GENTA PARAHYANGAN: SENANDUNG DARAH DI ATAS TANAH TUMAPEL

Ahmada45
Chapter #4

BAB 004 : BAYANGAN DI MALAM BUTA


4.1: Keresahan di Puncak Kemenangan

Hari-hari berlalu di lereng Kawi laksana air yang mengalir tenang setelah badai kecil berlalu. Gema dari penyerbuan sunyi di Jatiwangi dan pertarungan persahabatan antara Arok dan Mahesa telah menorehkan perubahan yang dalam dan fundamental di antara para pengikutnya. Atmosfer di dalam gua persembunyian mereka tidak lagi hanya dipenuhi oleh amarah yang mentah dan dendam yang membara. Ada sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih terstruktur dan penuh harapan.

Semangat mereka yang semula liar dan hanya dilandasi oleh kebencian pribadi, kini mulai terbentuk, memiliki arah dan kedisiplinan yang jelas. Pagi tidak lagi hanya diisi dengan keluhan tentang nasib atau rencana-rencana kecil untuk mencegat patroli rendahan. Kini, pelataran depan gua telah berubah menjadi sebuah kawah candradimuka mini. Mereka berlatih dengan lebih tekun dan serius. Setiap gerakan tidak lagi dilandasi oleh keinginan untuk melampiaskan amarah, tetapi untuk menguasai diri. Mereka mulai mengerti, dari ajaran Arok, bahwa kekuatan terbesar bukanlah kemampuan untuk menghancurkan, melainkan kemampuan untuk mengendalikan.

Mahesa, yang egonya telah dihancurkan dan dibangun kembali di atas fondasi rasa hormat yang kokoh, mengalami transformasi yang paling drastis. Ia telah merasakan langsung kedalaman ilmu Arok yang seperti samudera tak bertepi. Ia kini menjadi muridnya yang paling patuh, menyerap setiap ajaran seperti tanah kering menyerap air hujan. Namun, ia juga menjadi pengawas latihan yang paling keras bagi kawan-kawannya. Ia tidak lagi mentolerir kemalasan atau gerakan yang setengah-setengah. "Kakang Arok mengalahkan kekuatan dengan kelembutan, bukan dengan kemalasan!" teriaknya pada seorang pemuda yang kuda-kudanya goyah. "Jika tubuhmu tidak sekeras batu, setidaknya pikiranmu harus selentur angin!" Kebanggaan lamanya yang pongah telah berganti menjadi tanggung jawab yang tulus untuk memastikan rekan-rekannya siap menghadapi apa pun.

Kelompok kecil yang tadinya hanyalah sekumpulan orang-orang yang tersingkir, kini mulai menyerupai sebuah pasukan kecil yang disiplin. Mereka belajar membaca jejak, menyusun strategi serangan, merawat luka, dan yang terpenting, mereka belajar untuk percaya satu sama lain sebagai sebuah kesatuan. Kemenangan di Jatiwangi telah membuktikan bahwa metode Arok berhasil. Harapan kini bukan lagi sekadar mimpi, tetapi sebuah kemungkinan nyata yang bisa mereka raih dengan tangan mereka sendiri.

Namun, di tengah suasana yang mulai tertata dan penuh optimisme itu, Arok justru semakin sering menyendiri. Ia seperti seorang nahkoda yang kapalnya berhasil selamat dari badai kecil, namun justru semakin cemas karena melihat cakrawala yang terlalu tenang, pertanda akan datangnya badai yang jauh lebih besar. Jiwanya yang tajam laksana bilah pedang pusaka merasakan sebuah kegelisahan yang tak terjelaskan, sebuah firasat yang merayap dingin di tulang punggungnya. Ia memang telah berhasil menyalakan sebuah obor di tengah kegelapan pekat yang menyelimuti Tumapel. Tetapi ia tahu betul, obor yang sama, yang memberikan cahaya dan harapan bagi para domba, juga akan menarik perhatian serigala-serigala yang jauh lebih buas dari sekadar Ki Glondong Wisesa.

Ki Glondong hanyalah seekor anjing penjaga yang gemuk dan malas. Kekalahannya mungkin akan membuat Tunggul Ametung murka sesaat, tetapi sang Akuwu pasti akan mengirim anjing pemburu yang lebih ramping, lebih cepat, dan lebih ganas. Mungkin seorang senapati perang yang telah kenyang pengalaman, atau mungkin pasukan khusus Bhayangkara yang reputasi kekejamannya melegenda. Arok merasa telah mencapai sebuah batas. Batas dari apa yang bisa ia capai dengan kekuatan gerombolannya yang kecil, batas dari perlawanan yang hanya berbasis di alam liar. Mereka bisa memenangkan pertarungan-pertarungan kecil di hutan dan lereng gunung, tetapi mereka tidak akan pernah bisa memenangkan perang yang sesungguhnya.

