Pagi harinya, Gesang tidak mau berlarut-larut dalam rasa bersalahnya pada Rania. Alhasil, Gesang mengunjungi rumah Rania tanpa memberi kabar apa pun. Gesang juga ingin mengajak Rania untuk bertemu Papanya. Kebetulan Papanya sedang tidak sibuk hari ini.
"Mas Gesang mau ketemu si Eneng?" tanya Mang Burhan setelah membukakan pintu gerbang untuk Gesang.
"Iya, Mang. Rania-nya ada?"
"Oh ada, sok atuh mangga," balas Mang Burhan seraya mempersilahkan Gesang untuk memasukkan motornya ke halaman rumah.
"Mas Gesang tunggu sebentar, biar Mang Burhan yang panggilin si Eneng," ucap Mang Burhan, kemudian berlalu pergi meninggalkan Gesang yang baru saja mendudukkan tubuhnya di bangku teras depan.
Tidak lama, Rania mememui Gesang dengan rasa canggung seperti yang sudah-sudah ia rasakan jika habis berantem kecil dengan Gesang.
Gesang menoleh ke arah Rania dan tersenyum tipis. Lalu berkata, "Gue minta maaf soal kemarin. Gue emosi, gue cemburu pas lo nanya nerima ajakan Galvan apa enggak. Iya, dia pacar lo tapi kan yang selalu ada buat lo itu gue."
"Gue kemarin juga emosi, maafin gue juga. Gue ngerti sama perasaan lo," balas Rania.
Gesang menganggukkan kepalanya. "Kalo hari ini lo nggak ada acara, gue mau ngajakin lo ketemu papa. Bisa?"
"Bisa. Lagian gue juga udah nolak ajakan Galvan tadi pagi. Kalo gitu gue ganti baju dulu," ujar Rania. Setelah mendapatkan anggukan dari Gesang, gadis itu bergegas masuk ke dalam rumah dan menuju kamarnya.
>>><<<
Belum lama tadi dengan sedikit gugup Rania memperkenalkan diri kepada Dito, Papa Gesang. Laki-laki separuh baya yang terlihat berwibawa dengan postur tubuh tegap itu memandang Rania dengan senyum semringah. Dan menerima baik kehadiran Rania.
"Om senang Gesang berteman sama kamu," ucap Dito langsung pada intinya.
"Gesang sudah jarang membuat masalah. Itu karena kamu, kan?" tanya Dito membuat Rania sedikit kebingungan dengan pertanyaan itu.
"M-maaf Om, saya nggak paham," ucap Rania telanjur polos.
Dito terkekeh pelan dan melirik ke arah putra semata wayangnya yang tengah menatapnya balik dengan sorot mata tajamnya.
"Lupakan, Rania."
Rania mendelik, enggak anak enggak bapak, sama aja bilang lupain kalo udah begini.
"Gimana Pa, udah ketemu kan sama Rania? Bantuin Gesang ngomong ke mama-lah. Gesang mana mau sih, dijodohin sama Lusiana cuma gara-gara keluarga Lusiana itu penanam saham terbesar di perusahaan mama. Gesang juga punya hati," pungkas Gesang yang sudah teramat jengkel dengan perjodohan konyol itu. Walaupun ia sudah mau berhubungan baik dengan Lusiana sebagai sahabat, Gesang tetap akan menentang perjodohan konyol itu.
"Papa nggak bisa ngomong sama mama kamu soal itu. Coba kamu minta ke oma kamu, atau om kamu," suruh Dito memberi saran.
"Sama aja, oma sama om nggak bisa bantu apa-apa," balas Gesang dengan dengusan kecil.
"Ya terus gimana? Kamu sabar dulu aja, sampai mama kamu sadar sama keputusannya," sahut Dito.
Gesang mengusap rambutnya ke belakang dan menoleh ke arah Rania yang terus memandanginya. Gesang memang ganteng, ayolah jangan seperti baru pertama kali melihat cogan saja.
"Gue emang gantengnya kelewatan jadi lo biasa aja dong ngelihatinnya," celetuk Gesang dengan kekehan gelinya. Rania yang paham dengan maksud Gesang pun kontan memukul bahu Gesang membuat Gesang memekik pelan.
"Ge-er banget asli!" cibir Rania. "Om tolong nih anaknya bawa ke depan cermin biar ngaca!" katanya kepada Dito dengan sedikit kesal.
Dito terkekeh dan geleng-geleng kepala menanggapinya. Menurut Dito, Gesang dan Rania itu cocok. Tapi sayang, dengar-dengar putra kebanggaannya itu cintanya pada Rania bertepuk sebelah tangan. Seakan-akan hati mereka sulit dipersatukan.
"Nonton yuk, Ran? Mumpung di Mall, kapan lagi kan gue ajakin nonton?"
Rania menggeser tubuhnya dan menatap Gesang ngeri.
"Nggak ah, nonton sendiri aja sana! Mending gue di sini lah sama Papa lo!" balas Rania ngegas.
"Ye, mauan lo sama Om-om!" Gesang mencibir.
"Asli lo dosa! Bokap sendiri juga," tegur Rania melempari Gesang dengan tisu yang sudah ia gulung-gulung.