Bab X
Kelima remaja tanggung itu duduk bernaung dalam sebuah sumur kering. Mereka baru saja menghabiskan sisa-sisa umbut pisang. Arhan sedang asyik memain-mainkan pisau lipatnya. Sebuah benda tak berarti yang kini sangat nyata kegunaannya. Selama beberapa hari ini, mereka telah menjelajah hingga ke area-area sawah di luar Kalahan. Mencari umbi-umbian, umbut-umbutan, akar-akaran, dan pucuk-pucukan.
“Apa kau pikir kita bisa selamat melewati musim ini?” Dandi menerawangi kejauhan.
“Kata nenekku, kita pernah mengalami hal yang lebih sulit dari sekarang, ketika semua orang kena kolera. Banyak orang mati. Tua muda.” Arhan menjelaskan.
“Kolera atau cacar api?” Salimi memotong, “kalau melihat bekas luka pada wajah nenek, jelas itu bekas cacar. Wajah nenek penuh lobang. Kalau kolera jari kita bisa buntung."
“Kolera atau cacar api sama saja. Banyak orang mati.”
“Apa sekarang tak banyak yang mati?” Anak yang suka mendebat itu tak mau kalah, “dalam seminggu ini saja empat orang tua mati kelaparan!”
“Itu salah mereka sendiri. Mati konyol karena malas berusaha. Kelaparan itu bukan penyakit menular. Bisa dihindari dengan mudah. Selama kita tak memberinya peluang, kita akan selamat dan baik-baik saja. Lihat saja si penjagal kucing itu. Kalau melihat roman mukanya, aku percaya bilamana perlu dia pasti lebih memilih memakan bangkai anaknya daripada harus mati kelaparan. Orang bilang dia sudah menyembelih beberapa ekor kucing untuk santap malam. Sebentar lagi mungkin dia akan menangkapi anak-anak yatim!”
“Wah, wah anak yatim ya?” Dandi mengedip nakal, “rupanya kau ikut mengurus anak-anak terlantar itu ya?” Semua tertawa.
Arhan jadi bersemangat. “Ya, ya, bagaimana rasanya kawan? Kau ini sungguh pemberani! Sedang sapi peot saja belum tentu berani!”
“Kau ini seliar kuda binal!” Yang lain-lain menambahkan pujian.
Yang mereka maksud adalah Bu Yasi, janda beranak lima yang dikabarkan baru menjual dua anaknya. Dua yang tertua. Dia adalah salah satu janda korban sumur maut rempo hari. Orangnya lincah, tak berlarut, cepat tanggap, dan jeli melihat peluang. Bahkan di tengah segala keterbatasan makanan yang melanda seluruh kawasan, badannya tak banyak mengalami penyusutan. Tetap padat, montok, dan menggiurkan. Dia punya bayi yang belum genap setahun, masih menyusu, wajarlah kalau payudaranya bulat kencang.
Tak seperti perempuan lain yang kebanyakan sudah seperti sandah, setan perempuan dengan wajah terpuntir menghadap ke belakang. Ia tidak terlihat banyak mengeluarkan keringat atau keluyuran layaknya tuyul, namun dapurnya jelas tetap berasap. Bau-bauan harum masakan sering terbawa angin hingga ke hidung orang di jalanan. Dengan sikap dan pembawaannya yang begitu mengundang, bukan salahnya bila tiap hari ada saja pahlawan kesiangan yang bersimpati dengan sepenuh hati. Membawakan sekedar dua atau tiga takar kecil beras, yang akan ditukar dengan kecupan bercanda atau tepukan manja di pantat. Beberapa bungkus mie instan akan diganti dengan pelukan ringan bersahabat. Hal-hal kecil yang kira-kira bisa melambungkan angan seseorang akan tindakan-tindakan yang lebih jauh. Konon, sekarang dia membuka praktek pijit khusus malam yang melayani segala usia dan kalangan.
Salimi merah padam. Tapi ia tak mau jadi bahan olok-olok.
“Kalian harus mencobanya sendiri. Dia pandai menenangkan anak bawang yang suka gugup dan gemetaran!”
