
3.1: Gema Kemenangan dan Bisik Keraguan
Fajar menyingsing di ufuk timur, sebuah proses yang berlangsung perlahan namun tak terelakkan. Ia mengoyak selubung malam yang tebal dengan jari-jemari cahayanya yang pucat, lalu perlahan melukis langit dengan warna-warna yang mustahil. Mega-mega di angkasa yang semula kelabu seperti arang yang padam, kini mulai tersipu-sipu dengan semburat lembayung dan jingga, sebelum akhirnya terbakar dalam cahaya keemasan yang agung. Embun pagi yang bening, menetes dari setiap helai daun dan ujung rerumputan, berkilauan laksana permata tak ternilai yang ditaburkan oleh para dewa di atas permadani hijau pegunungan. Kehidupan baru seolah dimulai, membawa serta napas segar yang dingin dan murni, membersihkan sisa-sisa ketegangan malam tadi dan mengisi paru-paru dengan harapan.
Di pelataran depan gua persembunyian mereka, yang tersembunyi di balik dinding batu dan jalinan akar purba, suasana terasa berbeda dari biasanya. Ada energi baru yang berdenyut di udara, sebuah getaran kemenangan yang nyaris bisa dirasakan secara fisik. Beberapa orang pengikut Arok, terutama yang berusia muda dan masih memiliki darah yang panas, tak bisa menyembunyikan binar kemenangan di mata mereka. Mereka berkumpul dalam kelompok-kelompok kecil, beberapa di dekat api unggun yang mulai padam, yang lain di bawah naungan pohon rindang, mengulang-ulang cerita tentang penyerbuan di Jatiwangi dengan penuh semangat dan bumbu-bumbu dramatis. Tawa mereka yang sebelumnya selalu tertahan oleh kewaspadaan, kini terdengar lebih renyah dan lepas, sebuah luapan sukacita yang telah lama terpendam di dasar jiwa mereka yang tertindas.
“Kalian seharusnya melihat wajah Ki Glondong saat Kakang Arok mematahkan goloknya!” seru seorang pemuda kurus namun lincah bernama Kertu. Ia adalah pencerita alami di antara mereka. Matanya berbinar-binar saat ia melompat berdiri, memperagakan kembali adegan itu dengan penuh semangat. Ia mengambil sepotong ranting kayu yang cukup tebal dan, dengan mengerahkan sekuat tenaga, mematahkannya di lututnya hingga berderak keras. “Wajahnya yang merah seperti kepiting rebus itu… prak!… langsung berubah menjadi seputih kapas! Aku bersumpah, aku melihat sedikit air menggenang di matanya yang serakah itu!”
Yang lain menyambutnya dengan tawa berderai yang menggema di antara bebatuan. Mereka semua bisa membayangkan adegan itu dengan jelas, sebuah pemandangan yang memberikan kepuasan luar biasa. Mahesa, yang menjadi salah satu pelaku utama dalam drama malam tadi, berdiri di tengah-tengah mereka dengan dada yang sengaja dibusungkan. Wajahnya berseri-seri oleh kebanggaan yang tak terselubung. Ia adalah seekor macan kumbang muda yang baru saja berhasil menerkam mangsa besarnya yang pertama, dan ia ingin seluruh hutan mengetahuinya. Ia menikmati setiap tatapan kagum dan pujian yang dialamatkan padanya.
“Itu belum seberapa,” sahut Mahesa dengan nada pongah yang dibuat-buat santai, sambil menerima sebuah tempurung kelapa berisi air jernih dari salah seorang rekannya. “Jika saja Kakang Arok memberiku isyarat, kepala tambun itu sudah menggelinding di lantai pendapa. Tapi Sang Kakang memiliki pertimbangannya sendiri, pertimbangan seorang senapati agung.” Ia mengatakannya seolah-olah ia adalah satu-satunya yang mengerti kedalaman strategi Arok, menempatkan dirinya sebagai letnan yang paling dekat dan paling paham.