Setiap malam, ketika kawan-kawannya telah terlelap dalam tidurnya yang lelah setelah seharian berlatih, Arok akan duduk di bibir tebing kesukaannya. Matanya menatap kerlip lampu di lembah Tumapel yang membentang di bawahnya. Dari kejauhan, kerlip lampu itu tampak indah, seperti taburan bintang yang jatuh ke bumi. Tapi Arok tahu, di balik keindahan itu tersembunyi borok yang membusuk. Di sana ada istana yang megah, di mana pesta pora tak pernah berhenti. Di sana ada para bangsawan yang tertawa di atas penderitaan rakyat. Dan di sana, di pusat dari semua itu, bertahta Tunggul Ametung, sang sumber dari segala kesengsaraan.

Dan setiap kali ia menatap ke sana, hatinya terasa kian berat. Ia seperti seorang pengembara yang berhasil mendaki sebuah bukit dengan susah payah, hanya untuk melihat barisan pegunungan yang jauh lebih tinggi, lebih terjal, dan puncaknya tertutup awan mustahil menjulang di hadapannya. Perlawanannya saat ini hanyalah duri kecil yang menusuk telapak kaki sang raksasa. Mungkin menyakitkan sesaat, tapi sang raksasa hanya perlu mencabutnya dan menginjaknya hingga hancur. Untuk merobohkan raksasa itu, ia harus menemukan jantungnya. Ia harus menyerang titik vitalnya. Tapi di mana? Dan bagaimana caranya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, menjadi angin puyuh yang tak kunjung reda di dalam kepalanya. Haruskah ia terus melatih pasukannya hingga menjadi lebih besar dan lebih kuat, lalu melancarkan serangan terbuka? Itu adalah sebuah kegilaan. Mereka akan dihancurkan oleh kekuatan Tumapel yang jauh lebih superior sebelum mereka sempat mencapai gerbang kota. Haruskah ia terus melancarkan serangan gerilya, menakut-nakuti para pemungut upeti? Itu hanya akan membuat rakyat semakin menderita, karena istana pasti akan melampiaskan kemarahannya pada mereka.

Ia merasa terperangkap dalam strateginya sendiri. Ia merasa seperti seekor elang yang sayapnya cukup kuat untuk terbang tinggi, namun terikat pada sarangnya oleh tali yang tak terlihat. Tali itu adalah keterbatasannya, keterbatasan visinya. Keresahan itu membuatnya sulit tidur. Bayangan wajah-wajah rakyat yang penuh harapan di Jatiwangi kini menjadi beban yang menekan pundaknya. Ia telah berjanji pada mereka, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan. Dan ia merasa akan mengkhianati janji itu jika ia hanya terus berputar-putar di lereng gunung ini. Ia butuh jalan keluar. Sebuah terobosan. Sebuah pencerahan.

Malam itu, keresahannya mencapai puncaknya. Rembulan bersembunyi malu-malu di balik selimut awan kelabu, dan hanya bintang-bintang yang paling terang yang berani menatap bumi. Angin malam terasa lebih dingin dari biasanya, membawa serta aroma hutan yang pekat dan basah. Di dalam gua, dengkur halus kawan-kawannya menjadi satu-satunya suara. Arok tak lagi sanggup menahan gejolak di dalam dadanya. Ia merasa sesak, seolah dinding-dinding gua yang menjadi pelindungnya kini justru menghimpitnya.

Ia membutuhkan kesunyian yang mutlak. Bukan sekadar keheningan dari suara manusia, tetapi keheningan jiwa. Ia butuh berbicara pada satu-satunya guru yang selama ini ia kenal, guru yang telah mengajarinya cara bertahan hidup, cara bertarung, dan cara berpikir: alam itu sendiri. Ia harus kembali ke sumbernya, ke tempat di mana ia pertama kali menemukan kekuatannya.

Tanpa berkata pada siapapun, bahkan pada Tanca yang biasanya menjadi tempatnya berkeluh kesah, ia beranjak dari pembaringannya. Dengan gerakan yang lebih ringan dari bayangan, ia menyelinap melewati tubuh-tubuh yang tertidur. Ia seperti kabut yang bergerak tanpa bentuk, melewati penjaga malam yang terkantuk-kantuk di mulut gua tanpa terdeteksi. Ia menembus lebatnya hutan, menuju bagian gunung yang lebih tinggi, lebih liar, dan lebih keramat. Sebuah tempat yang bahkan oleh kawan-kawannya sendiri jarang didatangi karena dipenuhi cerita-cerita tentang penunggu gaib dan dianggap angker.

