Rumah berukuran besar dilengkapi dua lantai ini sangat megah bagi Rania. Rumah Tantenya saja kalah besar. Entah ini masih bisa disebut rumah atau mansion.
Sejak dua menit yang lalu Rania sudah menginjakkan kakinya di lantai marmer rumah ini. Tentu saja bersama si pemilik rumah yang sedang menemui Papanya di lantai atas.
Saat Rania menolehkan kepalanya ke kiri, tak sengaja ia menatap mata seorang wanita paruh baya dengan setelan kantorannya. Rania pikir itu Mama Gesang. Rania berdiri, berniat untuk menyalimi tangan wanita itu tetapi tidak digubris sama sekali. Dengan besar hati, Rania menarik kembali tangannya dan menundukkan kepalanya.
Wanita itu melengos pergi tanpa mengatakan sekata apapun. Raut wajahnya yang tidak bersahabat juga membuat Rania sedikit segan untuk kembali mendongakkan kepalanya.
Rania kembali duduk setelah suara derap dari sepatu yang wanita itu kenakan sudah tidak terdengar lagi.
Rania juga mengatur deru napasnya. Berada di rumah Gesang yang besar ini menjadi tidak nyaman hanya karena kejadian kecil tadi.
"Ran," panggil Gesang yang datang sendirian. Tanpa Papanya.
Rania mendongak dan menampilkan senyum tipisnya.
"Papa gue lagi ngobrol sama Mama, tunggu bentar ya?"
"Iya, nggak pa-pa."
Gesang duduk di sebelah Rania dan memberikan hoodie army miliknya. Hoodie itu masih baru, belum pernah ia pakai. Waktu itu khilaf beli karena Gatra mengajaknya pergi ke sebuah distro. Dan sekarang Gesang ingin memberikan hoodie itu untuk Rania.
"Buat apa?" tanya Rania sambil menerima pemberian Gesang.
"Buat lo. Masih baru kok, tenang aja. Lagian tadi pas balik ke rumah buat ganti baju kenapa nggak sekalian bawa jaket? Ini udah malem, Ran. Gue nggak mau lo kedinginan."
Rania menganggukkan kepalanya. "Makasih, ya."
"Iya. Itung-itung gue kasih lo barang kenang-kenangan."
"Kaya lo mau pergi jauh aja," balas Rania.
Gesang terkekeh pelan. Ia menyuruh Rania untuk meminum teh hangat bikinan Bu Tuti yang masih utuh. Sesekali mereka juga bercanda, membahas tentang hal-hal yang jenaka. Ketika, Gesang hendak bangkit untuk mengambil remot televisi, tiba-tiba terdengar bunyi nyaring dari lantai atas. Suara itu seperti bersumber dari dalam kamar kedua orangtuanya.
Gesang dengan cepat mengambil headset-nya dan menyuruh Rania untuk menutup kedua telinga Rania dengan benda besar itu. Tak lupa, Gesang juga memutar lagu dengan volume yang sedikit melampaui batas standar jika sedang memakai headset.
Rania yang kebingungan dengan sikap Gesang hanya bisa diam dan mengikuti apapun yang Gesang perintahkan. Saat Gesang menyuruh untuk menutup mata pun Rania lakukan.
Gesang memejamkan matanya saat mendengar cekcok orangtuanya. Suara adu argumen mereka semakin terdengar keras saat pintu kamar mereka terbuka lebar. Gesang kembali duduk dan menundukkan kepalanya. Ia malu, malu sekali. Saat Rania datang ke rumahnya, situasi dan kondisi tidak mendukung. Yang ada Rania semakin tahu bagaimana kehancuran keluarganya.
Rania meraba sekelilingnya dan menemukan tangan Gesang yang bergetar. Dan saat itu juga Rania membantah perintah Gesang. Rania membuka matanya dan memeluk laki-laki itu tanpa pikir panjang.
Rania juga melepaskan headset yang menutup kedua telinganya.
