Geometri Cinta Catatan Rosalina Filsufarkeolog

Resti Telasih
Chapter #3

Catatanku Untuk Simposium

Seseorang yang sedang berjuang dalam menjalani hidup harus berani memutuskan untuk bangun lebih pagi, berusaha lebih keras dan berdoa lebih sering. Iya, hal itu selalu membuatku semangat dalam menjalani hari. Aku bangun lebih pagi, aku berusaha lebih keras dan aku berdoa lebih sering. Berharap aku siap menjawab tantangan semesta hari ini. Apapun itu akan aku hadapi dengan senyuman.

           Pagi yang cerah, sepertinya matahari melakukan tugasnya dengan baik hari ini. Aku baru saja selesai merapikan rumah. Aku tinggal sendiri di kota ini. Mencoba merajut asa sendirian. Meskipun Ibuku selalu cerewet dan khawatir, setiap saat dia selalu menanyakan keberadaanku.

“Ros, kamu dimana?”

“Ros, kamu sudah makan? Ibu masak tumis kangkung hari ini. Seandainya kamu bisa pulang.”

“Ros, jangan lupa minum vitamin, cuaca sedang buruk. Ibu khawatir.”

Kalimat-kalimat itu selalu menghujani hari-hariku. Tapi, wajarlah seorang Ibu mengkhawatirkan anaknya yang sedang pergi jauh. Aku bahkan merasa khawatir jika ibu tidak menanyaiku. Ibuku sangat berbeda dengan Ayahku. Ketika lalu aku menceritakan bahwa Ayah selalu membebaskanku, Ibu memiliki kebebasan yang terbatas untukku. Dia selalu khawatir dengan keberadaanku. Misalnya aku sedang pergi ke suatu tempat yang jauh, Ibuku akan selalu menonton berita, berharap supaya di tempatku berada tidak ada berita buruk. Aku tahu, Ibuku sangat ingin aku berada di sampingnya.

Oh iya, aku juga punya seorang kakak laki-laki namanya Kak Sadhu Sastra. Aku biasa memanggilnya Kak Sastra. Dia sangat terbuka orangnya, tidak cerewet namun perhatian. Dia tidak pernah melarangku untuk melakukan apapun. Namun, terkadang jiwa posesifnya muncul ketika aku dekat dengan laki-laki. Katanya, “kamu itu jangan terlalu dekat sama laki-laki ya. Pokoknya hati-hati!” Aku hanya tertawa mendengarkan itu. Aku suka memiliki kakak yang posesif begitu. Walaupun terkadang memang menyebalkan. Namanya juga berteman sama siapa saja ya boleh saja, tak perlu takut. Entah dia laki-laki atau perempuan, tidak masalah ya kan?.

Sudahlah, Kakakku memang begitu.

*

           Aku sudah siap berangkat ke kampus. Hari ini aku harus bertemu dosen pembimbing simposiumku. Aku baru mendapatkan kabar kemarin di web kampus bahwa aku terpilih sebagai pembicara simposium bulan ini. Iya, ini menyenangkan untukku. Simposium adalah kegiatan dialog yang dilaksanakan di kampusku setiap bulan. Mahasiswa yang ditunjuk sebagai pembicara simposium bertugas untuk menyampaikan pidato pendek sesuai dengan tema filsafat yang dipilih dan setiap orang diperkenankan untuk memberikan tanggapan. Entah itu kritik, saran dan dukungan. Kegiatan ini dilakukan untuk melatih gaya berbicara dan mengasah pola pikir.

           Sebelum berangkat aku mengecek isi tasku. Aku sudah terbiasa melakukan itu, supaya tidak ada barang yang ketinggalan. Aku mencari-cari buku catatanku, yang ternyata tidak ada di tasku. Aku melihat disekelilingku, mencari buku penting itu. Ternyata buku itu masih tergeletak di meja belajar, aku lupa memasukkanya ke dalam tas semalam. Untung saja aku mengecek tasku lagi, kalau tidak catatan itu pasti ketinggalan.

           Bagi mahasiswa filsafat di kampusku, catatan adalah hidup. Disanalah tersimpan pemikiran-pemikiran yang ditulis untuk tugas akhirnya. Selain itu, catatan ini sangat penting untuk simposium. Tanpa catatan ini seseorang tidak akan bisa mengikuti simposium. Apa yang tertulis di dalam catatan inilah yang akan memberikan tema untuk simposium. Tentunya catatan ini harus dibaca dulu oleh dosen pembimbingku untuk menentukan temanya.

“Untung kamu tidak hilang, Nak.” Aku bergumam sendiri sambil memasukkan catatan itu ke dalam tas.

Semua sudah siap dan aku berangkat.

Aku terbiasa berangkat ke kampus dengan Bus Kota. Jadi aku berjalan dulu menuju Halte Bus yang terletak di dekat rumahku.

Suasana kota hari ini sangat ramai. Setiap orang sudah mulai beraktivitas. Ada yang pergi ke sekolah, ada yang berangkat kerja, ada yang berjualan dan banyak aktivitas lainnya yang orang-orang lakukan di sekitarku. Hal ini menyadarkanku, bahwa aku tidak sendirian berjuang dalam hidup. Semua orang memiliki cara yang indah untuk mencapai hidup yang indah menurut versinya. Aku sangat menyukai itu, melihat orang yang bekerja keras untuk hidupnya. Memberikan waktu dan hatinya untuk sesuatu yang dia cintai.