“Kawan kita sudah profesional uy!”
“Bukan anak bawang!”
“Jantannya sapi jantan!”
“Binalnya kuda binal!”
Tiba-tiba dua ekor elang jatuh bergulingan di hadapan mereka. Keduanya cepat bangkit dan melanjutkan pertarungan tanpa menyadari kehadiran anak-anak itu. Serpihan bangkai tikus terburai di atas tanah. Anak-anak itu cepat merapat ke tebing. Menyamarkan diri sebisa mungkin. Arhan menyimpan pisau lipatnya. Mengeluarkan sebiji batu bulat, memasukkannya ke dalam kulit pelontar ketapel. Anak itu menarik tali pelontar hingga berada persis di sisi telinganya. Semua yang memperhatikan tegang kaku. Lalu terdengarlah desingan singkat membelah udara. Salah satu dari elang itu mengamuk berjumpalitan di atas tanah. Secepat kucing mereka menyerbu bersamaan ke depan. Menerkam elang tambunau yang patah sayap itu.
Arhan mengeluarkan pisau lipatnya kembali. Mengakhiri petualangan hidup penculik anak-anak ayam itu. Kemudian mereka kembali bersandar ke dinding sumur. Mengamati sang raja langit meregang nyawa dengan penuh suka cita.
“Sayang tak ada kecap,” Dandi mengguman setengah bermimpi.
“Aku ada garam.” Yadi yang sejak tadi diam mengeluarkan kotak korek apinya. Kotak itu masih terisi setengahnya dengan garam tumbuk. “Ini akan jadi makan besar kita yang pertama.”
Mereka menyiangi burung raksasa itu dengan cekatan seperti sekawanan pemburu kawakan. Mengeratnya kecil-kecil. Daging predator itu ternyata hitam kemerahan. Kedua tulang kakinya pendek dan besar, kokoh. Jelaslah burung itu menumpukan seluruh hidupnya pada kedua cakar maut di kedua ujung kakinya yang kokoh itu.
Salimi menggali sebuah lubang kecil. Meninggikan kedua sisi lubang dengan tanah. Ia menumpukkan jerami banyak-banyak ke dasar lubang. Yadi memantik-mantik batu belerangnya. Tak lama kemudian api berkobar di dasar lubang. Arhan mematahkan ranting-ranting jambu klotok yang telah meranggas.
Mereka duduk santai mengelilingi api unggun itu sambil membolak-balik tusuk panggangan masing-masing. Tangan-tangan kurus itu gemetar seiring denyut ria kegembiraan yang menjalari urat-urat nadi mereka. Setelah berhari-hari keluyuran, inilah makanan pertama sebenarnya yang mereka dapatkan dari alam. Langsung jatuh dari langit Tuhan.
“Kau ikut ke rumah H. Jali tadi malam?” Yadi menanyai Salimi.
“Dia asyik di rumah anak yatim!” Dandi nyeletuk.
“Kalau aku sudah tahu bahwa rumah itu kosong,” Arhan menyombong, “ada orang lain yang datang lebih dulu. Itu seperti kejadian di rumah Juragan Kambing. Kita keduluan orang lain. Hanya dtinggali sarang laba-laba dan tahi cicak!”
“Siapa sih yang menjarah duluan itu?”
“Pak Alga, guru olahraga itu bilang, penjarahan itu hanya main-main. Habis tak ada barang yang rusak. Pintu dan jendela juga utuh. Hanya ada pecahan piring dan lampu petromak di dapur. Kotak-kotak rokok masih tersusun rapi di langkan jendela. Yang mengamuk itu yang datang belakangan. Orang-orang kita yang marah karena tak kebagian barang. Untunglah Pak Alga sempat mengamankan sebuah tanduk menjangan dari ruang depan. Kalau tidak dia juga pulang dengan tangan hampa.”
“Kenapa ya kita selalu dibodohi orang?” Yadi bertanya seperti merenung.
“Kita? Situ yang bodoh! Kita sih baik-baik saja,” Salimi menukas cepat.
