Aku di mana?" derasnya hujan membasahi bumi Pertiwi dengan diikatnya panca dan dharma di tiang bambu licin yang terbalut rasa penyesalan korban terdahulu. Di bawahnya dipenuhi puluhan suluh untuk membakar secara hidup-hidup mereka.
Gelagar suara bersorak serai gembira, hasil tangkapan mereka utuh terbelit di tiang bambu yang terlumuri kekecewaan dan juga darah kering penuh rasa kelaparan. Gulungan asap membara menutupi semarak angkasa di kala hujan mulai berhenti menurunkan sedikit Rahmat dan merangkul jiwa-jiwa suci yang tengah terikat. Percikan api dikobarkan, hawa panas mengintari raga dharma dan panca. Setetes demi setetes air mata keduanya jatuh tak terhentikan. Mengguyur semua harapan yang seolah sirna terbawa angin dingin membekukan aliran listrik di otak dan juga senantiasa masuk ke dalam Sukma.
Sengatan matahari memberikan suatu proses penghangatan tapi tak' akan pernah mendahului malam. Sande kala memposisikan acuan waktu ritual yang akan mereka rayakan. Seruan tari menyokong perayaan meriah. Yel-yel dikumandangkan atas ucap syukur mereka telah mendapatkan sasaran yang telah dinantikan.
"Tangis panca memuncak kala itu," seorang bocah jauh diseusianya mendapatkan pengalaman buruk tentang hidup meratapi takdir yang di luar nalar umurnya. Dharma bergumam pasrah dan hanya tertunduk murung ketika hidupnya akan berakhir malam ini. Walau tidak dipungkiri ia juga berderai air mata sejak awal bangkit dari pingsannya.
Kegemparan tiada akhir ketika kakak beradik mulai merasakan sakit di area pergelangan pasalnya ikatan keras dari rotan memutar dan menghentikan peredaran darah mereka. Seperti seekor ular sanca yang berupaya melilit mangsa.
Salah seorang pemimpin kelompok mulai berteriak kencang meminta semua anggotanya melingkar mengintari daging segar yang akan mereka makan nantinya.
"Rakumam takhu. Rakihing raksu." Ucapan mantra pembukaan upacara di mulai yang dilantunkan ketua kanibal. Dibarengi sikap sepasang tangan yang sejajar vertikal dengan cakrawala.
"Kita tamat dek," kata terakhir dharma untuk adiknya yang meringkus senyuman ikhlas penuh penyerahan. Belum Pernah panca melihat senyuman kakaknya seaneh ini, lantas ia yang umurnya di bawah panca seharusnya lebih panik dan pasrah malah berbalik memarahi kakaknya dengan nada keras. "AYA HIJI MANGSA SIA KUDU AJEG. CICING CILAKA MUNDUR NARAKA."
Lantas dharma mengkerut jidatnya, terdayuh menyangka bahwa adiknya bisa bersemangat seperti ini sekaligus merasa aneh dan terjengkal dengan pernyataan panca. Serentak mata panca berubah putih seutuhnya, tak ada bola mata yang hitam di antar kelopak matanya. Timbul urat-urat dan saraf yang memaksa keluar menggeliat seperti cacing yang baru naik ke permukaan tanah dari keningnya, terus-menerus memandangi wajah dharma sendari tadi tatkala ia terus saja tertunduk pasrah. Seperti ada sesuatu hal yang terselip dalam pernyataan tadi. Namun sepertinya dharma masih bergeming bingung dengan kejadian aneh barusan.
"Sutyana agimana katuro ritni," pemimpin melanjutkan membaca mantra sambil berjalan maju membawa obor ke arah dharma. Di setiap langkah itu membekas sebuah tapak kaki yang akan menjadi bukti sejarah terbakarnya dharma dan panca.