Kapal kayu bercat putih itu mendarat di pantai. Kami, anak-anak Banda Neira, berebutan melihatnya. Suara derumnya terdengar dari jauh tapi kemudian perlahan mati, dan kapal oleng terseok menuju pantai yang berbentuk tanjung. Ada jembatan yang menghubungkan antara pantai dengan batas dimana kapal dapat berhenti Nampak dua orang laki-laki berdasi dan berwajah pucat turun dari kapal. Salah satunya berkacamata. Keduanya membawa koper yang nampak berat. Aku ingin mengintip isi koper itu, tetapi Hasan menarikku ke arah dua tuan. Yang muda tersenyum kepada kami, lalu bertanya dengan Bahasa Belanda
“Je weet wat de Dokter Tjipto thuis?”1
Hasan yang sedikit mengerti Bahasa Belanda, mengangguk dan menjawab “Ja”, lalu menunjuk ke arah rumah yang dimaksud. Tuan itu tersenyum dan mengusap kepala Hasan. Tetapi sebentar kemudian ada tiga orang laki-laki muda menghampiri mereka, saling bersalaman dan berbincang. Aku tahu dua dari tiga orang laki-laki itu adalah anak angkat Dokter Tjipto yang rumahnya tidak jauh dari pantai. Sementara yang satu lagi, aku tak mengenalnya. Setelah berbincang, tuan berkacamata tadi mengatakan sesuatu kepada juru mudi kapal, yang lalu bergegas kembali ke kapal meninggalkan mereka. Aku melihat masih banyak koper di dalam kapal. Mungkin mereka menitipkan kepada juru mudi itu untuk disimpan dulu di gudang pelabuhan. Banyak tuan-tuan tamu yang melakukannya. Setahuku mereka belum punya rumah di Neira, dan masih menumpang di tempat teman atau sanak saudara.
Kedua tuan tadi mengikuti laki-laki ketiga, sementara anak angkat Dokter Tjipto nampak pulang kembali ke rumahnya. Kami mengikuti mereka dari belakang. Kapal yang biasa mendarat di pantai Banda, adalah dari pulau-pulau di Maluku seperti Lei, Ay, dan Aru. Nampaknya kedua tuan ini tawanan Belanda. Wajah pucat mereka sama dengan tawanan-tawanan lainnya yang sering datang ke Neira. Pucatnya seperti kurang makan, atau kurang gizi. Di kemudian hari, aku mengetahui bahwa mereka berasal dari pulau Jawa dan ditawan di Boven Digul.
Aku berjalan melonjak-lonjak di belakang Hasan. Usia kami tak terpaut jauh, aku berumur 6 tahun sedangkan Hasan 10 tahun. Hasan Assegaf adalah peranakan Arab Banda. Ayahnya seorang petani mutiara dan kabarnya saking beradanya, dia membayarkan pajak setiap orang Banda. Sebenarnya ada satu lagi teman kami. Abdullah Ulupitu, berusia 9 tahun, anak keturunan orang kaya Banda. Orang kaya Banda bukan berarti berada atau berkecukupan, tetapi orang Banda yang berjuang mempertahankan Banda dari monopoli perdagangan Pala Belanda. Mereka teman-temanku. Orang tuanya tak pernah melarang mereka bermain denganku, walau hanya sedikit darah Banda di nadiku. Mamaku berdarah Portugal, dan Papaku peranakan Cina Banda Ambon.
“Stefani Leihitu, ayo pulang. Kau sudah terlalu lama bermain.”
Dalam perjalanan mengikuti tuan-tuan itu, kami melewati rumahku di Kampung Cina. Mama ada di beranda rumah dan demi melihatku berada di ujung barisan anak-anak yang mengikuti orang tak dikenal, ia memanggilku. Mama selalu memanggilku dengan nama lengkap bila ingin menunjukkan ketegasannya. Aku memang suka berkeliaran di pulau ini. Banda pulau yang amat indah dan bagi anak-anak seperti kami, Banda adalah surga yang sebenar-benarnya. Di sekolah minggu, Pastor Timotius selalu bercerita tentang surga. Bahwa orang baik bila meninggal akan masuk surga. Setiap perinciannya, selalu dapat kutemukan di Banda. Di akhir cerita aku selalu menunjukkan tangan, dan bertanya kepada pastor,
”Bukankan Banda sudah seperti surga? Lalu kemana lagi kami harus pergi?”
Mama yang menungguiku di luar kelas dan melihatku melalui jendela, meletakkan telunjuknya di bibir. Menyuruhku diam. Bagiku, Banda memang seperti surga. Semua tentangnya selalu kusuka. Pasir putih, laut biru tenang kadang berombak, udara segar, langit biru bersih dengan awan bergumpal gumpal putih. Bila senja datang, cahaya matahari indah sekali tersorot diantara gumpalan awan itu. Kuning temaram. Demikian pula di pagi hari. Di kamarku ada jendela besar, dimana aku selalu terbangun karena hangatnya sinar matahari, kicauan burung, dan debur ombak di laut. Di Banda, aku berenang, berjalan ke hutan, dan membangun istana pasir di pantai, semua kulakukan bersama Hasan. Hasan sering mencelaku saat mendengar aku bangun karena sinar matahari.
“Seharusnya kau bangun sebelum matahari terbit.”
“Mengapa? Aku masih mengantuk pada saat seperti itu.”
“Karena kita harus berdoa.”
Aku menggeleng. Mama memang pernah berkata bahwa dia berdoa setelah bangun tidur pukul 5 pagi. Tapi mama bangun sepagi itu untuk menyiapkan sarapanku dan papa. Bukan karena khusus berdoa.