GENTA PARAHYANGAN: SENANDUNG DARAH DI ATAS TANAH TUMAPEL

Ahmada45
Chapter #5

Bab 005: GEJOLAK BATIN SANG BURONAN


5.1: Gema di Ambang Fajar


Fajar belum lagi sempurna membasuh sisa-sisa malam yang paling pekat ketika Arok tiba kembali di mulut gua persembunyiannya. Udara masih terasa menggigit tulang, membawa serta aroma embun yang tajam dan keheningan yang khas dari jam-jam terakhir sebelum dunia terbangun. Namun, di dalam dirinya, suasana terasa sangat berbeda. Di dalam dadanya, api yang baru saja disulut oleh pertemuannya dengan Brahmana Lohgawe berkobar begitu panas, mengusir semua hawa dingin dan menyisakan gejolak yang membakar. Wajahnya yang biasanya setenang permukaan danau gunung, kini tampak lebih keras dari biasanya. Sepasang matanya yang tajam menyiratkan pergulatan batin yang begitu dahsyat, seolah di dalam dirinya tengah terjadi sebuah pertempuran sengit antara dua dunia yang sama sekali berbeda, antara takdir yang ia kenal dan takdir yang baru saja ditawarkan kepadanya.





Ia tidak langsung masuk ke dalam gua, tempat di mana kehangatan dari sisa api unggun dan napas kawan-kawannya berada. Sebaliknya, ia berhenti di pelataran, di titik di mana ia bisa melihat seluruh area perkemahan mereka yang sederhana. Ia berdiri dalam bayang-bayang sebuah batu besar, menjadi satu dengan kegelapan, memandangi kawan-kawannya yang masih terlelap dalam tidurnya yang polos dan penuh kepercayaan.





Pandangannya menyapu dari satu sosok ke sosok lainnya, mengenali mereka bahkan dalam bentuk siluet yang remang-remang. Ada Mahesa yang mendengkur keras, tubuhnya yang kekar meringkuk laksana seekor beruang yang sedang berhibernasi. Ada Kertu yang kurus, tidur sambil memeluk busurnya seolah itu adalah guling kesayangannya. Ada Tanca, yang bahkan dalam tidurnya pun tetap duduk bersila dengan punggung lurus, napasnya yang dalam dan teratur menandakan tingkat penguasaan diri yang tinggi. Dan ada puluhan wajah lain, wajah-wajah para petani, mantan prajurit, dan orang-orang terbuang yang telah menyerahkan nasib mereka ke tangannya. Wajah-wajah keras yang ditempa oleh penderitaan, namun menyimpan kesetiaan yang murni dan tanpa pamrih. Kesetiaan yang tidak dibeli dengan emas atau jabatan, tetapi lahir dari rasa hormat dan harapan bersama.





Tiba-tiba, sebuah sayatan perih yang tak terlihat terasa mengiris hatinya. Rasa sakit itu lebih tajam dari luka pedang manapun.





"Mematikan dirimu yang sekarang..."





Ucapan Brahmana Lohgawe kembali terngiang di telinganya, bukan lagi sebagai sebuah nasihat, melainkan sebagai sebuah vonis. Gema gaib itu tak mau pergi, terus berputar-putar di dalam benaknya. Apa artinya "mematikan diri"? Apakah itu berarti ia harus meninggalkan mereka semua? Meninggalkan orang-orang yang telah menjadi satu-satunya keluarga yang ia miliki? Orang-orang yang telah berbagi sepotong ubi bakar terakhir dengannya, yang telah merawat lukanya saat ia terjatuh, yang tawanya menjadi musik di tengah kesunyian hutan belantara ini?





Bagaimana ia bisa menjelaskan pada mereka? Bagaimana ia bisa menatap mata Mahesa yang penuh semangat dan berkata bahwa perjuangan yang selama ini mereka rintis bersama di lereng gunung ini, yang telah menjadi tujuan hidup mereka, ternyata hanyalah sebuah "jalan buntu"? Bagaimana ia bisa mengatakan pada mereka bahwa pahlawan yang mereka agung-agungkan akan segera pergi untuk menjadi "abdi" di istana musuh? Kata-kata itu terasa seperti racun di lidahnya bahkan sebelum ia mengucapkannya. Ia takut. Bukan takut akan bahaya di istana, tetapi takut akan tatapan mata mereka yang kecewa. Takut akan kehancuran kepercayaan yang telah ia bangun dengan susah payah.