“Bodoh? Siapa bialng? Otak kita encer kok. Lihat tuh, sampai berleleran begitu!” Arhan memberi isyarat dengan mulutnya. Rupanya congek Yadi berleleran lagi. Tawa mereka pecah seketika. Yadi mengorek kupingnya, “nih kalau kamu mau!”
Anak-anak itu berlarian menyelamatkan diri masing-masing. Yadi mengejar. Tapi tidak ngotot. Ia tertinggal jauh di belakang. Mereka menunggu sebentar, begitu Yadi mendekat mereka lari lagi. Yadi tidak meneruskan mengejar. Ia tahu batas ketahanan kawan-kawannya itu. Beberapa potong daging elang tidak akan cukup untuk memompakan tenaga pada anak-anak kering kerontang itu.
Namun benar, itulah kali pertama mereka menyantap lauk, setelah empat hari ini hanya makan umbut dan pucuk-pucukan. Selama itu pula mereka tidak pulang ke rumah. Sebab keadaan rumah jauh lebih menyedihkan. Orangtua yang bertenggar, adik-adik yang berebut hal-hal sepele, caci-maki, bentakan, dan tempelengan yang tak terelakkan, hujatan terhadap satu sama lain. Tak seperti yang banyak diceramahkan orang, musibah, kemiskinan, dan kelaparan akut itu bukannya mendatangkan hikmah atau kearifan. Malah makin menjerumuskan mereka ke dalam jurang fatalisme dan kepahitan. Sikap sinis berkepanjangan.
Masyarakat Kalahan bukanlah tipe orang yang suka bermenung, berpikir keras, kecuali untuk urusan judi dan sabung ayam. Dalam urusan memetik pelajaran dan kebijakan, tak bisa tidak, otak mereka selalu mampat disesaki hal-hal yang lebih praktis; bagaimana cara mendapatkan uang dan menggunakannya untuk kesenangan.
Sepanjang sejarahnya mereka mengulang pola-pola hidup yang sama, jargon-jargon serupa, dan teknik-teknik yang tak pernah berubah. Mereka suka menyebut-nyebut kebijakan para pendahulu, namun tak tahu mesti bagaimana menyikapi kebijakan itu. Mereka sangat bangga kalau punya garis keturunan dari orang-orang terpandang, namun keadaan mereka sendiri sangat mengenaskan. Mereka senang dan merasa lega bila sudah saling bertukar keluhan, bisa mengungkap aib dan skandal, jadi pelopor dalam menciptakan intrik baru dan persekongkolan.
Hidup di Kalahan bukanlah hidup yang ideal. Bukan jenis kehidupan yang bisa membuat iri manusia normal. Walau begitu mereka sangat mencintai sepotong tanah yang terasing dan ganjil itu. Sejauh yang dapat diingat, belum pernah terjadi tutus keturunan Kalahan bisa berlama-lama di perantauan. Betapun kecewa dan beratnya aib yang membuat mereka harus meninggalkan tanah kelahiran, ujung-ujungnya pasti akan kembali ke kampung halaman.
Begitu pula mereka yang menemukan jodoh di tempat lain, lelaki atau perempuan, lambat laun akan pulang juga, walau dalam usia yang sudah senja. Bahkan orang-orang yang coba mencari peruntungan lain ini, sering pulang dalam keadaan miskin dan mengenaskan. Lebih payah dari warga di kampung asal. Mereka mesti merintis kehidupan baru dari awal. Tertinggal jauh dari orang-orang muda yang sudah punya rumah dan ladang garapan.
Ada juga yang berusaha sekolah lebih tinggi, seperti Pak Alga, namun reputasinya tak pernah diakui. Tak lebih dihargai dari seorang pembual. Atau Wak Gamak yang tamat SLTA, ujung-ujungnya juga menyerah dengan keadaan. Terjebak dan tenggelam dalam kungkungan cita-cita lokal dan kejumudan khas Kalahan.
