09.45 PM
Hening, tidak ada percakapan sejak sepuluh menit yang lalu. Diko memutuskan menerima ajakan Valetta untuk bertemu. Jika boleh jujur, Diko sangat merindukan Valleta. Diko tidak mau munafik dengan perasaannya sendiri. Hingga saat ini pun rasa cinta dan sayangnya pada Valleta masih ada. Akan tersimpan selama Valleta juga masih memiliki perasaan yang sama padanya.
Suasana canggung di taman yang ramai ini sungguh terasa jelas. Diko dan Valleta duduk dengan memberikan jarak satu sama lain. Bergelut dengan ego masing-masing.
Sampai akhirnya, Valleta tersenyum dan menolehkan kepalanya ke arah Diko. Gadis itu berkata, "Kamu nggak kangen sama aku, Lan?"
Diko masih diam. Membuat Valleta tersenyum masam dan kembali mengeluarkan suaranya.
"Besok aku udah pulang ke Amerika lagi. Kamu yakin nggak mau ngobrol banyak sama aku? Kamu nggak mau ngajak aku jalan-jalan besok?"
Valleta menghela napasnya panjang saat Diko masih saja diam di tempatnya. Bahkan menoleh ke arahnya pun tidak.
"Tadi aku kan dateng ke acara nikahnnya saudara. Di sana ada Gesang dan Rania. Mereka deket ya? Aku baru tau," kata Valleta dengan tawa hambarnya. "Seandainya waktu itu aku nggak pindah ke Amerika, aku nggak bakalan ketinggalan info tentang kalian di sini. Hubungan kita juga masih baik-baik aja," lanjutnya dengan senyum miris.
Diko menatap lurus ke depan. Lidahnya kelu saat ingin menanggapi semua ucapan Valleta. Entah kenapa, rasa sesak terasa di dadanya. Suara Valleta, senyum Valleta, harum wangi Valleta, setiap lekuk wajah Valleta, sukses membuat jantung Diko berdegup kencang. Seperti merasakan cinta pertama kali pada Valleta dulu.
"Derlan," panggil Valleta sembari menolehkan kembali kepalanya ke arah Diko. Memandang setiap inci wajah Diko yang tampan dari samping.
"Jangan diem terus, Lan, aku pengin denger suara kamu. Jangan kayak gini. Percuma aku dateng ke sini, nyempetin waktu buat ketemu sama kamu, tapi kamu diem aja. Apa jangan-jangan dari tadi aku ngomong, kamu sama sekali nggak dengerin?"
Valleta hanya bisa menampilkan senyum mirisnya. Apa mungkin Diko marah? Kecewa padanya? Valleta tidak pernah berharap itu terjadi.
Gadis itu kembali mengalungkan tasnya di pundak dan bangkit. Tidak ada gunanya lagi di sini. Diko tidak menganggapnya ada. Percuma ia menyempatkan waktu untuk bertemu Diko.
"Aku pulang, Lan," ucap Valleta pamit dan melangkahkan kakinya ke depan. Valleta mengusap sudut matanya yang mulai berair.
Saat Valleta hendak menuruni anak tangga, tiba-tiba tubuhnya di dekap dari belakang dengan eratnya. Dan di saat itu juga, Valleta menumpahkan tangisnya. Tangannya memegang lengan Diko yang melimgkar di lehernya.
"Aku juga kangen sama kamu. Aku sayang kamu, Valleta," ucap Diko lirih tepat di dekat telinga Valleta. Membuat hati Valleta berdesir ketika kembali mendengar suara yang telah lama ia rindukan.
Diko membalikkan tubuh Valleta dan kembali memeluknya. Kali ini, rasa rindunya terbalaskan. Bisa mendekap gadisnya yang telah lama pergi ke ujung dunia.
Valleta menangis dipelukan Diko. Gadis itu membalas pelukan Diko tak kalah erat. Bahagia rasanya, Diko masih memiliki perasaan padanya.
Valleta merenggangkan pelukannya dan mendongak, menatap kedua manik mata bersorot tajam dan meneduhkan milik Diko.