Sore ini Rania berkunjung ke rumah Harven, papanya Diko. Rania sengaja datang karena ingin bercerita pada Diko tentang masalah kecil yang ia dapatkan.
Rania merasa ada yang aneh dua hari ini. Ingin segera bercerita tetapi Diko-nya sedang tidur.
"Kak ... Kak Diko .... gue mau cerita sesuatu." Rania mengguncangkan tubuh Diko yang terutup selimut tebal.
"Sore-sore kok tidur sih," gerutu Rania saat Diko tidak bangun-bangun. "Kak Diko ini penting, gue pengin banget cerita sama lo!"
Diko yang merasa keberisikan dengan suara Rania pun mengerang pelan dan memiringkan tubuhnya ke arah Rania.
"Lo ngerusuhin jam tidur gue, Ran, mau cerita apaan sih?" ketus Diko dengan suara paraunya.
Rania duduk di lantai dan menyenderkan tubuhnya di tempat tidur Diko.
"Gesang itu sebenernya kenapa, sih? Gue bingung sama dia," sungut Rania mulai bercerita. Diko hanya diam, menunggu Rania melanjutkan ceritanya.
"Kemarin kan gue didatengin sama Lusina dan gengnya, ya anggep aja kemarin itu gue dilabrak lah. Gue diancem sama Lusiana, gue nggak takut sih, tapi gue nggak mau aja cari masalah. Apalagi gue murid baru di SMA Tirta Jaya."
"Lusiana ngomong apa aja sama lo?" tanya Diko yang mulai serius dengan topik pembicaraan ini.
"Dia minta gue buat jauhin Gesang, lo sama kak Linggar. Terus kata dia juga, kalo Gesang itu udah dijodohin sama dia. Gue nggak boleh deket-deket sama Gesang lagi, gitu intinya," jawab Rania seraya menekuk kakinya dan memeluknya.
"Gue kemarin juga udah bilang ke Gesang, gue bakal jauhin dia. Tapi Gesang awalnya nggak mau, karena kita baru kenal dan Gesang masih mau deket sama gue. Ya, gimana ya, Kak? Gue nggak mau berurusan sama kakak kelas makanya gue tetep kekeuh mau jauhin Gesang, terus Gesang ngalah," ujar Rania.
Diko yang masih dalam posisi berbaring pun mengusap puncak kepala Rania dengan lembut. Ia paham apa yang Rania maksud. Rania merasakan kegelisahan atas perkataan Lusiana dan merasa tidak enak hati kepada Gesang.
"Tadi juga gue ketemu sama Gesang, dia kayaknya habis lari muterin lapangan upacara. Dari matanya, gue bisa lihat kalo dia mendem sesuatu. Dan nggak tau kenapa gue itu ngerasa Gesang pengin ngomong sesuatu sama gue tapi dia tahan-tahan. Apa itu bener, atau gue cuma kegeeran aja?"
Rania menolehkan kepalanya 90° derajat dan melihat senyum Diko yang menenangkan.
"Mungkin bener, mungkin juga lo yang kegeeran. Tapi semalem kan gue pergi ke tempat balap, terus ketemu sama abang sepupunya Gesang, nah abangnya Gesang bilang gini..." ucap Diko menjeda kalimatnya membuat Rania penasaran.
"Gesang lagi uring-uringan di rumah karena cewek yang namanya Rania punya niatan mau ngejauhin dia. Kayaknya yang Gesang maksud itu lo, Ran."
Rania terkejut mendengarnya. Apa Rania tidak salah mendengar? Atau Diko salah tangkap ucapan abang sepupunya Gesang semalam?
Gesang uring-uringan karenanya? Segitunya Gesang saat ia berniat menjauhinya? Ada apa ini?
"Lo bohongin gue ya, Kak? Gue lagi serius ini," cicit Rania.
Diko mengulas senyum. "Buat apa gue bohongin lo, Ran?"
Rania memejamkan matanya. Diko tidak pernah bohong, apa yang Diko katakan padanya selalu tentang kebenaran. Sebagian besar.
Tapi kali ini kebenaran itu membuat beban di pikirannya. Kabar Galvan tidak jelas, omongan Lusiana, sikap aneh Gesang, dan fakta baru yang baru saja Diko katakan, berkecamuk di pikirannya.
"Baru kali ini gue, Linggar, sama bang Gatra tau Gesang uring-uringan gara-gara cewek. Sebelumnya mana pernah. Gesang itu suka sama lo, Ran. Dan ini pertama kalinya Gesang berani suka sama cewek."
"Nggak mungkin. Nggak mungkin ini pertama kalinya Gesang suka sama cewek," sanggah Rania tidak percaya.
Diko menghela napasnya panjang. "Maksud gue serius suka sama cewek karena Gesang nggak pernah segitunya kalo sama cewek-cewek yang pernah deket sama dia sebelumnya. Ya, sekadar deket sih, nggak nyampe pacaran."
Rania membasahi bibirnya yang sedikit mengering. Ia harus bagaimana? Tidak apa-apa jika Gesang menyukainya tapi, Gesang itu bukanya sudah dijodohkan dengan Lusiana? Terus apa Gesang tidak memiliki perasaan dengan Lusiana?
"Lo jangan jauhin Gesang, Ran. Dia sahabat gue, walaupun dia bandel tapi dia baik orangnya. Gue juga nggak masalah kalo Gesang deketin lo, karena gue tau Gesang bisa jagain lo," ujar Diko serius.
Rania meluruskan kakinya, melepaskan tas selempangnya dan menaruh di samping tubuhnya.
"Kak Diko, gue punya pacar. Gue masih jadi pacarnya Galvan. Gue sayang sama Galvan dan gue nggak mungkin pindah haluan gitu aja," sahut Rania sedikit menyentak, karena paham arah pembicaraan kakak sepupunya ini.
"Tinggalin Galvan, dia bukan cowok baik-baik, Rania. Galvan juga sering ngilang, kan? Di mana sekarang pacar lo itu, emang lo tau keberadaan dia?"
Rania tertegun mendengar ucapan Diko. Memang Galvan sering menghilang, tidak ada kabar dan kejelasan dia di mana sekarang. Tetapi Rania sayang betul dengan Galvan. Meski pesannya tidak kunjung dibalas padahal Galvan sering online pun Rania masih mau bertahan, karena rasa sayangnya benar-benar telah menguasai logikanya.
"Kenapa diem, nggak bisa jawab?"
Rania menyerongkan duduknya, melipat kedua lengannya di atas kasur dan meletakkan kepalanya di atas lipatan tangan itu.
Sebulir air mata berhasil mencelos dari pelupuk matanya. Disusul oleh bulir-bulir lainnya hingga suara isakan tangis terdengar.