
2.1: Langkah Hantu di Lorong Gelap
Malam telah larut sepenuhnya, membungkam setiap suara di lembah dengan selimut hitamnya yang pekat dan tanpa bintang. Rembulan yang seharusnya bertahta di langit malam, kini bersembunyi di balik gumpalan awan tebal yang bergerak lamban seperti kawanan raksasa pemalas. Cahayanya yang pucat hanya sesekali berhasil mengintip, menumpahkan seberkas perak tipis ke bumi sebelum kembali ditelan kegelapan, seolah sang dewi malam sendiri tak sudi menjadi saksi atas apa yang akan terjadi di tanah Tumapel. Udara terasa berat, lembap, dan dingin, membawa serta bau tanah basah sisa hujan sore tadi dan aroma ketakutan yang samar namun nyata. Bau itu seperti campuran napas cemas, kayu basah yang tak terbakar sempurna, dan keputusasaan yang mengendap di setiap sudut padukuhan.
Di antara bayang-bayang pepohonan jati yang meranggas di perbatasan padukuhan Jatiwangi, sembilan sosok bergerak nyaris tanpa suara. Mereka bukan lagi sekadar manusia yang berjalan di kegelapan. Mereka adalah bagian dari malam itu sendiri. Pergerakan mereka adalah studi tentang keheningan dan efisiensi, sebuah tarian mematikan yang telah dilatih berulang kali di lereng-lereng terjal Gunung Kawi. Langkah kaki mereka yang beralaskan kulit rusa yang lembut seringan hembusan angin, mendarat di atas daun-daun kering dan ranting rapuh tanpa menimbulkan gemerisik yang berarti. Napas mereka teratur dalam irama yang dalam dan tenang, sebuah disiplin yang diajarkan Tanca untuk memaksimalkan daya tahan dan meminimalkan suara. Mereka telah menjelma menjadi hantu-hantu malam, para penuntut keadilan yang tak kasat mata, perwujudan dari amarah gunung yang turun ke lembah.
Kain hitam yang ditenun dari serat kasar membalut separuh wajah mereka, menyembunyikan ekspresi dan hanya menyisakan sepasang mata. Namun mata-mata itulah yang paling mengerikan. Di bawah cahaya bulan yang sesekali bocor, mata mereka menyala dengan intensitas yang berbeda-beda. Mata Mahesa berkilat liar dengan api dendam yang terkendali. Mata para pejuang lainnya menunjukkan fokus yang dingin dan profesional. Dan mata Arok, yang berada di barisan paling depan, adalah gabungan dari semuanya: ketajaman elang, ketenangan danau di puncak gunung, dan kobaran api yang tersembunyi jauh di dalam.
Arok bergerak dengan insting yang terasah oleh alam liar. Setiap inderanya bekerja dengan ketajaman luar biasa, sebuah simfoni kesadaran yang sempurna. Matanya yang telah terbiasa dengan kegelapan mampu menangkap setiap gerakan daun yang tak wajar, setiap bayangan yang bergeser. Telinganya menyaring desis angin dari derap langkah anjing liar di kejauhan, membedakan suara jangkrik dari gesekan kain seorang penjaga yang gelisah. Kulit di wajahnya yang terbuka merasakan setiap perubahan suhu udara, mendeteksi aliran angin yang bisa membawa aroma atau suara mereka ke arah yang salah.
Perjalanan menuruni gunung tadi adalah ujian pertama. Mereka tidak mengambil jalan setapak yang biasa digunakan para pemburu atau pencari kayu bakar. Jalan itu terlalu mudah ditebak. Arok memimpin mereka melalui punggungan barat yang nyaris vertikal, sebuah jalur kambing gunung yang dianggap mustahil dilewati manusia di malam hari. Mereka merayap di tebing-tebing licin, berpegangan pada akar-akar pohon yang menonjol dan celah-celah batu, di mana satu kesalahan kecil berarti jatuh ke jurang yang menganga dalam kegelapan. Ujian ini bukan hanya untuk menguji fisik, tapi juga mental. Ia memperkuat ikatan di antara mereka, menempa kepercayaan mereka pada pemimpin dan pada rekan di samping mereka. Setiap genggaman tangan yang membantu, setiap bisikan yang memberi peringatan, adalah sumpah tanpa kata.
