Siang sangat panas. Murid-murid terkantuk-kantuk mengerjakan soal. Pendingin udara jelas tak mampu menahan serbuan hawa panas yang mendidihkan ruangan. Suara spidol hitam berdecit menggores papan tulis putih, memecah kesunyian kelas. Pelajaran Fisika pukul tiga siang, memanaskan otak tapi tak mampu membuat mata terbuka. Sheila menguap panjang sambil mengetuk-ketukan ujung pensil di pelupuk mata. Seandainya dia bisa mengganjal si pelupuk yang terus menurun. Sesaat kesadarannya hilang, tetapi lalu kembali datang. Hilang lagi dan tiba-tiba kembali datang tanpa pernah pergi lagi saat mendengar suara kaca pecah. Tepat di jendela dekat kursi.
PRANG!!!
Kembali suara kaca pecah. Kali ini jendela di dinding belakang ruangan. Kelas ini berbentuk segi empat dengan beberapa jendela kaca berjajar rapi di dinding samping dan belakang ruang. Nampak bulatan besar dengan beberapa retakan di pinggirnya. Di dekat kaki Sheila ada batu sebesar kepala bayi tergeletak. Dia jadi ingat jendela kaca kereta api komuter yang dinaikinya bila akan ke sekolah. Penuh dengan retakan dan lubang kecil karena lemparan kerikil dan batu. Akibat ulah orang iseng yang tak mau tahu perbuatannya bisa melukai penumpang. Tapi retakan di kaca kereta waktu itu tak sesempurna lubang bulat di jendela kelasnya. Walau begitu sangat jelas bahwa pelempar ruang kelas ini juga orang tak bertanggung jawab. Bu Kinari melongok ke luar jendela. Guru Sheila ini tidak berkomentar apa-apa saat melihat segerombolan anak SMA berkacak pinggang dan berteriak-teriak.
“Woy, tutup aja nih bimbel. Nggak becus ngelulusin murid. Cih! “
Seorang anak laki-laki berkacamata, salah satu murid bimbingan Bu Kinari yang biasanya santun, kali ini nampak luar biasa berandalan. Bajunya kusut terbuka kancingnya. Matanya merah dibalik kacamata tebal. Suaranya serak seperti hendak menangis. Sementara teman-temannya mengiringi dengan meneriakkan kata “huuuu” sambil mengacungkan jempol ke bawah. Ada juga yang berjingkrak-jingkrak sambil menunggingkan pantat ke arah jendela kelas. Begitu tahu ada yang melihatnya, tambah demonstratif kelakuannya. Satpam mulai membubarkan gerombolan anarkis itu. Tetapi walau berbekal pentungan, dia tak berani sendirian. Diajaknya penjaga warung dan toko di kompleks ruko yang merupakan sohib kentalnya di waktu luang. Sekarang kondisi mulai memanas. Dua kelompok saling berhadapan. Kelompok bertahan membawa pentungan, selang air siap semprot dan tutup tong sampah sebagai tameng. Sementara kelompok penyerang melempar-lempar batu di tangan siap disambitkan ke lawan.
“Wooyy.. Bubaaaarrr.. Bubaaaarrr.. Gue panggilin polisi ntar.”
Satpam mengacungkan pentungnya ke arah gerombolan anarkis. Anak-anak yang diacungi pentungan saling memandang, lalu tertawa keras-keras. Sosok satpam itu begitu kerempeng, dan suaranya cempreng. Sama sekali tak menakutkan siapapun.
“Sono lapor. Emang gue pikirin?” teriak salah seorang pemuda tanggung berambut gimbal. Sebenarnya dia preman lokal yang tak ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu. Tapi karena bosan tak banyak pengunjung pasar yang bisa dipalak hari ini, maka dia ikut-ikutan. Siapa tahu dapat duit dari pemimpinnya. Tapi sesaat kemudian dia kabur karena satpam sudah tahu identitasnya.