"Ayo pergi," ucap Rania mengajak Gesang untuk meninggalkan rumah ini sekarang juga.
Degup jantung Gesang yang tidak beraturan semakin tak karuan saat Rania memeluknya erat. Campur aduk, itu yang saat ini Gesang rasakan.
"Gesang, lo denger gue, kan? Ayo kita pergi," ajaknya lagi.
Gesang menunduk, melihat kedua mata indah Rania yang berkaca-kaca. Lengannya bergerak untuk membalas pelukan Rania.
"Kita pergi," kata Gesang.
Laki-laki itu membawa Rania keluar dari rumah dan di luar mereka bertemu dengan Gatra yang baru saja memarkirkan mobilnya.
Ini pertama kalinya Gatra melihat Gesang membawa gadis ke rumah. Dan Gesang yakin, gadis itu yang namanya Rania.
"Kalian mau ke mana?" tanya Gatra.
Gesang menunjuk Rania menggunakan dagunya. Gatra manggut-manggut. Sedangkan Rania menatap Gatra dengan sedikit ketakutan. Style Gatra sudah mirip dengan seorang preman. Itu yang Rania takutkan.
"Lo Rania, kan?"
Rania mengangguk pelan.
"Kenalin gue Gatra, Abang sepupunya Gesang. Jangan takut sama gue, gue malahan yang takut sama lo, takut kepincut terus Gesang bunuh gue," ujar Gatra sambil terkekeh.
Rania meringis dan mengguncangkan lengan Gesang. Gesang yang paham maksud Rania pun langsung meminta kunci mobil Gatra. Ia malas jika harua mengambil kunci mobilnya di dalam rumah. Yang ada, perasannya semakin hancur melihat kedua orangtuanya beradu argumen.
"Maaf, mungkin lain kali lo bisa ketemu sama Papa gue," kata Gesang. Rania menganggukkan kepalanya, ia memaklumi. "Dan tolong lupain kejadian tadi. Anggap aja itu cuma angin lalu."
>>><<<
Ini pertama kalinya berangkat bareng Diko setelah hampir tiga bulan sekolah di SMA Tirta Jaya. Dan ini pertama kalinya juga Rania harus berjalan dari halte sampai ke sekolahan. Diko tadi menurunkannya di halte, Rania paham itu juga untuk kebaikan. Agar tidak ada yang curiga jika melihat Rania pergi sekolah bareng Diko. Beruntung juga Rania diturunkan di halte karena ia sudah eneg melihat wajah Diko yang tertekuk terus, entah apa yang sedang terjadi pada laki-laki itu.
"Pagi, Cantik!" sapa Linggar secara tiba-tiba membuat Rania sedikit terkejut.
"Kak Linggar, ngangggetin aja. Kayak setan tiba-tiba muncul," dumel Rania.
Linggar tertawa pelan. "Salah lo juga sih bengong mulu."
Rania menoleh. "Siapa yang bengong, sih?"
"Nggak tau, Kang sotong kali yang bengong." Linggar mengendikkan bahunya.
"Nggak jelas! Lagian Kak Linggar ngapain ke gedung IPA? Tumben-tumbenan."
"Mau nyamperin Tisya, gue ada perlu sama dia. Kenapa emang nggak boleh gitu?" tanya Linggar seraya menyembunyikan senyum jahilnya.
Rania melirik laki-laki itu sebentar. "Ya nggak tau," balasnya.
Linggar mengacak gemas puncak kepala gadis itu. Jika saja Rania bukan target Gesang, bukan seseorang yang dispesialkan oleh Gesang pasti sudah ia dekati. Rania cantik, baik, mudah bergaul, dan enak diajak bercanda.
"Jail banget sih tangannya!" ketus Rania memanyunkan bibirnya dan merapikan rambutnya yang sedikit berantakan gara-gara kejahilan Linggar.
"Sekali-sekali boleh lah," balas Linggar dibarengi tawa kecilnya.
"Nggak boleh!" balas Rania sengit.