Geometri Cinta Catatan Rosalina Filsufarkeolog

Resti Telasih
Chapter #2

Awal dari Sebuah Pilihan

  Setiap orang berhak atas pilihan yang ingin dijalani dalam hidup. Tidak ada yang akan bisa membantahnya. Semua orang bebas menjalani hidupnya. Melakukan apa yang disenangi. Memberikan waktu yang lebih terhadap apa yang dia senangi. Aku sedang menjalani pilihan hidupku. Menjalani waktu yang bahagia dengan pilihan-pilihan kecil yang terkadang sepele. Namun, aku yakin bahwa suatu saat pilihan sepele itu akan berharga. Sehingga aku tidak pernah menyesali pilihan yang kubuat. Ini hidupku dan aku akan menjalaninya semampuku. Tidak peduli apapun yang orang ingin katakan tentangku. Itu adalah hak mereka untuk menilai apapun tentangku. Itu hak mereka, dan aku tidak akan terganggu akan hal itu. Aku akan tetap berada di dalam perjalananku. Tidak bermaksud untuk egois, hanya saja itu bagian dari pertahanan.

Sejak kecil aku terbiasa dengan pilihan. Memilih warna kesukaan, memilih apa yang ingin dilakukan, memilih apa yang diyakini dan memilih untuk tetap hidup. Aku sangat bersyukur memiliki orangtua yang sangat mengerti dan memberikan kebebasan berpendapat dalam menentukan pilihan hidupku. Mereka selalu tersenyum dan mendukungku. Ayahku selalu bilang, “tidak ada yang akan membatasi pikiran, perkataan dan perbuatanmu Rosalina. Tidak Ayah, tidak pula Ibu. Kehidupanmu selalu berada ditanganmu.” Ayahku mengatakan itu ketika aku masih berumur lima tahun. Saat itu aku masih sering menangis di sekolah karena sering diledek teman-temanku. Aku cengeng pada masanya, dan Ayahku selalu menghiburku dengan kata-katanya.

       Ayah selalu menjadi sumber inspirasiku, karena ayah adalah sosok laki-laki pertama yang membuat hatiku nyaman. Aku sangat menyayanginya. Kata-kata ayah selalu menenangkan dan membuatku bangkit kembali saat terpuruk. Pernah aku pulang sekolah sambil menangis. Aku tidak tahu apakah saat itu ayah tahu bahwa aku sering dikerjai teman-temanku. Aku tidak pernah menceritakannya.

Namun, hari itu ayah memelukku, sambil berbisik, “Putriku, kamu harus menjadi orang yang hebat dan cerdas. Belajarlah. Membacalah. Supaya tidak ada yang bisa meragukan kemampuanmu. Tetaplah percaya bahwa Ayah akan selalu menerimamu bagaimanapun keadaanmu. Namun, orang lain belum tentu menerimamu begitu saja. Jadi, kamu harus berjuang, buktikan bahwa dirimu bisa melewati semua ini. Hari ini bukanlah penderitaan, tetaplah kuat bagaimanapun keadaanmu.” Seketika itu aku berhenti menangis dan berjanji tidak akan menangis lagi didepan Ayahku.

           Hari itu adalah awal aku memilih untuk hidup bersama buku dan belajar. Aku jarang sekali pergi keluar rumah, hampir tidak pernah kecuali pergi ke sekolah. Aku hidup menjadi orang yang sangat mencintai buku dan pikiran. Aku sangat senang memikirkan sesuatu. Aku menyukainya, membuatku tenggelam dalam pikiran. Hal itu membuatku sangat senang sendirian. Aku tidak suka kebisingan dan keramaian.

           Waktuku selalu kuhabiskan untuk belajar. Namun semakin hari aku semakin memahami makna belajar. Ternyata belajar tidak hanya tentang membaca buku. Ada hal yang lebih penting untuk dipelajari, yaitu belajar tentang hidup. Membiarkan diri hidup dan membiarkan orang lain hidup. Tidak saling mengganggu. Membiarkan orang lain untuk tetap hidup dan bahagia.

           Saat aku mulai sadar tentang hal itu, aku pun mulai keluar. Mencoba menemui orang-orang yang selama ini kuhindari. Memberanikan diri untuk beradu acting di panggung semesta ini bersama mereka. Membuka setiap lembaran kehidupan setiap harinya. Mencoba membacanya, seperti aku membaca buku. Iya, aku mulai menemukan diriku yang tidak bisa melihat orang lain menangis. Aku mulai menemukan diriku yang sangat menyukai mendengarkan kisah orang lain. Aku mulai menemukan diriku yang mulai menyenangi hal-hal yang tidak disukai kebanyakan orang. Aku baru menyadari bahwa aku sangat merasa bahagia ketika bisa membantu orang lain. Iya, aku menemukan diriku.

Lihat selengkapnya