Lima remaja tanggung itu akhirnya bergelimpangan di bawah sebatang pohon galam besar. Sekitar mereka berserakan tahi burung dan tulang belulang tikus. Pohon galam itu sudah tegak di sana jauh sebelum mereka lahir. Kini batangnya sudah dua kali pelukan orang dewasa lebih. Cabang-cabangnya menjulur puluhan meter ke segala penjuru. Membentuk kanopi alam di tengah sengangar udara yang membakar. Bila angin bertiup seperti sekarang, akan terdengar gemuruh teredam yang berkepanjangan. Seakan puluhan makhluk gaib sedang memukul tambur secara bersamaan dari sebuah padang tak kelihatan.
Pohon hutan itu tumbuh menyendiri jauh di tengah persawahan, jadi suaka dari banyak burung, ular, bahkan monyet. Ia telah melintasi beberapa angkatan generasi di Kalahan. Jejak-jejak orang terdahulu itu masih terlihat pada bekas tali ayunan yang jauh berada di atas ketinggian. Tali rotan yang membelit batang, ada juga beberapa pakaian lapuk terpaku pada bonggol-bonggol batang yang kini juga makin jauh dari permukaan sawah. Dua meter dari pohon, terdapat enam tiang ulin yang telah jadi arang, bekas pondok peristirahatan orang berladang.
“Kita tidur saja di sini,” Dandi mengusulkan, “siapa tahu malam ini ada makanan tersasar.”
Yang lain saling berpandangan. Pohon itu sedikit angker, seperti sering diceritakan. Roh seorang gila yang diasingkan puluhan tahun silam masih gentayangan. Pada malam-malam sunyi, tangis lirihnya sering terbawa angin ke perkampungan. Roh nenek gila itu protes kenapa di Kalahan tak ada lagi belas kasihan. Kenapa orang-orang membiarkan ia mati perlahan dalam pasungan. Dalam pengabaian yang sungguh tak pernah terbayangkan.
Tiga puluh tahun lalu, Mak Iyang dipasung dan dibuang ke tengah-tengah ladang. Ia menderita penyakit otak yang aneh dan telah membakar dua buah rumah warga. Lalu mereka memasungnya dengan tali rotan ke pohon galam. Membiarkannya membusuk sendirian sampai tinggal tulang belulang. Maka pohon raksasa ini adalah pohon yang selalu dihindari kalau orang pergi ke ladang. Pohon angker yang terus menghantui nurani orang-orang Kalahan.
“Aku sih mau saja,” Arhan melepas baju, “daripada di rumah kena hajar lagi.” Dia punya ayah tiri yang ringan tangan.
“Kita tunggu Yadi. Kalau dia mau, kita menginap. Aku yakin setan manapun pasti tak kuat dengan bau congeknya!” Salimi mengusulkan. Anak itu berkacak pinggang memandang alam yang kini menghitam. Seluruh area di sana telah terbakar. Abu hitam jerami menutupi permukaan tanah setebal tilam. “Kalau angin tutus datang, habislah kita.”
“Kata nenekku, abu jerami yang diterbangkan angin tutus bagus untuk jimat usaha,” Dandi menirukan seseorang yang sedang menangkap benda di udara, “H. Jali dan Juragan Kambing punya jimat itu.”
“Bagaimana cara menangkapnya?” Kejar Salimi.
“Itulah yang ingin aku ketahui oon!”
Anak-anak itu tertawa karena Dandi berhasil mengerjai Salimi.
Yadi datang diam-diam. Duduk menyendiri agak jauh. Mereka pura-pura tidak melihat.
“Ayolah neng, jangan merajuk begitu. Nanti jadi sapi ompong.” Dandi melemparnya dengan sebuah ranting kering.
Menjelang senja anak-anak itu telah selesai membersihkan sedikit area di sebelah utara pohon. Mereka memperkirakan angin tetap akan datang dari arah selatan. Sehingga mereka bisa terlindung dari semburan dingin embun. Ini kali pertama mereka tidur di tempat terbuka. Beberapa hari sebelum ini mereka selalu tidur dalam sumur atau bantaran sungai.
Matahari mengambang merah di balik tirai asap. Angin semilir berhembus menggemakan gemuruh pelan dari daun-daun galam yang saling bergesekan. Membuai senja yang permai itu dalam nina bobo alam yang penuh elegi.