“Emang gue nggak tau elu siapa, Mat. Pergi sono, jangan banyak bacot.“
Si anak santun segera maju menggantikan peran Mamat. Berusaha bicara dengan tenang sambil berdeham-deham menyembunyikan kegugupannya.
“Ehm.. Begini, Pak. Kami tak bermaksud.. ehm.. melanggar aturan. Cuma.. ehm.. bimbel ini harus ditutup.. ehm.. uhuk.. uhuukk. “
Si Santun terbatuk-batuk. Itu sifatnya yang asli. Tadi dia bisa berteriak garang karena terbakar emosi. Masa depannya suram karena tak lolos SBMPTN1. Dia merasa telah mengerjakan soal sesuai ajaran Bu Kinari. Tapi tak ada namanya di daftar penerimaan mahasiswa di koran hari ini. Santun kalut. Orang tuanya tak cukup uang untuk menguliahkannya di universitas swasta atau universitas negeri jalur mandiri. Biayanya sungguh mahal. Uang kursus bimbingan belajar ini pun hasil dari ayahnya menjual sepetak tanah di desa. Seorang anak perempuan berambut cepak dengan dandanan seksi, ikut maju ke depan. Dengan lagak penguasa, dia menunjuk-nunjuk satpam malang.
“Elu nggak usah ikut campur deh. Elu tahu siapa gue kan? Mau dipecat hari ini? “
Satpam cuma melirik. Tentu dia tahu anak gadis kepala polisi wilayah itu. Dia memang terkenal arogan, tapi tak didukung si ayah yang taat aturan. Satpam tak takut gertakan si gadis. Baru saja dia akan kembali berteriak membubarkan kerumunan, bahunya ditepuk dari belakang. Ternyata Bu Kinari.
“Biar saya saja, Pak Slamet. Mereka murid-murid saya.”
“Tapi, Bu.. “
Bu Kinari hanya tersenyum meyakinkan Pak Slamet. Satpam itu segera menyingkir, tetapi tetap waspada dengan pentungannya. Awas kalau ada yang berani macam-macam. Matanya melotot ke seluruh anak.
“Silahkan masuk kalau kalian mau bicara dengan saya.”
Si gadis seksi menjawab lantang, “untuk apa? Ini sudah jelas salahmu yang membuat kami tak bisa masuk PTN2.”
Bu Kinari menghela napas. Kekurangajaran gadis ini membuatnya menggelegak. Tapi dia masih berusaha bersikap dan bicara sewajar mungkin.
“Bila kalian tak mau, baiklah. Mungkin orang tua kalian yang bisa diajak bicara. Ibu akan undang mereka besok pagi. Nanti Ibu telepon orang tua kalian. Sekarang pulanglah.“
Kerumunan itu berisik sesaat. Saling menatap dan berdiskusi dengan teman sebelahnya. Tak lama kemudian mereka bubar. Sheila melihat gurunya masuk kembali ke gedung, tapi tak segera masuk kelas. Dia baru saja berniat untuk mencari Bu Kinari saat tiba-tiba yang bersangkutan muncul di pintu.
“Sampai dimana kita tadi?”
Tenang dan tak terusik sedikitpun karena keributan di luar. Beberapa murid menjawab topik perubahan massa menjadi energinya Einstein. Bu Kinari mulai menulis rumus di papan tulis dengan bersemangat. Murid-murid yang tadi ketakutan mulai kembali larut dalam pelajaran. Tak lama kemudian bel akhir pelajaran berbunyi nyaring. Sheila mendekati Bu Kinari, yang sedang memberesi bukunya.
“Ada apa, Sheila? Kamu ikut latihan soal kan Sabtu depan?”
“Ya, Bu. Saya ikut. “
Sheila terdiam sejenak.
“Ibu tidak takut menghadapi anak-anak itu?”
Bu Kinari tersenyum.
“Ibu sudah biasa, Sheila. Bukankah mereka juga murid-murid Ibu? Tak mungkin mereka menyakiti Ibu.”
“Tapi mereka sudah gelap mata, Bu. Mungkin saja bertindak anarkis. “