Arok melangkah pelan, kakinya terasa berat seolah menginjak lumpur hisap. Ia berjalan menuju sebuah tungku api di tengah pelataran, yang apinya hampir padam, hanya menyisakan bara-bara merah yang berkedip-kedip lemah di antara tumpukan abu putih. Bara itu seperti mata iblis yang menatapnya dalam kegelapan, atau seperti sisa-sisa detak jantung dari sebuah perjuangan yang sekarat. Ia berjongkok, mengulurkan tangannya yang kapalan untuk merasakan kehangatan yang tersisa.





Bara api ini, pikirnya dalam hati, sama seperti perjuangan mereka. Tampak menyala, tampak memberikan kehangatan dan harapan di tengah malam yang dingin. Tapi ia rapuh. Jika tidak diberi kayu bakar yang baru, ia akan segera padam, ditelan oleh abu kelabu dari kekalahan dan keputusasaan. Dan kayu bakar itu, ia tahu sekarang, adalah sebuah rencana baru. Sebuah strategi yang radikal, menakutkan, dan menuntut pengorbanan yang tak terbayangkan. Dan untuk mendapatkan kayu bakar itu, untuk bisa menyusup ke jantung Tumapel, ia harus pergi. Sendiri.





Ia memejamkan mata, membayangkan dirinya berjalan sendirian di jalanan kota Tumapel. Tidak ada lagi Mahesa yang berjalan di sampingnya dengan kesetiaan yang buta. Tidak ada lagi Tanca di belakangnya yang siap memberikan nasihat bijak. Ia akan benar-benar sendirian, dikelilingi oleh musuh yang tersenyum. Perasaan sepi yang luar biasa tiba-tiba menyergapnya, lebih dingin dari udara pagi di puncak gunung. Selama ini, ia tidak pernah menyadari betapa ia bergantung pada kehadiran mereka, pada kekuatan yang mereka berikan padanya. Mereka adalah jangkar yang menjaga kewarasannya, yang mengingatkannya akan tujuan perjuangannya. Tanpa mereka, apakah ia akan tersesat? Apakah ia akan lupa siapa dirinya dan menjadi salah satu dari mereka?





Sebuah ranting kering berderak di dekatnya, memecah keheningan dan lamunannya.





"Kau sudah kembali."





Sebuah suara serak dan berat mengejutkannya. Arok membuka mata dan menoleh dengan cepat. Tanca telah terbangun dan kini berdiri di belakangnya, hanya beberapa langkah jauhnya. Pria tua itu tidak mengenakan baju, membiarkan dadanya yang bidang dan penuh bekas luka terpapar udara dingin. Matanya yang tajam dan berpengalaman menatapnya dengan penuh selidik, seolah mampu menembus kegelapan fajar dan membaca langsung ke dalam jiwa Arok. Tanca adalah orang yang paling peka di antara mereka semua. Ia bisa merasakan perubahan sekecil apapun pada diri Arok, dari ritme napasnya hingga ketegangan di pundaknya.





“Aku tidak bisa tidur, Paman,” jawab Arok, mencoba membuat suaranya terdengar biasa, sambil membalikkan badan dan kembali menatap bara api.





“Bukan hanya itu,” sahut Tanca sambil berjalan mendekat dengan langkah mantap. Ia tidak duduk, tetapi berdiri di samping Arok, memandangi bara api yang sama. “Ada sesuatu yang berbeda padamu pagi ini. Aku terbangun bukan karena suara langkahmu, aku terbangun karena merasakan gejolak di jiwamu. Jiwamu terasa seperti lautan sebelum badai. Bergelombang hebat di bawah permukaan yang tenang. Kau tidak hanya berjalan-jalan di hutan. Kau bertemu seseorang, bukan?”





Arok terkesiap dalam hati. Kepekaan Tanca sungguh luar biasa, hampir seperti ilmu sihir. Berbohong padanya adalah sebuah kesia-siaan dan sebuah penghinaan terhadap kebijaksanaannya. Arok menghela napas panjang, sebuah napas yang terasa melepaskan sedikit dari beban yang menghimpit paru-parunya. Ia tahu, ia tidak bisa menanggung beban ini sendirian. Ia harus membaginya, setidaknya dengan orang yang paling ia percaya, dengan sosok ayah yang tak pernah ia miliki.





“Ya, Paman,” jawab Arok pelan, suaranya kini terdengar berat dan lelah. “Aku bertemu seorang Brahmana tua. Namanya… Lohgawe.”