Ada kontras yang sulit diterjemahkan dengan kata-kata, ketika senja yang damai itu dipersandingkan dengan gersang alam, ketika suasana syahdu itu disuguhkan kepada anak-anak yang sedang kelaparan. Seakan semua itu adalah cerminan azali dari situasi hubungan batin yang ganjil antara warga Kalahan dengan tanah kelahiran mereka. Situasi yang dari generasi ke generasi tak kunjung terpahami.
Seperti kata Umbuy Iruk, orang Kalahan seakan telah dikutuk untuk mencintai tanah kelahirannya, bahkan jauh melebihi hidup mereka sendiri. Mereka rela mengarungi intrik dan perselisihan, sengketa dan iri dengki, pancaroba, banjir dan wabah, dan sekarang potensi kemusnahan yang semakin dekat di depan mata. Dan tak seorangpun yang berniat lari menghindar. Semua nestapa malapetaka itu tak pernah membuat mereka jera atau sakit hati berkepanjangan. Mereka masih tetap saja di sini. Bergulat dengan ganasnya alam dan sisi paling gelap dari watak manusia: kebodohan yang abai.
Setiap hancur, mereka selalu bisa bangkit dengan cara yang ganjil dan sulit dipahami akal. Berikhtiar menata kembali kehidupan mereka yang dulu dengan gamang sekaligus penuh pengharapan. Orang-orang yang pernah disakiti, mereka yang pernah mengecap manis hidup di rantau, atau mereka yang telah betul-betul kehilangan pengharapan nun di suatu tempat entah di mana, pastilah di ujung permenungannnya akan teringat lagi pada Kalahan. Merindukan lagi suasana hidup seperti yang dulu mereka jalani di Kalahan. Dengan cara yang sulit dicerna inilah kehidupan di Kalahan berevolusi, merayap pelan seperti seekor siput. Meninggalkan jejak lendir sepanjang lintasan jalannya yang lamban.
Ketika kampung-kampung di sekitarnya berkemas dalam gegas, menyesuaikan diri dengan keadaan, latah mengutip sana-sini, membuka diri dan menyambut riang segala bentuk perubahan zaman, Kalahan tetap bersikap tenang. Seperti seorang tuli yang tak mendengar desingan peluru berseliweran di sekitar kepalanya. Bahkan senyum-senyum saja ketika semua orang panik berhamburan menyelamatkan diri.
Kebiasaan masyarakatnya tetap yang itu-itu saja dari waktu ke waktu. Tak ada variasi, seperti jalan di tempat, jumud dan dekaden seperti awal penciptaan alam. Namun justru itu yang banyak dicari-cari orang, dikangeni para diasporanya, dikenang-kenang para sesepuhnya, dan dalam banyak hal, mudah untuk dijadikan tumbal. Kalahan menjadi eksotis dengan segala elegi kedunguannya.
Hidup di Kalahan seperti tinggal di sebuah tempat yang dikepung penghujan; tentram, terasing, penuh privasi. Tak banyak tuntutan. Karakter warganya angin-anginan, labil, pandir, dan cepat pudar. Mereka gampang memuja-muja, tapi gampang pula melindasnya. Mudah dibujuk, mudah pula ngambek dan merajuk. Secara keseluruhan gambaran tentang watak manusia Kalahan bisa disejajarkan dengan hakikat segala kefanaan alam. Sikap serba gampangan inilah yang selalu dimanfaatkan pihak luar untuk buang sial, menjadikan mereka sebagai kuda hitam, atau sekedar menjadikan mereka sebagai bahan mainan dan percobaan.
Maka dalam dua bulan ini saja, tanpa sepengetahuan warga, empat belas partai politik telah mengklaim punya ranting kepengurusan di Kalahan, lengkap dengan susunan kepengurusan, alamat, bahkan kartu tanda anggota fiktif. Mungkin mereka yang mendidirikan ranting-ranting partai ini benar-benar beranggapan bahwa entitas yang bernama Kalahan itu sungguh tak ada. Jadi mereka bebas menyebut dan menamainya apa saja sesuka hati.
