Rania merasakan hatinya terus bergejolak kalau Gesang terus-terusan menggodanya. Bukan perlakuan romantis dari Gesang saja bisa membuat Rania tersipu, apalagi jika itu terjadi.
Rania sendiri tidak tahu, sejak kapan Gesang seperti itu. Rania tidak risih, melainkan senang. Bukankah perempuan menyukai hal-hal seperti itu? Dibuat nyaman. Tetapi tidak menyukai jika sudah dibuat nyaman, lalu ditinggalkan tanpa sebuah kepastian.
"Gimana TO hari ini?"
Rania mendongakkan kepalanya dan bertanya saat Gesang duduk berhadapan dengannya.
"Alhamdulillah, cuma ada beberapa nomor yang ragu," jawab Gesang dengan senyum tipisnya.
"Harus yakin dong!" sahut Vida setelah menelan sepotong kentang goreng andalan salah satu stand di kantin.
Gesang terkekeh pelan. "Iya yakin. Tapi nggak seyakin cinta gue ke Rania," katanya seraya menggerlingkan matanya ke arah Rania.
Senyum geli tidak bisa lagi Rania sembunyikan. Debaran jantungnya susah dikenadilkan.
"Kak Gesang jadi tukang gombal sekarang?" celetuk Zeya.
"Enggak Zey, ngaco lo!" sanggah Gesang dengan kekehan kecilnya.
"Kedip kali, Ran," cetus Vida terkikik geli dan menyenggol lengan Rania, membuat gadis itu berkedip dan tersenyum kikuk.
"I-iya ini juga kedip," balas Rania terbata.
Gesang tersenyum geli melihat Rania. Entah kenapa Gesang semakin menyukai Rania yang sering salting dan melting karenanya.
"Temen kalian pada ke mana? Kenapa cuma bertiga?" tanya Gesang.
"Ada yang di kelas ada yang kumpul OSIS, ada juga yang lagi di perpus," jawab Vida.
"Oh, terus kalian bertiga nongkrong di sini?"
"Enggak nongkrong, Kak, kami tadi belum istirahat soalnya ada ulangan, jadi istirahatnya di akhir," jelas Zeya.
"Oh," timpal Gesang, "Rania diem mulu, ngomong lah."
Rania menopang dagu dan menaikkan sebelah alisnya. "Gue harus ngomong apa? Nggak ada bahan. Baru sadar gue cari topik itu susah," katanya.
"Topik bukannya satpam di kompleks rumah lo ya, Ran?" tanya Vida.
"Ih, itu mah Mas Taufik! Beda kali topik sama Taufik," gerutu Rania.
"Oh iya Mas Taufik, lupa hehe." Vida menggaruk pelipisnya yang tidak gatal dan tersenyum kaku.
"Gesang!" panggil Lusiana dari ambang pintu kantin, membuat semua orang yang ada di kantin menoleh ke arahnya. "Katanya mau nganterin aku balik? Ayo sekarang aja!" lanjutnya.
Gesang menoleh ke arah Rania. "Gue balik sama Lusiana nggak pa-pa, kan?" tanyanya ragu ketika melihat Rania mengendikkan bahunya seperti orang yang tidak peduli.
"Kalo nggak boleh, gue nggak jadi anterin Lusiana balik," kata Gesang melanjutkan.
"Gesang buruan! Bentar lagi udah jamnya nih!" Suara Lusiana yang melengking kembali terdengar membuat Gesang memejamkan matanya sebentar dan menghela napas panjang.
Gesang melirik jam yang melingkar di pergelangan lengannya. Hampir jam makan siang, dan itu juga jamnya Lusiana minum obat.
Pake lupa bawa obat segala lo, Na, batin Gesang.
"Gue anterin Lusiana balik dulu. Biar nanti gue jemput lo lagi, pulang kayak biasa kan?"
Rania menggelengkan kepalanya. Gadis itu melirik sekilas Lusiana yang masih senantiasa berdiri di ambang pintu dengan lengan yang terlipat.
"Gue nanti pulang dijemput tante," tukas Rania.
"Ran," sahut Gesang.
"Anterin aja dulu. Gue nggak pa-pa, santai."
Gesang kembali menghela napas panjang dan menganggukkan kepalanya. Gesang membenarkan letak tasnya di bahu kiri, berjalan dengan langkah pasti mendekat ke arah Lusiana. Saat-saat seperti inilah yang Gesang tidak sukai.
"Kamu kenapa? Cemburu ya?" tanya Zeya.