Namun, ironisnya, di tengah keriuhan yang merayakan kepemimpinannya itu, Arok justru menyendiri. Ia memilih untuk menjauh dari kehangatan api dan gema kemenangan. Ia duduk bersila dengan punggung lurus di atas sebuah batu datar yang menjorok ke arah jurang, membelakangi kawan-kawannya. Posisi itu memberinya pemandangan tak terhalang ke arah cakrawala, menembus lautan kabut yang masih bergulung-gulung tebal di lembah di bawahnya. Wajahnya yang setajam pahatan batu itu tampak tenang laksana permukaan telaga di pagi buta. Namun di dalam dadanya, perasaannya bergemuruh laksana badai di tengah samudra.
Kemenangan semalam tidak memberinya kepuasan yang ia harapkan. Sebaliknya, ia meninggalkan sebuah endapan keresahan yang aneh dan dingin di dasar kalbunya. Ia telah menyalakan api, itu benar. Api harapan di hati rakyat Jatiwangi. Tapi ia juga menyalakan api lain, api kebanggaan dan nafsu di hati para pengikutnya. Dan ia sadar betul, api yang tak terkendali bisa berbalik membakar tuannya sendiri. Ia memutar ulang kejadian semalam di benaknya. Bukan adegan heroik saat ia mematahkan golok, tetapi momen-momen kecil yang lain. Getar ketakutan di tubuh Ki Demang. Mata para prajurit yang terbelalak ngeri sebelum pingsan. Dan yang paling mengganggunya, kilat kepuasan yang brutal di mata Mahesa saat melumpuhkan lawannya. Ia takut, sangat takut, bahwa mereka sedang menikmati kekerasan itu sendiri, bukan lagi sekadar sebagai alat untuk mencapai keadilan.
Tanca, yang sejak tadi mengamati semua itu dari mulut gua, melihat segalanya dengan kacamata kebijaksanaannya. Ia melihat keriuhan para pemuda, kebanggaan Mahesa, dan yang terpenting, keterasingan Arok. Dengan langkahnya yang mantap dan nyaris tak bersuara—sebuah kebiasaan yang menunjukkan kedalaman ilmunya—ia perlahan melangkah mendekati Arok. Ia tidak membawa aura penghakiman, hanya kehadiran yang tenang. Ia berhenti di samping Arok, ikut memandang hamparan kabut yang sama di bawah mereka.
“Langit yang indah pagi ini,” ucap Tanca, membuka percakapan dengan suara rendah dan serak. “Sebuah pertanda baik, mungkin. Para dewa tersenyum atas perjuangan kita.”
Arok tidak menoleh. Pandangannya tetap terpaku pada kabut yang bergerak perlahan, seolah mencari jawaban di sana. “Langit bisa menipu, Paman. Di balik keindahannya, ia bisa menyimpan badai yang dahsyat. Badai yang datang tanpa peringatan dan mampu menumbangkan pohon jati yang paling kokoh sekalipun.”
Tanca tersenyum tipis, sebuah senyum penuh pemahaman. “Sama seperti di dalam hati manusia, bukan? Di luar tampak tenang dan penuh kemenangan, di dalam bergolak tak menentu. Kau tidak tampak seperti seorang pemenang pagi ini, Arok. Beban apa yang masih kau pikul? Bukankah malam tadi adalah kemenangan murni? Kau berhasil mencapai semua tujuanmu tanpa menumpahkan darah.”
Arok menghela napas panjang, sebuah hembusan yang seolah melepaskan sebagian beban berat di dadanya, mengubahnya menjadi uap yang lenyap di udara pagi. “Aku mendengar tawa mereka, Paman,” katanya pelan, suaranya nyaris berbisik. “Aku melihat binar di mata mereka. Seharusnya aku bahagia. Tapi aku justru merasa resah. Aku khawatir, kemenangan kecil ini akan melahirkan keangkuhan. Mereka tidak lagi melihat penderitaan rakyat Jatiwangi sebagai alasan utama kita bergerak. Mereka mulai melihatnya sebagai panggung untuk kepahlawanan mereka. Mereka menikmati rasa takut di mata lawan, mereka menikmati rasa superioritas.”
Ia berhenti sejenak, matanya yang tajam kini meredup, menampakkan kerapuhan yang jarang ia tunjukkan. “Aku khawatir, niat awal kita yang suci untuk membebaskan rakyat akan tercemar oleh kesenangan menumpahkan darah dan mempermalukan lawan. Aku khawatir, tujuan akhir kita akan bergeser dari 'keadilan untuk semua' menjadi 'kekuasaan untuk kita'. Aku khawatir, kita hanya akan menjadi badai baru yang menggantikan badai yang lama, menghancurkan segalanya dengan alasan yang terdengar mulia.”