Saat mereka akhirnya mencapai perbatasan padukuhan, Arok mengangkat tangannya, sebuah gerakan lambat yang nyaris tak terlihat. Sembilan bayangan itu langsung membeku, menyatu dengan batang pohon, semak belukar, dan bayangan gubuk-gubuk terluar. Keheningan padukuhan Jatiwangi terasa aneh. Bukan keheningan damai dari sebuah desa yang tertidur lelap, melainkan keheningan yang tegang, yang sarat dengan ketakutan. Seekor anjing yang biasanya menyalak galak pada setiap orang asing, kini hanya meringkuk di bawah beranda, ekornya tersembunyi di antara kedua kakinya, seolah merasakan kehadiran kekuatan yang lebih besar dari sekadar manusia. Pintu-pintu dan jendela-jendela kayu tertutup rapat, dipasak dari dalam. Tak ada satu pun lampu minyak yang menyala di rumah-rumah penduduk, seolah mereka semua sepakat untuk membuat diri mereka tak terlihat, berharap kegelapan akan melindungi mereka dari para serigala yang sedang berpesta di jantung desa mereka.
Arok menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan debaran jantungnya sendiri. Ini bukan debaran karena takut, melainkan debaran karena antisipasi dan beban tanggung jawab yang luar biasa. Ia teringat kembali perdebatan panasnya dengan Mahesa dan nasihat bijak dari Tanca di bibir tebing tadi. Rencana ini, rencananya yang rumit dan penuh risiko, kini sedang diuji. Kegagalan tidak hanya berarti kematian bagi mereka, tetapi juga akan membawa malapetaka yang lebih besar bagi seluruh padukuhan yang ingin ia lindungi. Kemenangan, di sisi lain, akan menyalakan sebuah api. Api yang bisa memberikan kehangatan harapan, atau justru membakar segalanya jika ia salah mengendalikannya.
Ia melirik ke arah Mahesa yang berada paling dekat dengannya. Di balik kain penutupnya, Arok bisa melihat rahang pemuda itu mengeras. Amarahnya pada Ki Glondong atas apa yang menimpa paman istrinya masih membara. Arok tahu, ia harus menyalurkan amarah itu menjadi energi yang terfokus.
Dengan serangkaian isyarat tangan yang rumit—sebuah bahasa sunyi yang mereka kembangkan sendiri—Arok mulai membagi tugas. Dua orang diperintahkan untuk bergerak ke sisi timur, mengawasi satu-satunya jalan keluar dari padukuhan. Tugas mereka bukan untuk menghadang, tetapi untuk mengamati dan memberikan peringatan jika ada bantuan tak terduga yang datang dari arah Tumapel. Dua orang lainnya diperintahkan untuk memanjat pohon beringin besar di pusat desa, memberi mereka sudut pandang yang lebih luas untuk mengawasi pergerakan di seluruh area rumah demang.
Arok, Mahesa, dan tiga orang sisanya akan menjadi tim penyerbu utama. Mereka bergerak, bukan lagi merayap, tetapi mengalir seperti air di selokan yang gelap. Mereka memanfaatkan setiap bayangan, setiap sudut mati, setiap jeda dalam patroli penjaga yang malas. Mereka melewati gubuk-gubuk penduduk dengan senyap, dan dari celah-celah dinding bambu, Arok bisa mendengar suara tangis yang tertahan, atau bisikan doa yang putus asa. Setiap suara itu bagai cambuk bagi jiwanya, menguatkan keyakinannya bahwa apa yang mereka lakukan malam ini adalah benar dan perlu.