Aku sedang menunggu bus datang. Tiba-tiba hpku bergetar. Aku segera mengeluarkannya dari tas. Dilayar tertulis “Hantu”, aku menggeser layar hpku keatas untuk menjawabnya. “Halo Sar.”

“Halo Ros. Kamu dimana?” Suara disebrang terdengar ceria.

“Aku di halte masih nungguin bus, mau ke kampus. Kenapa?”

“Syukurlah. Aku mau minta tolong boleh?” Suaranya sedikit dimanja-manjakan.

“Aku sudah tahu ini akan terjadi. Hantu mana lagi yang meminta bunga padaku?” kataku berpura-pura kesal.

Dia terkekeh, “hehehe… kamu sangat mengerti aku, Ros. Minta tolong beliin bunga Sedap Malam ya. Hantu itu terus memintanya.” Dia memelas, jika aku berhadapan dengannya sekarang dia pasti sedang mencakupkan tangan dan memasang wajah memelas.

“Ros… ayolah. Jangan kesal gitu. Mau ya mau.” dia langsung nyerocos karena aku belum juga mengatakan iya.

Aku menghembuskan nafas panjang. “Iya, baiklah. Tapi ini yang terakhir. Jangan lagi menyuruhku membelikan bunga untuk hantu.”

“Telima kacih Losalina cintaku sayangku…” suaranya diubah seperti suara anak kecil.

“Tolong suaramu Sar. Serem tahu, aku takut yang ngomong bukan kamu.” Aku melihat kanan kiri berharap tidak menemukan sosok aneh. Meskipun aku tahu, tidak akan ada. Karena aku tidak bisa melihatnya. Tetap saja aku waspada.

“Hahaha…sampai jumpa di kampus. Jangan takut, beli saja bunganya Ros. Terima kasih.” Dia tertawa, karena tahu aku sedang ketakutan sekarang.

“Ketawa terus…” kataku kesal. “Sudahlah… sampai jumpa di kampus.” Setelah mengatakan itu aku memutuskan pembicaraan secara sepihak. Kututup hpku dan menaruhnya kembali ke dalam tas.

Sara memang begitu, hidupnya dipenuhi kehororan. Makanya aku menyimpan nama “hantu” di kontak hpku. Dia tidak tahu tentang hal itu, kalau dia tahu pasti dia akan marah.

Aku melirik jam tanganku, masih pukul 08.00 pagi. Masih ada waktu, jadi aku memutuskan untuk berjalan ke Toko Bunga yang tidak jauh dari halte ini. Di dekat sana juga ada halte. Jadi, nanti aku bisa naik bus darisana menuju ke kampus.

           

*

           Aku selalu suka toko bunga, aroma bunga itu membuatku tenang. Bunga salah satu yang membuatku takjub akan keajaiban dunia. bagaimana dia bisa tumbuh? Bagaimana dia bisa memiliki daun yang menyegarkan mata? Bagaimana dia bisa memberikan nuansa kedamaian bagi yang melihatnya? Aku memiliki banyak sekali pertanyaan di kepalaku. Namun, saat ini bukan waktu yang tetap untuk menemukan jawabannya. Aku harus bergegas mencari bunga sedap malam. Sara sudah mengirim pesan bahwa dia akan menungguku di taman dekat kampus.

           Aku segera masuk ke toko bunga yang menjadi langgananku. Penjaganya tersenyum manis menyapaku, “Selamat pagi, Mbak Rosa. Ada yang bisa saya bantu?” Aku tersenyum dan menjawab sapaannya. “Selamat pagi. Saya perlu bunga sedap malam, ada?” Aku bertanya sambil melihat sekitar.

“Ada Mbak, biar saya ambilkan. Mbak mau nyari berapa?” tanyanya lagi.

Aku berpikir sejenak, Sara tidak memberitahuku jumlahnya. “Tiga saja.” Aku memutuskan untuk membelikan tiga saja. Biasanya tiga menjadi angka pilihan Sara jika membeli sesuatu.

Dia menganggukkan kepala tanda mengerti. “Tunggu sebentar ya Mbak, saya ambilkan dulu bunganya.” Dia segera pergi ke belakang, untuk mengambil bunga itu. Sepertinya dia meletakkan bunga itu di belakang, karena tidak kutemukan terpajang disini. Iya sih, bunga itu terlihat horor kalau dipajang dalam suatu ruangan. Namun, aromanya sangat khas, aku suka wanginya.

Aku menunggu sambil melihat bunga-bunga yang ada di toko ini. Semuanya segar dan indah sekali. Aku melihat Bunga Matahari yang sangat kukagumi. Aku menyukai warnanya. Bunga Matahari tidak memiliki wangi yang khas, namun sejak kecil sangat menarik perhatianku. Bunga kuning yang bijinya bisa di makan itu membuat mataku selalu berbinar ketika melihatnya. Baru kemarin aku membelinya untuk kupajang di ruang belajarku. Keberadaannya menenangkan, walaupun tak memiliki wangi yang khas.

Ketika aku sedang mengamati bunga matahari, tiba-tiba dua orang laki-laki datang. Mereka terlihat terburu-buru. Satu orang yang memakai baju berwarna biru menghampiriku sambil berlari. “Mbak saya mau ngambil buket bunga atas nama Segara,” katanya cepat.

Aku kebingungan mencari penjaga tokonya, “Sebentar Mas-”

“Segara, bunganya disini, namamu tercantum disini,” kata laki-laki yang memakai baju warna hijau. Dia memotong penjelasanku.

“tapi mas sa-”

Lihat selengkapnya