"Rania, cepetan Gesang udah nunggu kamu daritadi!" tegur Dena, Bundanya dari luar kamar.
Rania yang sedang membalas pesan Galvan menggerutu pelan. Tumben Gesang menjemputnya ke rumah. Berangkat sekolah bareng Gesang cuma nambah-nambah gosip aja. Gosip kemarin belum selesai ditambah gosip yang baru.
"Iya, Bun," balas Rania sambil berjalan keluar kamarnya.
"Ngapain aja sih kamu? Habis sarapan bukannya berangkat malah ke kamar lagi," tegur Bundanya.
"Ini Rania ambil hape," ucap Rania sambil memperlihatkan ponselnya.
Dena menggelengkan kepalanya pelan dan meminta Rania untuk cepat menemui Gesang di ruang tamu.
Saat Rania sampai di ruang tamu, Gesang sudah ditemani oleh Tantenya. Rania melirik jam tangan yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Pukul 6.30 AM.
"Berangkat kapan?" tanya Rania basa-basi karena jujur saja Rania tidak ada topik untuk berbicara dengan Gesang setelah kejadian kemarin sore itu. Saat Gesang menjemputnya ke sekolahan.
"Sekarang," jawab Gesang, "Tante, Bun, kami berangkat dulu," pamitnya sembari mencium punggung tangan Marwah dan Dena bergantian. Rania juga melakukan hal yang sama.
Kedua remaja tanggung itu berjalan keluar rumah dan menaiki motor Gesang membelah keramaian Jakarta di pagi hari ini.
Selama di perjalanan Rania dan Gesang sama-sama diam. Keduanya tidak mengeluarkan suara sama sekali. Hanya terdengar kebisingan dari kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang.
Sesampainya di sekolahan, Rania langsung turun dari atas motor Gesang, melepaskan helm yang ia pakai dan menyodorkan pada laki-laki itu. Rania memperhatikan suasana parkiran khusus murid yang pagi ini nampak ramai. Pandangan sinis mengarah padanya, membuatnya sedikit gelisah.
Gesang yang dari tadi memperhatikan Rania, paham sekali dengan perasaan gadisnya. Tanpa pikir panjang, Gesang menggenggam jemari Rania dan membawa gadis itu menjauh dari parkiran.
"Lo aman sama gue, Ran. Lo nggak usah takut sama gosip murahan mereka. Mana Rania yang nggak peduli sama omongan orang?" ujar Gesang berbisik.
Rania mendongak dan memejamkan matanya sebentar. Seharusnya tidak perlu ia memikirkan omongan mereka. Gosip-gosip murahan yang tidak pernah penting dihidupnya. Lagipula, yang mereka semua tuduhkan semata-mata hanya karena Lusiana yang terlalu lebay.
"Salah ya emang gue deket sama lo, Sang?" tanya Rania spontan, membuat Gesang menghentikan langkahnya dan menatap sepasang iris indah milik Rania.
Gesang dengan mantap menggelengkan kepalanya. "Harus berapa kali gue bilang, kalo gue lebih suka lo deket-deket sama gue, ketimbang lo harus jauhin gue. Lo deket sama gue itu nggak salah, karena gue yang mau, bukan lo. Mereka nggak suka itu karena iri, juga karena hasil kompor Lusiana yang selalu melebih-lebihkan keadaan di belakang lo."
"Maksudnya?"
"Lusiana selalu nyita perhatian semua orang saat dia nyamperin gue. Di mana pun, nggak cuma di kantin. Dia ngomong banyak hal, dan seakan-akan gue jauhin dia itu karena lo. Padahal kenyataannya nggak seperti itu. Gue jauhin dia karena sikap dia sendiri yang buat gue muak. Jadi, lo nggak perlu gelisah sama gosip murahan yang lagi panas-panasnya di sini. Serahin semuanya ke gue. Gue bakal bersihin nama lo," pungkas Gesang memaparkan.
Rania menganggukkan kepalanya. Rania yakin pada Gesang, laki-laki itu pasti bisa menyelesaikan masalah sekecil ini.
Gesang merangkul Rania dan mengusap bahunya pelan. "Semuanya bakal baik-baik aja. Dan tolong, jangan buat gue cemburu lagi."
"Cemburu? Maksudnya?" sahut Rania sambil mendongakkan kepalanya menatap Gesang yang sedikit lebih tinggi darinya.
"Cowok-cowok kemarin yang nemenin lo, bikin gue cemburu. Mereka deket banget sama lo," balas Gesang mengalihkan wajahnya.
Rania terkekeh pelan dengan kikuk. "Mereka temen sekelas gue. Jangan cemburu, mereka udah punya pacar masing-masing."
"Punya pacar nggak jadi jaminan seseorang buat nggak suka sama orang lain. Punya pacar juga masih punya nafsu, mereka bisa suka sama orang lain. Maka dari itu, kasus selingkuh banyak terjadi," ujar Gesang.
Rania merasa, Gesang sedang menyindirnya. Entah kenapa Rania merasa tersindir dengan kata-kata itu.
"Sang, lo kenapa?" tanya Rania tiba-tiba. Tentu pertanyaan itu mengundang kebingungan dari Gesang. Gesang tidak mengerti mengapa Rania bertanya seperti itu.
"Sang, tolong jadi lo yang gue kenal pertama kali. Lo jangan serius-serius kaya gini," pinta Rania.
Gesang terkekeh pelan. "Gue itu Gesang Radito Granasta. Gue ya gue, Rania. Gue nggak pernah jadi orang lain biar terlihat berbeda di mata lo. Gue yang sekarang ini ada di deket lo, itu gue yang lo kenal pertama kali. Gue bukan orang yang serius, kecuali soal perasaan. Kalo tentang perasaan gue cukup serius. Lo tau itu," katanya.