Akhirnya, mereka tiba di tujuan: sebuah halaman luas yang mengelilingi rumah Ki Demang Jatiwangi. Rumah itu adalah yang termegah di seluruh padukuhan, dibangun dari kayu jati pilihan dengan atap genting tanah liat yang mahal. Namun malam ini, kemegahan itu terasa seperti sebuah sangkar emas yang memenjarakan tuannya. Di pendapanya yang luas, beberapa obor yang ditancapkan di tiang-tiang kayu menyala redup, cahayanya yang berkedip-kedip menampakkan selusin sosok prajurit Tumapel yang tengah berjaga.
Mereka tidak tampak waspada sama sekali. Euforia setelah berhasil merampas hasil bumi dan perut yang kenyang oleh hidangan pesta membuat mereka lengah. Beberapa bersandar di tiang kayu sambil terkantuk-kantuk, kepala mereka terkulai di dada. Beberapa lainnya duduk bergerombol di lantai, bermain adu kemiri sambil bercengkerama dengan suara pelan dan sesekali tertawa pongah. Mereka membicarakan betapa pengecutnya penduduk desa, betapa mudahnya menakut-nakuti sang Demang, dan hadiah apa yang akan mereka dapatkan dari Ki Glondong sekembalinya ke Tumapel. Mereka merasa aman, terlindung oleh lapis baja nama besar Tunggul Ametung dan reputasi kekejaman mereka sendiri. Mereka tidak pernah menyangka bahwa bahaya yang sesungguhnya justru sedang merayap dari kegelapan yang mereka anggap sebagai sahabat setia.
Arok dan kelompoknya bersembunyi di balik pagar tanaman yang rimbun, mengamati dengan sabar. Ia mempelajari setiap detail: jumlah penjaga, posisi mereka, senjata yang mereka bawa, dan yang terpenting, ritme kelengahan mereka. Ia melihat seorang prajurit meninggalkan posnya untuk mengisi kendi minumnya. Ia melihat dua orang lainnya berjalan ke sudut yang lebih gelap untuk buang air kecil. Setiap detail kecil ini adalah celah dalam pertahanan mereka, sebuah lubang yang akan mereka manfaatkan.
Arok memberi isyarat pada Mahesa, menunjuk ke arah dua penjaga yang paling terisolasi di dekat gerbang belakang. Mahesa mengangguk singkat, matanya berkilat paham. Ini adalah keahliannya.
Arok kemudian menatap tiga orang lainnya. Tangannya bergerak cepat, menunjuk ke arah kelompok prajurit yang sedang berjudi, lalu menunjuk ke arah lumbung padi yang gelap. Pesannya jelas: lumpuhkan penjaga, amankan area lumbung.
Arok sendiri akan mengambil target yang paling sulit: penjaga yang berdiri paling dekat dengan pintu utama pendopo, yang tampak paling waspada di antara yang lain.
Ia menunggu. Bukan dengan cemas, tetapi dengan kesabaran seekor predator. Ia menunggu awan menutupi bulan sepenuhnya, menciptakan beberapa detik kegelapan absolut. Ia menunggu penjaga sasarannya menguap dan meregangkan badan, sebuah momen singkat di mana fokusnya terpecah.
Jantungnya berdetak kencang, memompa darah yang terasa dingin dan panas pada saat bersamaan. Di dalam benaknya, ia bisa melihat wajah-wajah orang yang menderita. Wajah Pak Suro, wajah Laras, wajah Ki Wiradadaha. Wajah-wajah itu bukan lagi sekadar kenangan, mereka adalah bahan bakar. Mereka adalah alasan mengapa ia berada di sini, di ambang pertarungan, siap mempertaruhkan segalanya.
Malam yang sunyi dan berat itu kini terasa bergetar oleh energi yang tertahan. Langkah-langkah para hantu telah berhenti di depan pintu neraka kecil ciptaan Ki Glondong. Mereka hanya menunggu satu isyarat, satu tanda, untuk melepaskan badai sunyi mereka. Dan Arok, sang pemimpin hantu, telah siap untuk memberikan tanda itu.