Hati Tanca tergetar mendengar kejujuran dan kedalaman pemikiran itu. Pemuda di hadapannya ini benar-benar istimewa. Ia tidak dibutakan oleh kemenangan. Justru kemenangan itulah yang membuatnya semakin waspada. Ia bukan sekadar seorang pemimpin gerombolan, melainkan seorang pemikir, seorang ahli siasat yang tidak hanya menimbang langkah berikutnya, tetapi juga seratus langkah setelahnya. Ia menimbang dampak setiap tindakan tidak hanya pada musuh, tetapi juga pada jiwa orang-orangnya sendiri.
“Kekhawatiranmu beralasan, Arok. Bahkan lebih dari sekadar beralasan, itu adalah kekhawatiran yang wajib dimiliki oleh setiap pemimpin sejati,” jawab Tanca dengan suara yang mantap. “Kekuasaan, bahkan dalam bentuk yang paling kecil sekalipun, adalah candu yang memabukkan. Ia lebih berbahaya dari tuak yang paling keras. Ia bisa meresap ke dalam tulang sumsum, mengubah niat paling suci menjadi nafsu paling keji. Kemenangan adalah pedang bermata dua. Satu sisi menebas musuh, sisi lainnya bisa tanpa sadar menebas nurani kita sendiri.”
Tanca meletakkan tangannya yang kokoh di bahu Arok. “Tapi justru karena kau memiliki kekhawatiran inilah, aku percaya padamu. Pemimpin yang berbahaya adalah mereka yang tidak pernah meragukan diri mereka sendiri. Tugasmulah sebagai pemimpin, sebagai penjaga api, untuk terus-menerus mengingatkan mereka, dan dirimu sendiri, tentang tujuan awal kita. Tugasmulah untuk menjaga agar api di dalam dada kita tetap menyala murni, membakar ketidakadilan, bukan membakar habis welas asih dan nurani kita sendiri. Dan itu adalah tugas yang jauh lebih berat daripada mengalahkan seratus prajurit Tumapel.”
Percakapan mendalam mereka tiba-tiba terpotong oleh suara Mahesa yang lantang, penuh semangat dan tanpa beban, memecah keheningan mereka. “Kakang Arok!”
Arok dan Tanca menoleh serempak. Mahesa berjalan ke arah mereka dengan langkah tegap, diikuti oleh Kertu dan beberapa pemuda lainnya yang menatap dengan penuh kekaguman. Api semangat masih menyala-nyala terang di mata mereka, sebuah kontras yang tajam dengan perbincangan muram yang baru saja terjadi. Gema kemenangan masih begitu kuat di telinga mereka, menulikan bisik-bisik keraguan yang menghantui pemimpin mereka.
***
3.2: Tarian Batu dan Angin
Mahesa mendekat dengan langkah tegap, sorot matanya yang berkilat-kilat mencerminkan api semangat yang belum padam sejak semalam. Di belakangnya, beberapa pemuda lain mengikuti seperti anak-anak ayam mengikuti induknya, wajah mereka penuh dengan kekaguman yang nyaris memuja. Mereka berhenti beberapa langkah dari Arok dan Tanca, namun energi mereka yang bergelora seolah menciptakan riak di udara pagi yang tenang.
“Kakang, kami semua mengakui kehebatanmu semalam. Tidak ada satu pun di antara kami yang meragukan kepemimpinanmu,” Mahesa memulai, suaranya lantang dan tulus. Ia menatap Arok dengan tatapan seorang murid yang haus ilmu. “Pukulanmu yang merontokkan golok Ki Glondong tanpa menyentuhnya sungguh luar biasa. Seperti petir yang menyambar dari langit cerah! Kami semua membicarakannya sepanjang pagi.”
