GERBANG DUA SEMESTA

Adham T Fusama
Chapter #3

2: JIN PENGLARIS

Kamu dan teman-temanmu tiba di mal. Kamu senang keduanya sedang akur. Paling tidak, sampai level tertentu. Kamu mendengar ada debat-debat sedikit, tetapi kelakuan mereka lebih beradab. Mungkin, karena sedang berada di keramaian, mereka malu jika harus bertengkar jor-joran, atau khawatir ditegur satpam jika melakukannya.

Perdebatan mereka kali itu adalah tentang memilih tempat untuk makan. Jejen ingin makan di restoran Korea. Hans tidak terlalu tertarik. Namun sebalnya, ketika ditanya ia mau makan di mana, Hans cuma mengangkat bahu, tidak bisa memberikan alternatif lain.

Lagi-lagi, keduanya mengandalkanmu untuk membuat keputusan atau menentukan jalan tengah. Kamu bilang, kamu tak keberatan makan di restoran Korea. Sekali lagi, Jejen merasa girang dan puas karena keinginannya terpenuhi.

“Kebetulan gue tahu restoran yang enak di sini. Kalian cobain, deh. Gue jamin kalian nggak akan nyesel.”

Beberapa menit kemudian, kalian sampai di depan restoran yang Jejen sarankan. Itu adalah restoran all you can eat dengan harga terjangkau yang mengusung konsep open space and open kitchen. Restoran itu tidak ditutup dengan dinding kaca penuh, seperti halnya restoran lain, melainkan cuma dibatasi dengan pagar kaca setinggi pinggang orang dewasa. Dengan begitu, aroma masakan yang sedap dari dalam restoran bisa menguar bebas sampai ke luar, lalu hinggaplah mereka di hidung para pengunjung mal yang lapar. Taktik tersebut cukup berhasil sehingga restoran tersebut senantiasa penuh, bahkan ada waiting list-nya segala. Para calon tamu harus menunggu minimal lima belas menit sebelum bisa masuk ke dalam.

Jejen menghampiri pelayan di pintu untuk mendaftar antrean masuk. Selagi temanmu bercakap-cakap dengan pelayan, kamu menemukan sesuatu menarik perhatianmu. Kamu melihat ke arah dalam restoran, tepatnya ke meja saji pada bagian tengah restoran. Di meja itu, orang-orang bebas mengambil daging dan segala jenis lauk-pauk lainnya. Di situlah kamu melihat ada makhluk halus yang sedang merangkak-rangkak di atas meja.

Makhluk itu menyerupai manusia berbadan kurus tapi berperut buncit. Ia cuma mengenakan cawat sehingga kamu bisa melihat kulitnya yang pucat, peyot, dan bergelambir. Makhluk itu berkepala botak. Hanya ada sejumput rambut putih di sana. Tapi, berbeda dengan manusia, makhluk itu tidak memiliki mata. Ia justru punya mulut tambahan pada bagian tempat soket mata seharusnya berada. Dengan rakus, ia menjejalkan makanan di meja ke mulut utama, sekaligus dua mulut tambahannya. Anehnya, makanan di meja tidak ada yang berkurang, kecuali saat diambil oleh manusia.

Mulut-mulut makhluk itu tak berhenti bergerak, mengunyah, dan menganga lagi, seolah-olah ingin terus dipasok oleh makanan. Alhasil, ia senantiasa tampak kelaparan. Mulut-mulutnya mengeluarkan air liur yang terus menetes-netes ke makanan di meja. Lidah-lidahnya juga sesekali keluar, bersama geraman serta denguk-denguk kecil tanda ia masih ingin terus makan, makan, dan makan.

Kamu mual melihatnya, kontan kehilangan selera makan. Apalagi, kamu juga baru menyadari bahwa di kedua telapak tangan makhluk itu juga terdapat mulut. Jadi, ketika si makhluk meraup makanan dengan tangannya, setengah makanan yang ia ambil sudah keburu ditelan oleh mulut di tangannya, sehingga ketiga mulut di kepalanya hanya mendapat sedikit makanan yang tersisa di tangan. Itulah mengapa ketiga mulut di sana terus merengek meminta makanan. Kamu sudah cukup melihat. Kamu memanggil kedua temanmu dan meminta mereka untuk mencari restoran lain.

Jejen dan Hans kebingungan. Mereka bertanya kenapa.

“Nanti gue jelasin,” jawabmu. “Kita cari tempat makan yang lain aja, yuk.”

Kamu bersyukur mereka mau menurut kendati Jejen tampak kecewa sekali. Ia menghampiri pelayan untuk membatalkan reservasi, bilang kalau kalian sudah keburu lapar. Pelayan itu cuma tersenyum dan mengangguk maklum. Setelahnya, Jejen menyusul kamu dan Hans yang sudah berjalan untuk mencari tempat makan lain.

Lihat selengkapnya