Senyum tipis Rania terukir saat melihat Gesang sedang tertawa bersama kedua sahabatnya, Lusiana, dan Gea. Namun, lagi-lagi Rania tidak melihat adanya Vita.
"Samperin sana," suruh Zeya saat memergoki Rania terus melihat ke arah pinggir lapangan di mana tempat Gesang berada sekarang.
"Apasih?" balas Rania menutupi rasa malunya.
Zeya tersenyum geli, "nggak usah pura-pura nggak tau, Rania. Aku paham kok."
Rania mengendikkan bahunya dan melenggang pergi, meninggalkan Zeya yang masih diam di tempatnya berdiri.
"Zeya, tunggu!"
Zeya mengurungkan niatnya untuk mengejar Rania, saat mendengar suara seseorang menyerukan namanya. Zeya menolehkan kepalanya, mendapati wajah Diko yang terlihat tenang.
"Kak Diko, kenapa?"
Diko menoleh ke arah sahabat-sahabatnya sebentar lalu menggapai lengan Zeya. Sedangkan Zeya yang terkejut pun refleks menghempaskan tangan Diko.
"Eh, sori-sori, Zey."
"Nggak pa-pa, Kak," balas Zeya sembari merapikan jilbab yang ia kenakan. "Ada yang mau dibicarain?" tanyanya melihat Diko yang masih saja diam.
Zeya menatap mata Diko ragu-ragu. Tidak pernah Zeya berani menatap mata laki-laki seperti ini sebelumnya. Tetapi, mata laki-laki di depannya ini sangat menggodanya. Tatapannya yang tajam dan teduh, membuatnya tergiur untuk mendongakkan kepala dan melihat, walaupun hanya sepersekian detik lamanya.
"Kak Diko," Zeya menggoyangkan tangannya di depan wajah Diko agar laki-laki itu tersadar dari lamunannya.
"Lo cantik."
"Hah?" Zeya semakin terkejut mendengar celetukan itu. Baru pertama kali ini Zeya dipuji oleh lawan jenis, selain ayah dan keluarganya yang lain.
"Eh, maksud gue lo ada waktu nggak? Gue mau ngobrol tentang Valleta," kata Diko mengalihkan perhatian Zeya. "Lo masih sering kontakan sama dia, kan? Lo masih sahabatan sama dia?"
Zeya mengangguk. "Iya, aku masih sering kontakan sama kak Valleta. Emm, kenapa ya, Kak?"
Diko menggelengkan kepalanya. "Gue mau ngobrol sama lo bisa? Kapan aja asal lo ada waktu," pungkasnya.
"Bisa Kak, tapi enggak sekarang. Kak Diko fokus ujian dulu," balas Zeya membuat Diko tersenyum tipis.
"Permisi, Kak, aku duluan." Zeya pamit pergi.
"Makasih ya, Zey!" Mendengar seruan dari Diko, Zeya berhenti sebentar dan menganggukkan kepala. Diko cukup terkesan dengan Zeya.
"Lo anak orang jangan lo baperin!" tegur Linggar sembari menoyor Diko.
"Siapa yang baperin? Gue cuma mau ngajakin dia ngobrol tentang Valleta. Emang nggak boleh?" sahut Diko.
"Ya nanti kalo dia baper, lo mau tanggung jawab?"
"Ngomong apa sih lo? Jauh banget mikirnya!"
Diko melenggang pergi setelah Linggar menghampirinya dan menyeletuk seperti tadi. Diko masih memiliki perasaan dengan Valleta, tidak mungkin mau bermain-main dengan perasaan orang lain. Lagipula, Zeya itu sahabat Valleta, tidak mungkin Diko menyakiti perasaan sahabat dari perempuan yang sangat dia sayangi.
>><<<