****
2.2: Benturan di Jantung Kezaliman
Di dalam rumah demang yang terasa pengap oleh ketakutan dan arogansi, suasana terasa lebih hangat namun tak kalah menekan. Ki Glondong Wisesa, sang kepala pemungut upeti dan tangan kanan kezaliman Akuwu Tunggul Ametung, duduk bersila dengan angkuh di atas sebuah amben besar yang dilapisi tikar pandan halus. Tubuhnya yang tambun, hasil dari rampasan dan perjamuan yang tak pernah putus, terbalut kain sutra dari pesisir utara yang berkilauan tertimpa cahaya obor. Wajahnya yang bulat dan kemerahan berkilat oleh keringat, entah karena panasnya ruangan atau karena terlalu banyak menyantap hidangan mewah yang tersaji di hadapannya di atas nampan-nampan perak kusam. Di sekelilingnya, tergeletak tulang-belulang ayam panggang, sisa-sisa ikan bakar, dan beberapa mangkuk tuak aren yang sudah kosong.
Di hadapannya, di lantai yang lebih rendah, Ki Demang Jatiwangi duduk menunduk dengan punggung yang gemetar. Ia adalah seorang pria yang usianya belum terlalu tua, namun beban jabatannya di bawah tekanan Tumapel telah mengukir lebih banyak kerutan di wajahnya dan menaburkan lebih banyak uban di rambutnya daripada yang seharusnya. Tangannya yang terkepal di atas pangkuan tak henti-hentinya bergetar, dan ia tak berani mengangkat wajahnya untuk menatap mata tamunya yang kejam itu.
“Jadi, hanya ini yang bisa kau sediakan, Demang?” suara Ki Glondong menggelegar rendah, berat, dan penuh cemoohan, memecah keheningan yang tegang. Ia menunjuk dengan dagunya yang berlipat ke arah tumpukan karung goni berisi gabah dan beberapa kantung kecil berisi kepingan uang tembaga yang tergeletak di sudut ruangan. Tumpukan itu tampak menyedihkan, tidak sepadan dengan citra Jatiwangi sebagai lumbung padi di masa lalu. “Setelah sekian purnama, hanya ini hasil dari tanah Jatiwangi yang konon subur ini? Apakah rakyatmu itu belajar dari cacing, menelan kembali padi yang mereka tanam?”
Ki Demang semakin menunduk hingga dahinya nyaris menyentuh lantai. Keringat dingin sebesar biji jagung membasahi pelipisnya dan mengalir turun ke lehernya. “Ampun, Ki Glondong. Beribu ampun. Sumpah mati di hadapan para dewa, hanya ini yang tersisa. Kemarau tahun lalu begitu panjang, Ki. Sungai mengering, banyak sawah yang gagal panen. Rakyat sudah memeras keringat menjadi darah, dan inilah yang bisa kami kumpulkan…”
“Cukup!” potong Ki Glondong dengan kasar, membanting sebuah mangkuk kosong ke lantai kayu, menimbulkan bunyi berdebam yang membuat Ki Demang tersentak kaget. Ia meraih sepotong paha ayam panggang yang masih tersisa dan menggigitnya dengan rakus, mengunyah dengan suara keras seolah ingin menunjukkan dominasinya. “Aku tidak butuh dongengmu, Demang. Cerita sedihmu itu simpan saja untuk menidurkan cucumu. Tugasku membawaku kemari bukan untuk mendengar keluhan, tapi untuk mengambil hak Sang Akuwu. Dan tugasmu hanya satu: memastikan perut lumbung Sang Akuwu di Tumapel selalu penuh. Jika kau tidak sanggup, masih banyak orang lain yang bersedia menggantikan kedudukanmu. Mungkin setelah merasakan beberapa kali sabetan rotan di punggungmu, seperti yang dialami si tua bangka Wiradadaha itu, ingatanmu tentang lumbung-lumbung tersembunyi akan kembali pulih.”
