Gerbang Ke Empat

Sena N. A.
Chapter #2

Lorong Kuantum 1

Sebuah kalender tahun 2023, dengan gambar utama foto sebuah keluarga besar pondok pesanten, tampak bergoyang lantaran tersenggol oleh seseorang yang baru saja bercanda bersama temannya. Seorang gadis yang tengah berdiri di tengah pintu, tampak memperhatikan pergerakan kalender tersebut. Setelah kalender tersebut berhenti bergerak, ia menoleh ke satu titik, tempat di mana seorang gadis sepantarannya tengah terdiam menghadap loker.

“Hai,” ucap gadis itu sembari meletakkan kopernya di sebuah lantai keramik berwarna abu-abu.

Tak ada balasan dari sosok yang ada di sampingnya, yaitu gadis dengan balutan pakaian muslim berwarna merah maron dikombinasikan dengan warna krem.

“Aku Nira, Nira Hasnah.”

Ruangan seluas 25 meter persegi itu terlihat ramai dengan para santriwati yang baru saja masuk ke Pesantren. Mereka tampak membereskan barang-barang yang mereka bawa. Lalu lalang para santri dan wali santri yang melewati pintu kayu berwarna abu-abu tua itu, tak berhenti sama sekali. Tangisan beberapa santri juga turut meramaikan hari perpisahan mereka bersama kedua orang tua mereka.

Satu sosok gadis berkulit putih tengah berdiri di depan sebuah loker bernomor 10. Tepat di depan lututnya berdiri sebuah koper berwarna biru tua beserta bantal yang berada di atasnya.

Sosok bernama Nira menyapanya, namun belum ada balasan.

“Mau aku bantu?” tanya Nira.

“Tidak …,” sahutnya setelah sekian purnama. “Namaku Adelia Dzikra Al Haq,” tambahnya tanpa menoleh.

Nira memutar tubuhnya 55 derajat, condong ke arah sosok yang ada di sampingnya. “Panggilan?”

“Adel,” jawabnya lirih.

Sebuah tangan terulur di depan Adel, “ayo kita jadi sahabat!”

Adel diam saja. Dia membuka pintu lokernya, lalu memasukkan barang-barangnya ke dalam loker.

***

Semburat para santri dari dalam masjid dan aula asrama membanjiri halaman pondok pesantren. Mereka berjalan beriringan menuju kelas mengaji di masing-masing tempat yang telah ditentukan. Setelah berjalan sejauh 4 meter, santriwati dengan balutan mukenah putih itu berhamburan ke berbagai arah.

Adel berjalan santai dengan diikuti Nira di belakangnya. Tinggi mereka hampir sama, hanya perawakannya saja yang berbeda. Jika Adel memiliki postur tubuh yang lumayan berisi, berbeda dengan Nira yang lebih kurus dari padanya. Jika dipandang lebih dekat, wajah Adel khas wanita Arab, mata lebar serta hidung mancung. Nira tidak jauh berbeda, dia juga memiliki jenis wajah yang sama dengan Adel, hanya saja bulu matanya tidak setebal milik Adel.

Nira mengamati langkah kaki Adel yang terlihat tak bersemangat. Wajah itu kemudian tampak tersenyum. Ia kemudian mensejajarkan posisinya dengan Adel dan mengajaknya berbicara.

“Ayo cepat, nanti kita terlambat!” ucap Nira sembari menarik tangan kiri Adel.

Adel tak punya pilihan selain mempercepat langkah kakinya, mengikuti pergerakan Nira yang lincah.

“Tempat mengaji kita ada di lantai dua, dekat dengan kamar kita. Jadi …,” ucapnya sembari mendekatkan bibirnya ke dekat telinga Adel. “Kalau kita mau bobok, bisa langsung ke kamar,” tambahnya dengan nada suara yang lebih rendah. Ia kemudian tertawa cekikikan sendiri.

Adel hanya menoleh ke arah Nira di tengah remang-remang halaman asrama seluas 15 x 12 meter tersebut. Cahaya lampu hanya berasal dari empat sudut halaman, serta lampu yang ada di teras asrama Al Qudus, sebuah asrama yang baru saja dibangun dan ditempati di tahun tersebut. Sedangkan bangunan lain tersebar di lahan seluas 3 hektar itu.

Pondok yang awalnya hanya memiliki 214 santri dengan 8 kamar, kini telah berevolusi. Kini ada sekitar 1.000 santri yang tersebar di berbagai lembaga formal dari tingkat SD sampai perguruan tinggi.

Semakin lama Adel dan Nira berjalan, Papan besi bertuliskan “Asrama Al Qudus” semakin terlihat jelas dari pandangan Adel dan Nira. Beberapa santri terlihat menaiki tangga asrama.

Genggaman tangan itu terlepas saat mereka hendak menapakkan kaki mereka di atas lantai asrama.

Lihat selengkapnya