Sekolah rakyat ini benar-benar menyenangkan. Di depan kelas terdapat papan tulis berwarna hitam dan berkaki tiga. Aku duduk di deretan kursi paling depan, bersebelahan dengan Siti Nariyah, anak petani pala. Seperti Papa yang beraroma cengkih karena terbiasa berdekatan dengannya, Siti pun beraroma pala. Aku tak berkeberatan, karena bau itu khas Neira yang menyenangkan. Selain aku dan Siti, ada Abdullah dan Hasan yang duduk di baris kedua. Ada pula anak-anak Neira lainnya, yang aku tak hafal nama mereka. Dua anak perempuan dan dua anak laki-laki. Mungkin nanti kami bisa berkenalan.
Guru kami adalah Oom Sjahrir. Dia mulai mengajari kami Bahasa Belanda. Hasan yang sudah mahir berbahasa Belanda sering mengacungkan tangannya untuk menjawab pertanyaan guru. Oom Sjahrir nampak senang dengan keaktifan Hasan. Di ruang sebelah ada kelas dengan murid-murid yang lebih dewasa. Anak-anak angkat Dokter Tjipto ada di dalamnya. Pengajarnya Oom Hatta dan ia nampak serius. Tante Tjipto, istri Dokter Tjipto, juga ikut mengajar etika. Seminggu sekali dia juga mengajari kami masak-memasak. Abdullah menggampangkan pelajaran ini, karena menurutnya itu bukan tugas laki-laki. Ibunya langsung menjewernya begitu mendapat laporanku bahwa Abdullah tak mau mengikuti kelas memasak. Menurutnya, semua orang harus bisa memasak. Paling tidak untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Akhirnya Abdullah mau memasang celemek dan mengiris daun bawang.
Para pengajar kami ini mempunyai pembawaan yang berbeda. Oom Sjahrir bebas bergaul. Dia sangat dekat dengan para keturunan Eropa di Banda. Pencinta alam, sering berkeliling hutan dan pantai bersama anak-anak angkatnya. Oom Hatta sangat serius, jarang tertawa, disiplin terhadap waktu, tetapi pengobar semangat perjuangan yang tiada tara. Pernah pada suatu saat, Oom Hatta mengecat perahu dengan warna merah putih. Seorang polisi bertanya mengapa tak ada warna biru, seperti halnya pada bendera Belanda? Oom Hatta menjawab dengan cerdiknya. Bukankan warna laut sudah biru dan perahu itu akan berlayar di atas laut?
Papa yang merasa keahliannya sebagai guru tersaingi, sering mengujiku di rumah.
“Stefani, coba perkenalkan dirimu dalam Bahasa Belanda.”
“Hallo, Ik heet Stefani. Ik kom uit Banda Neira.”9
“Wat is je achternaam?”10
“Mijn naam is Leihitu.”11
“Welke taal sprekt u?”12
“Ik spreek Indonesisch. Ik ben Indonesische.”13
Papa bertepuk tangan, dan aku merasa seperti penyanyi utama di panggung opera. Membungkukkan diri sambil membentangkan gaun. Tapi itu belum selesai. Setelah itu Papa menanyaiku tentang sejarah dunia, ilmu bumi, dan rumus Phytagoras. Hampir semua dapat kujawab, kecuali pertanyaan apakah kambing termasuk herbivora atau carnivora?