Baginya, tempat itu adalah tempat suci. Tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa harus menjadi seorang pemimpin atau pahlawan. Tempat di mana ia hanyalah Arok, seorang anak manusia yang sedang mencari jalan di tengah kegelapan dunia.

***

4.2: Suara di Kesunyian Keramat

Hutan di malam hari adalah sebuah dunia yang sama sekali berbeda, sebuah kerajaan yang hukumnya tidak ditulis oleh manusia. Di bawah cahaya rembulan yang tersaring oleh kanopi rapat, segala sesuatu berubah wujud. Pohon-pohon raksasa yang di siang hari tampak agung dan melindungi, kini menjulang laksana tiang-tiang penyangga langit yang hitam pekat. Dahan-dahannya yang meranggas dan dipenuhi sulur-sulur liar tampak seperti tangan-tangan kerangka raksasa yang kurus, mencoba menggapai bulan atau menangkap mangsa yang tak waspada. Suara jangkrik, tonggeret, dan ribuan serangga malam lainnya yang tak terlihat, bersahut-sahutan dalam irama yang konstan dan hipnotis, menciptakan sebuah orkestra alam yang agung sekaligus mencekam. Bagi orang biasa, hutan ini adalah labirin kematian, tempat di mana setiap bayangan bisa menyembunyikan bahaya dan setiap suara bisa menjadi pertanda akhir.

Namun bagi Arok, ini adalah rumahnya. Ini adalah rahim yang melahirkannya kembali setelah ia terusir dari dunia manusia. Ia mengenal setiap liku jalan setapak yang tersembunyi di balik semak belukar. Hidungnya mampu membedakan aroma bunga hutan yang mekar di malam hari dari bau tanah basah atau dedaunan yang lapuk. Telinganya mampu menyaring gemerisik seekor landak yang mencari makan dari desis seekor ular yang merayap di dahan. Kakinya, yang telah terbiasa berjalan tanpa alas, bisa merasakan getaran tanah yang menandakan kehadiran seekor babi hutan atau kijang dari kejauhan. Ia bergerak di dalam hutan ini bukan sebagai penyusup, melainkan sebagai bagian dari ekosistemnya, selaras dengan denyut nadinya yang purba.

Akan tetapi, malam ini terasa ada yang aneh. Sesuatu yang ganjil dan tidak pada tempatnya.

Semakin dalam ia masuk ke dalam hutan, mendaki lereng yang semakin terjal menuju area yang lebih keramat, semakin sunyi pula suasana di sekelilingnya. Orkestra serangga malam yang tadinya riuh rendah, perlahan-lahan lenyap. Satu per satu instrumen alam itu membungkam diri, digantikan oleh keheningan yang pekat dan berat. Ini bukan keheningan yang damai. Ini adalah keheningan yang penuh tekanan, seolah seluruh penghuni hutan sedang menahan napas secara bersamaan. Bahkan angin, yang biasanya selalu berdesir di antara dedaunan pinus, kini seolah berhenti, membeku di tempat.

Arok berhenti melangkah. Seluruh otot di tubuhnya menegang dalam kewaspadaan instingtif. Bulu kuduknya meremang, sebuah reaksi primal terhadap sesuatu yang tidak ia pahami. Ia memejamkan mata sejenak, memusatkan seluruh inderanya. Ia mencoba merasakan aliran energi di sekitarnya. Ini bukan kesunyian yang menandakan kehadiran predator seperti macan kumbang atau harimau. Kehadiran predator besar biasanya masih menyisakan getaran ketakutan yang agresif. Ini berbeda. Ini adalah kesunyian yang menandakan kehadiran sesuatu yang sangat besar, sesuatu yang membuat seluruh alam memilih untuk menunduk hormat, membungkam diri agar tidak dianggap lancang.

Arok adalah seorang petarung ulung. Naluri bahayanya telah terasah setajam silet oleh kerasnya kehidupan. Namun anehnya, di tengah keheningan yang menekan ini, ia tidak merasakan hawa permusuhan. Ia tidak merasakan aura membunuh atau niat jahat. Yang ia rasakan justru sebuah ketenangan yang luar biasa dahsyat. Sebuah kedamaian yang begitu agung dan murni hingga terasa menekan jiwanya yang sedang bergejolak. Rasanya seperti sebuah genderang besar yang dipukul di kejauhan, frekuensinya begitu rendah hingga tidak terdengar oleh telinga, namun getarannya mampu membuat seluruh tubuh beresonansi.

Lihat selengkapnya