Mendengar nama itu, tubuh Tanca yang tegap sedikit menegang. Ia menoleh cepat ke arah Arok, matanya yang tajam melebar karena terkejut dan sedikit gentar. “Lohgawe? Sang Pertapa Putih dari Puncak Kawi?” bisiknya, suaranya yang biasanya lantang kini terdengar penuh hormat. “Orang-orang suci di padepokan lamaku menyebut namanya dengan penuh rasa segan. Legenda mengatakan ia bukanlah manusia biasa. Ia adalah penjaga kebijaksanaan kuno, seorang yang telah mencapai pencerahan dan memilih untuk tetap tinggal di dunia untuk menjaga keseimbangan. Apa… apa yang ia katakan padamu?”





Arok menatap bara api di hadapannya, seolah mencari kekuatan dari sisa-sisa nyala api itu. Dengan suara rendah, ia menceritakan semua percakapannya dengan Brahmana itu. Ia menceritakan tanpa ada yang ditutupi. Tentang perumpamaan pohon beracun dan serigala. Tentang perlawanan mereka yang diibaratkan hanya memotong ranting. Tentang jalan takdirnya yang sesungguhnya terbentang di jantung istana Tumapel. Dan yang paling berat, tentang syarat untuk "mematikan" dirinya yang sekarang, meninggalkan semua yang telah ia bangun.





Arok bercerita seperti air bah yang akhirnya menemukan muaranya, melepaskan semua keresahan dan kebingungan yang telah menyiksanya. Semakin lama ia bercerita, semakin dalam kerutan di dahi Tanca. Pria tua itu mendengarkan dengan saksama, tidak menyela sedikit pun. Tangannya yang terkepal di sisi tubuhnya menunjukkan betapa tegangnya ia. Wajahnya yang keras tampak berpikir keras, menimbang setiap kata, setiap makna yang tersirat dari ajaran sang Brahmana. Gema di ambang fajar itu kini tidak hanya berputar di dalam kepala Arok, tetapi juga mulai bergema di dalam pikiran Tanca, membawa serta pertaruhan yang akan mengubah nasib mereka semua.


***


5.2: Harimau dan Laba-laba





Ketika Arok selesai bercerita, keheningan yang berat dan pekat kembali menyelimuti mereka berdua. Keheningan itu terasa lebih dalam dari keheningan hutan sebelum fajar. Hanya suara desis bara api yang perlahan-lahan mati dan napas mereka yang berat yang terdengar. Tanca tidak langsung berbicara. Matanya yang tajam menatap kosong ke arah bara api, namun Arok tahu, pikiran pria tua itu sedang bekerja secepat kilat. Ia sedang mencerna, menimbang, dan membedah setiap implikasi dari wahyu yang baru saja didengarnya. Wajahnya yang dipahat oleh kerasnya kehidupan tampak seperti peta dari sebuah pertempuran batin.





Akhirnya, setelah keheningan yang terasa seperti berlangsung sewindu, Tanca menghembuskan napas panjang. Kepulan uap putih keluar dari mulutnya, seperti asap dari gunung berapi yang lama tertidur.





“Ini adalah sebuah pertaruhan yang gila, Arok,” desisnya pelan, suaranya serak dan berat. Ia akhirnya menoleh, menatap tajam langsung ke dalam mata Arok, seolah mencoba mencari sisa-sisa kewarasan di sana. “Bahkan kata ‘gila’ pun tidak cukup untuk melukiskannya. Masuk ke dalam sarang singa sama saja dengan menyerahkan nyawa di atas nampan perak. Istana Tumapel bukanlah tempat untuk orang seperti kita. Di sana, kehormatan tidak ada harganya. Kekuatan fisik hanya berguna bagi para penjaga gerbang. Yang berkuasa di sana adalah lidah yang manis, punggung yang lentur untuk membungkuk, dan pisau yang siap ditusukkan dari belakang saat kau sedang tersenyum.”





“Aku tahu, Paman,” jawab Arok, suaranya tenang namun di dalamnya terkandung sebuah keyakinan baru yang ia sendiri tak tahu dari mana datangnya. “Aku tahu semua itu. Tapi apa yang dikatakan Brahmana itu benar. Kita tidak bisa menyangkalnya. Perlawanan kita dari luar hanya akan menjadi gangguan kecil bagi mereka, seperti nyamuk yang mengganggu tidur seorang raksasa. Raksasa itu mungkin akan menepuk beberapa nyamuk hingga mati, tapi ia akan tetap tertidur pulas. Selama Tunggul Ametung masih duduk di singgasananya, penderitaan rakyat tidak akan pernah berakhir. Kita harus mencabut akarnya, Paman. Bukan hanya memangkas daunnya.”




Lihat selengkapnya