Rania menurukan lengan Gesang yang mengalung di bahunya. Rania menggenggam tangan itu, menautkan jemarinya dengan jemari Gesang.
"Kita sahabatan, kan?" tanya Rania.
"Sahabat?" Alis Gesang terangkat satu dengan sempurna.
Jadi, Rania menganggapnya sebatas sahabat saja, tidak lebih? Rania belum bisa mempertimbangkan perasaannya? Apa Gesang terlalu cepat mengatakan sejujur-jujurnya tentang perasaan manusiawi untuk lawan jenis?
"Iya. Kita sahabatan, kan?" tanya Rania mengulang pertanyaan yang tadi.
"Apa nggak bisa lebih dari sekadar sahabat, hm?" Gesang balik bertanya dengan tatapan teduhnya.
Dengan berat hati, Rania menggelengkan kepalanya. "Untuk saat ini, gue nggak bisa lebih dari sekadar sahabat buat lo, Sang." Karena gue masih jadi milik orang lain. Orang yang gue cintai, gue sayangi, dan gue rindukan setiap waktu. Lanjutnya dalam hati.
"Kenapa?" tanya Gesang mencoba mendapatkan jawaban dari setiap penolakan Rania.
"Gue belum punya perasaan lebih buat lo untuk sekarang," jawab Rania gugup.
Gesang tersenyum getir. "Nggak pa-pa, tapi cuma belum, kan? Berarti nanti akan punya."
"Gue nggak tau," sahut Rania. "Tolong jangan bahas itu lagi. Gue nggak mau hubungan kita jadi canggung lagi."
Gesang menganggukkan kepalanya. Ia salah, memaksa Rania untuk membalas cintanya juga tidak benar. Kasihan Rania terys tertekan dengan pernyataan-pernyataannya. Mungkin untuk sekarang hubungan persahabatan lebih menjanjikan dan lebih aman. Gesang akan mencoba berbesar hati dan menerima kenyataan yang ada. Rania belum bisa membalas cintanya, tetapi Gesang yakin, cinta tumbuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu dan semakin banyak waktu yang dilalui bersama-sama.
>>><<<
"Aku sama Tisya nyariin kamu dari tadi," celetuk Zeya yang baru saja duduk di dekat Rania. Dari bel istirahat kedua tadi, Rania menghilang ternyata ada di taman. Duduk sendiri di gazebo di bawah pohon rindang.
"Iya, lo ngapain aja sih di sini? Jangan buat kami repot buat nyariin lo," omel Tisya yang geram dengan Rania. Entah, jika berhubungan dengan Rania, bawaannya sensi terus.
"Gue nggak minta kalian buat nyariin gue," balas Rania bergumam. Zeya mendengar itu, lantas menepuk bahu Rania dua kali.
"Putra, Anung, Rahmat juga nyariin. Mereka kira lo bolos tadi. Lo tau kan, solid kelas kita itu kaya apa?"
Rania menolehkan kepalanya. Melihat senyum tulus Zeya, ia semakin yakin, tidak semua orang menghujatnya. Masih ada segelintir orang yang peduli padanya, mau memasang badan untuk menjadi tamengnya.
"Ayo ke kelas, udah bel, sebelum gurunya dateng, terus kita dapet hukuman," ajak Zeya menarik lembut lengan Rania.
Zeya mengajak Rania untuk pergi dari taman, diikuti Tisya yang berjalan di belakang mereka. Sesekali Zeya meminta Rania untuk tidak lagi mempedulikan omongan orang.
"Mereka iri sama lo bisa deket-deket Gesang, padahal lo murid baru di sini. Kalo nggak mau dihujat ya di rumah aja nggak usah sekolah," sungut Tisya pedas.
Zeya melotot tajam dan memberi isyarat pada Tisya agar gadis itu diam. Tidak memperkeruh suasana hati Rania.
"Jangan dengerin omongan Tisya. Dia ngelantur tadi. Kamu inget kan, semalam aku ngomong apa di telepon?"
"Semua cewek yang deket sama Gesang, ngerasain apa yang gue rasain sekarang?"
Zeya menganggukkan kepalanya. "Jadi, kamu nggak perlu pikirin masalah itu lagi."
Gue emang udah nggak mikirin perihal itu. Gue cuma lagi pusing aja. Sebenarnya perasaan gue ini buat Galvan atau Gesang? Gue pacarannya sama Galvan tapi nyamannya sama Gesang. Sebenernya gue ini kenapa sih? celoteh Rania dalam hati.
"Ih, gue kenapa sih?!" rutuk Rania setengah menjerit. Membuat semua orang yang ada di kelas menoleh ke arahnya.
"Rania, lo kenapa? Dari mana aja? Lo nggak kenapa-kenapa, kan?" Anung mencecarinya pertanyaan sambil berjalan mendekat ke arah Rania, Zeya, dan Tisya yang baru saja masuk ke dalam kelas.
Rania mengangguk dan tersenyum tipis. "Gue ok, kok. Permisi ya, gue mau duduk."
Rahmat yang duduk di ujung kanan belakang hanya bisa menampilkan senyum tipisnya. Pasti gadis itu sedang banyak pikiran. Dari raut wajahnya sudah ketebak. Rahmat tidak mudah dibohongi. Ia cowok paling peka di kelasnya. Satu teman ada masalah, Rahmat pasti tahu. Tanpa orang itu bercerita terlebih dahulu.
Zeya dan Tisya juga ikut duduk di tempat mereka masing-masing. Anung juga demikian. Karena guru mata pelajaran Biologi sudah memasuki kelas mereka.