Wajah Ki Demang memucat pasi seperti kain kafan. Ancaman itu bukanlah gertakan sambal. Ia tahu betul betapa kejamnya tangan-tangan prajurit Tumapel jika sudah menerima perintah. Ia telah melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana para petani yang dianggap membangkang diseret dari rumah mereka dan dicambuk di alun-alun desa hingga pingsan. Menjadi demang di bawah kekuasaan Tunggul Ametung adalah pilihan antara menjadi palu yang memukul rakyatnya sendiri, atau menjadi landasan yang ikut hancur lebur.
Di luar, Arok yang menempelkan telinganya di celah dinding kayu mendengar semua percakapan itu. Setiap kata dari Ki Glondong bagai bara api yang disentuhkan ke kulitnya. Kepalan tangannya semakin mengeras hingga buku-buku jarinya memutih, dan ia harus menggigit bibir bawahnya untuk menahan geraman yang ingin keluar dari tenggorokannya. Amarah yang tadi sempat ia redam dengan nalar dan strategi kini mulai bergolak kembali, mengancam untuk meluap. Namun ia menahannya dengan sekuat tenaga. Waktunya belum tiba. Ia melirik ke arah bulan melalui celah dedaunan. Awan tebal yang telah ia tunggu-tunggu akhirnya bergerak menutupi sang rembulan sepenuhnya. Kegelapan total menyelimuti halaman itu selama beberapa saat.
Itulah saatnya.
Sepersekian kejapan mata kemudian, sebuah isyarat meluncur dari bibir Arok. Bukan siulan, kali ini terlalu berisiko. Hanya sebuah decak lidah yang sangat pelan, suara yang bisa dengan mudah disalahartikan sebagai suara tokek atau serangga malam. Namun bagi delapan orangnya, suara itu lebih jelas dari bunyi genderang perang.
Gerakan itu dimulai serentak, sebuah badai sunyi yang dilepaskan dalam harmoni yang sempurna. Mahesa, yang amarahnya kini telah ditempa menjadi fokus yang mematikan, melesat dari balik kegelapan laksana seekor macan kumbang yang menerkam mangsa. Tanpa suara, ia mendarat tepat di belakang dua prajurit yang tengah berbincang pongah di dekat gerbang. Sebelum mereka menyadari ada perubahan di udara sekitar mereka, dua pukulan cepat dengan sisi telapak tangan menghantam tengkuk kedua prajurit itu dengan presisi yang mengerikan. Bukan pukulan yang membunuh, melainkan pukulan yang mengincar simpul syaraf utama. Kedua prajurit itu bahkan tidak sempat berteriak, mata mereka hanya sempat terbelalak kaget sebelum kesadaran meninggalkan mereka. Tubuh mereka langsung lemas dan ambruk ke lantai seperti boneka kain.
Di sisi lain, tiga orang lainnya bergerak menyergap kelompok prajurit yang sedang asyik berjudi. Dengan gerakan yang terkoordinasi sempurna, mereka melompat dari bayang-bayang, satu orang membungkam mulut targetnya dengan telapak tangan yang dilapisi kain tebal sementara dua lainnya melumpuhkan dengan totokan cepat di ulu hati dan persendian. Dalam waktu kurang dari sepuluh hitungan napas, seluruh penjaga di pendapa telah dilumpuhkan, tergeletak tak berdaya laksana tumpukan karung kosong di antara biji-biji kemiri yang berserakan.
Di dalam, Ki Glondong Wisesa yang baru saja meneguk habis mangkuk tuak arennya yang terakhir, merasakan hawa yang aneh. Suara tawa dan obrolan para prajuritnya di luar tiba-tiba lenyap, digantikan oleh keheningan yang pekat dan tidak wajar. Ia mengerutkan keningnya yang berminyak. “Demang, suruh salah satu anjing penjaga itu masuk! Punggungku pegal! Aku butuh pijatan!” perintahnya dengan suara serak.