Ia berhenti sejenak, mengambil napas, seolah mengumpulkan keberanian untuk permintaannya. “Tapi, justru karena itu, aku masih penasaran. Kami semua penasaran. Kami ingin menjajal sampai di mana sesungguhnya kedalaman ilmumu itu. Izinkan aku, sebagai wakil dari kawan-kawan semua, untuk menguji Ilmu Macan Kumbang-ku dengan ilmumu, Kakang.” Ia buru-buru menambahkan, menyadari kemungkinan permintaannya terdengar lancang. “Hanya sebuah latihan persahabatan, tentu saja! Bukan untuk mencari menang atau kalah, tapi untuk memacu semangat kami semua. Agar kami tahu sejauh mana kami harus berlatih untuk bisa sehebat dirimu.”
Permintaan itu menggantung di udara. Tanca mengerutkan keningnya, sedikit khawatir permintaan itu akan dianggap sebagai tantangan. Namun, Arok melihat lebih dari itu. Di balik nada yang sedikit pongah, ia melihat sorot mata Mahesa yang jujur, dipenuhi rasa ingin tahu yang murni, bukan sebuah tantangan yang dilandasi kesombongan atau iri hati. Ia melihat dirinya sendiri beberapa tahun yang lalu pada diri Mahesa: seorang pemuda yang bersemangat, penuh tenaga, dan selalu ingin membuktikan diri serta mengukur kemampuannya. Ia juga melihat sebuah kesempatan emas. Bukan untuk memamerkan kekuatan, tetapi untuk menanamkan sebuah pemahaman, sebuah piwulang (ajaran) yang tak akan bisa disampaikan hanya dengan kata-kata. Sebuah pelajaran yang harus dirasakan langsung melalui gerak tubuh dan benturan energi.
Arok bangkit dari duduknya. Gerakannya luwes dan tanpa usaha, seperti air yang mengalir ke atas. Sebuah senyum tipis, yang pertama kali terlihat tulus pagi itu, tersungging di bibirnya. “Permintaan yang bagus, Adi Mahesa,” jawab Arok, suaranya tenang dan bersahabat. “Sebuah pedang harus sesekali diadu dengan batu asah agar ketajamannya teruji. Baiklah, aku terima ajakanmu. Tapi seperti katamu, ini bukan pertarungan. Anggaplah ini sebuah tarian antara dua kekuatan yang berbeda. Tarian antara batu dan angin.”
Kabar tentang “latihan tanding” antara Arok dan Mahesa menyebar lebih cepat dari api di padang ilalang. Semua pengikut mereka, yang tua dan yang muda, segera menghentikan kegiatan mereka dan berkumpul di pelataran yang lebih luas, sebuah area datar yang dikelilingi bebatuan besar. Mereka membentuk lingkaran yang rapat, wajah mereka penuh antisipasi. Mereka semua ingin menyaksikan dua orang terkuat di antara mereka mengadu kepandaian. Ini bukan sekadar tontonan, tetapi juga sebuah kesempatan langka untuk belajar.
Mahesa melangkah ke tengah lingkaran lebih dulu. Dengan sebuah geraman rendah, ia mengambil posisi. Ia merendahkan tubuhnya, menekuk lututnya hingga hampir sejajar dengan tanah. Kuda-kudanya kokoh dan kuat, seolah kakinya telah berubah menjadi akar yang mencengkeram bumi. Kedua tangannya membentuk cakar macan yang siap menerkam, otot-otot di lengan dan bahunya menegang, menunjukkan kekuatan laten yang luar biasa. Dari seluruh sikapnya, terpancar aura serangan yang buas, agresif, dan tak kenal ampun. Ia adalah perwujudan dari seekor macan kumbang yang lapar.
Di seberangnya, Arok berdiri dengan sikap yang sangat kontras. Ia hanya berdiri tegak dengan santai, nyaris tanpa kuda-kuda. Kedua tangannya terkulai lemas di sisi tubuh, bahunya rileks, dan ekspresinya tenang. Tidak ada aura permusuhan, tidak ada ketegangan. Ia tampak seperti sebatang ilalang yang pasrah pada hembusan angin, atau seorang pertapa yang sedang bermeditasi. Bagi mata yang tak terlatih, ia tampak sama sekali tidak berbahaya, sebuah sasaran empuk.
Ketegangan di antara penonton begitu pekat hingga bisa dipotong dengan pisau. Mereka menahan napas.
“Bersiaplah, Kakang!” geram Mahesa, suaranya menggetarkan udara.