Malam itu, ketika lima remaja tanggung tersebut tidur saling bertumpukan berbantal akar galam, di bagian lain sudut perkampungan berkelebatan bayangan-baynagan hitam. Mereka bergerak ringan layaknya kapas. Dalam cadar kabut tengah malam, orang-orang itu kemudian berpencar. Sunyi senyap dan gelap gulita. Tak ada pelita, apalagi lampu listrik. Bulan kuning berlayar sendiri dalam kesepian antariksa yang mencekam. Hanya suara tangir dan jangkrik masih saling berbisik, membacakan hikayat sunyi abadi kampung yang sedang tidur lelap itu.
Kemudian api berkobar di tiga tempat yang saling berjauhan; rumah H.Jali, rumah Juragan Kambing, dan sebuah pondok terpencil di tikungan jalan. Dalam pekat embun dan kabut, api menjalar perlahan tanpa menimbulkan keributan. Tanpa gemuruh, tanpa suara gemerutuk, tanpa hembusan angin. Tidak seorang warga terjaga. Hanya tiga orang tampak bertengger di atas pagar sebuah rumah tua jauh di luar pemukiman. Sejam kemudian, tiga sosok itupun menghilang ke balik rimbun pohon ketapang.
Tak seorangpun terkejut dengan kejadian malam itu, karena mereka lebih dikejutkan dengan kematian seorang bayi yang baru berumur 11 bulan, putra Bu Tinah.
Sebelumnya Bu Tinah sudah punya eman mulut yang harus disuapi sebelum bayi itu lahir. Dia seorang perempuan tinggi besar dengan gigi kuning seperti seekor gorila. Kontras dengan suaminya yang berperawakan ramping, berkumis tipis, dengan wajah penuh bopeng bekas digerogoti cacar. Keduanya tak pernah akur dalam berbagai hal, kecuali kalau sedang bikin anak.
Nah, entah bagaimana caranya, suatu hari si bopeng bisa membawa pulang sekarung kecil pepaya mentah. Mereka dapat rezeki nomplok yang akan membuat iri banyak orang. Bu Tinah adalah orang yang berwawasan jauh ke depan. Ia membayangkan masa depan ketujuh anaknya yang tak menentu. Bagaimana supaya pepaya itu paling tidak cukup buat cadangan makan seminggu.
Lalu ia memutuskan untuk membuat asinan. Ia memotong kecil-kecil pepaya, merendamnya dengan air garam dalam tujuh kaleng kaca berbeda. Kaleng-kaleng itu ia jajarkan sesuai ukuran dan deretan hari. Makin ke ujung makin kecil. Tiap pagi dan malam, anak-anak itu berbaris rapi dengan piring plastik kecil mereka. Maju satu persatu sesuai urutan usia. Yang paling besar paling dulu.
Masing-masing mendapat jatah sendokan sesuai porsi tubuhnya. Bu Tinah sudah menyiapkan sebilah kayu sebesar jempol kaki untuk menertibkan acara makan yang langka itu. Sementara si bopeng memperhatikan dari sebuah sudut dengan mata berkaca-kaca. Bukan karena terharu, tapi karena was-was, apakah wanita kejam itu akan memberinya sisa atau tidak. Sungguh sulit ditebak.
Pagi itu kebetulan semua orang bangun agak kesiangan, kecuali si bayi. Anak yang begitu bangun langsung kelaparan itu, berinisiatif mengambil jatah sarapannya sendiri. Ia sudah cukup belajar bagaimana cara membuka tutup kaleng itu dalam pengalamannya selama dua hari belakngan.
Begitu tutup berhasil dibuka, ia meraup makanan itu dengan rakus. Menelannya bulat-bulat karena belum punya cukup giguntuk mengunyah. Tak sampai dua menit, bayi itu tersedak hebat. Tenggorokannya tersumbat potongan-potongan asinan yang saling berjejalan. Ia menangis, tapi gagal mengeluarkan suara. Ia terus megap-megap beberapa saat sebelum akhirnya kehabisan udara di paru-parunya. Di kedua tangannya tergenggam erat beberapa potong besar asinan.