19 Mei 1985.
Hampir tidak terdengar teriakan sama sekali di sebuah desa. Pagi-pagi buta, seorang ibu rumah tangga hendak pergi ke pasar untuk berbelanja bahan makanan, tetapi begitu membuka pintu rumah, hal mengerikan telah menyambutnya secara mengejutkan. Puluhan mayat ditemukan tergeletak di sepanjang rel kereta, seolah hal itu sudah disiapkan sejak lama.
"Mama?" panggil Anyelir dari belakang.
Wanita paruh baya itu tersentak, lantas segera menutup pintu agar anaknya tidak melihat ke luar.
"Ya Tuhan ...."
"Ada apa, Ma?" tanya Anyelir khawatir.
Raut wajah wanita di depannya terlihat cemas. Bahkan keranjang sayur yang semula menggantung di lengannya kini terjatuh ke lantai. Perasaan Anyelir semakin tidak enak saat orang-orang di luar sana seperti menahan suaranya dengan kedua tangan.
"Bukan apa-apa, Sayang," ucap Mama sembari mengangkat tubuh kecil Anyelir.
Mulut wanita itu terus menggumamkan kata 'bukan apa-apa' berulang kali. Anyelir pun dibawa ke kamar dan dipaksa tidur menemani Dahlia. Awalnya dia terus merengek karena ingin ikut ibunya ke pasar, tetapi situasi yang sulit membuatnya harus pura-pura tidur.
Di sisi lain, sang suami mondar-mandir di depan pintu kamar anak-anak. Dia sedang menunggu istrinya keluar setelah menidurkan Anyelir.
Ceklek!
Suara seseorang mengunci pintu. Lelaki itu menatap sang istri, terlihat sosok yang begitu ia cintai baru saja mengembuskan napas lelah. Namun, sekarang bukan waktunya mengeluh.Â
"Sekar! Apa kamu tahu mayat-mayat di luar semuanya kena tembak? Rupanya mereka bukan penduduk desa kita, malahan—"
"Ssst! Mas Damar, tenang dulu! Kita bicara di ruang tamu saja, ya?" pinta Sekar yang disetujui oleh Damar.
Anyelir diam-diam mengintip dari lubang kunci. Ia tampak cemberut saat kedua orang tuanya berjalan menjauh. Anyelir lalu mengalihkan pandangan ke kalender. Hari ini adalah ulang tahun Anyelir dan Dahlia yang kelima. Mereka bahkan sengaja melingkari angka 20 di bulan Mei dengan tinta merah, tetapi hal-hal manis seperti tahun lalu mungkin tidak terjadi di tahun ini.
"Pasti ada alasannya," ujar Sekar.
"Saya juga berpikir demikian. Yang ditembak sampai mati begitu pasti punya salah sama yang bersangkutan." Damar meraih punggung tangan sang istri, kemudian mengecupnya penuh kasih. "Mengapa mayat-mayat itu diletakkan di depan rumah kita?"