang bayi.  Mereka ingin

tahu  camilan  maut  macam  apa yang telah membuat tenggorokan anak itu tersumbat,  sekaligus

mencicipinya serba sedikit. Rasanya benar-benar biadab. Cocok sekali buat anjing alas.

           Hari itu terjadi suatu solidaritas yang ganjil.  Ketika  anak itu diantar ke pemakaman agak

di  luar  kampung,  di belakangnya  mengekor barisan panjang muda-mudi,  anak-anak dan orang

dewasa.  Jasad bayi itu digendong Umbuy Iruk selaku bidan sekaligus pengayom para bayi.  Para

pengiring  itu berbisik-bisik lirih,  seakan takut mengganggu tidur tenang sang bayi. Arak-arakan

itu lebih panjang dari upacara penguburan tragedi sumur maut. Tak  seorang yang mau ketingga-

lan. Dalam  benak  mereka  yang  samar,  terasa suatu campuran perasaan prihatin, tragis, marah,

pedih, mengejek, dan ironis sekaligus. Mereka tahu,  peristiwa  hari ini adalah puncak dari suatu

tragedi yang selama ini telah lama mengintai kelengahan mereka. Kematian tragis sang bayi ada-

lah olok-olok nasib yang tak mungkin bisa mereka balas dan lunaskan.  Mereka  tak  ubahnya se-

perti  kumpulan  hewan  yang sedang berbaris di depan rumah jagal.  Tinggal  menunggu  giliran.

Tak  ada  yang  bisa  menolong.  Maka semua orang merasa berkepentingan untuk hadir memberi

penghormatan. Sekedar menyatakan  pengakuan  terhdap  simbol  kekalahan mereka yang total.

Husin  dan  istrinya  yang sama-sama setengah pikun,  hanya bisa mengantarkan dengan pandang

mata mereka yang rabun.

           Ia  mengeluh  pada  si nenek: “Siapakah  kita,  hingga  harus memikul bala bencana yang

tak berujung  ini?  Mengapa  kita terus dikutuk untuk bergulat dengan teka-teki yang tak bisa ter-

Lihat selengkapnya