Gerbang Cahaya Tirtaasih

INeeTha
Chapter #1

Bab 1. Kembali ke Tirtaasih

Lapangan kosong itu remang. Lampu jalan di ujung hanya berkelip pelan, seolah enggan benar-benar menerangi.

Udara malam di Tirtaasih dingin, tapi bau tanah basah dan rumput akrab di hidung.

Tiba-tiba, cahaya putih menyembur ke langit. Tubuh tiga remaja jatuh menghantam tanah—keras, terengah, panik.

“Argh!” Jaya langsung mengaduh, tangannya meraba lututnya yang perih. “Apaan sih ini!?”

Bagas terbatuk-batuk, wajahnya pucat. “Kita… balik? Ini Tirtaasih, kan? Lapangan belakang sekolah…”

Aria masih terduduk, napasnya tidak beraturan. Ia menengadah, matanya melebar. “Astaga…” Suaranya nyaris berbisik. “Kita beneran balik.”

Cahaya di belakang mereka hilang seketika, meninggalkan kegelapan pekat. Sunyi. Hanya suara jangkrik dari rerumputan.

Aria buru-buru menoleh ke sekeliling. “Ratna? Ratna mana?”

Jaya spontan berdiri, matanya liar. “Ratna! Eh, Ratna! Jangan ngumpet dong, keluar! Jangan becanda, sumpah!”

Tak ada jawaban. Hanya desau angin menyibak dedaunan.

Bagas menghela napas panjang, keringat dingin mengalir di pelipis. “Tunggu. Tadi pas kita disedot cahaya… ada dia bareng kita, kan? Aku masih inget banget!”

“Ya jelas lah!” Jaya menunjuk ke tanah kosong di sampingnya. “Dia harusnya jatuh di sini, barengan sama kita. Tapi kosong, Gas! Kosong!”

Aria meremas ujung kausnya, suaranya gemetar. “Jangan-jangan… dia masih di sana…”

Hening mendadak menggantung. Tiga pasang mata saling bertemu, ketakutan sama terpancar.

“Eh, tapi…” Bagas mengangkat tangan, menunjuk jam di pergelangan. Jarumnya… berhenti. “Ini gimana? Jam aku berhenti.”

Jaya menatap jam dinding kecil yang ada di bangunan pos ronda dekat lapangan. Jarumnya juga sama: berhenti tepat di angka dua belas.

Lihat selengkapnya