Gerbang Kenang

Panji Yogasara
Chapter #2

Rumah pohon dan Bekal Ibu

“Sekarang Kinan ada dimana?” air matanya mengucur pelan tak mampu lagi ia sembunyikan bahkan di balik muka yang sama sekali tidak ada ekspresi.

“Besok akan kuajak ke sana, Bran. Ke Kinanmu.

###

18 Juli 2010, Pelosok indah Sulawesi Selatan.

“Aku menemukannya dikerumunan manusia.

Matanya berbinar seperti bintang paling terang bersembunyi di balik retinanya.

Aku membicarkannya tentang keindahan yang sama sekali tidak kubuat-buat.”

Gibran G. Biru, Juli 2010.

Gibran Gasara Biru, manusia muda yang kebetulan seorang pelajar, kini ia menginjak usia 18 tahun. Ia bersekolah di salah satu sekolah yang ada di bumi.

“Soalnya kalau sekolah di Pluto, ribet. Di sana tidak ada kantin sebaik kantin yang ada di belakang sekolah, Bar. tidak bisa mengutang intinya. Di Pluto kalau mengutang, mau bayar pakai apa? serpihan meteor? kan sulit harus mahatnya,” ucapnya dengan mulut yang masih mengunyah gorengan tahu.

“Iya juga ya, Bran. lebih enak di bumi, ramai, banyak manusianya." Tawa pun memecah seiring candaan yang keluar dari mulutnya masing-masing.

Panggil saja Gibran. Laki-laki tinggi dengan rambut yang tidak pernah tertata rapi. Bukan karena ia tidak memperhatikan penampilan atau dirinya sendiri, hanya saja Gibran sudah nyaman dengan apa yang ada pada dirinya. Tubuhnya terbilang tegap dengan tinggi yang kurang lebih 170 cm di atas permukaan bumi dan laut. Perawakannya yang terlihat antagonis ditambah lagi dengan matanya yang sayu. Namun percayalah, jika kau melihatnya tersenyum, kau akan merasakan coklat di dalamnya seiring lekuk sabit mekar di bibirnya itu. Iya, manis, mungkin.

Elektronika Audio-Video, itulah jurusan yang ia ambil dan pilih sendiri. Bukan karena disuruh ayahnya atau bahkan dipaksa ibunya. Dulu saat mengisi formulir, ia tidak tahu harus memilih jurusan apa yang sesuai dengan dirinya, bingung dan malas mencari tahu apa yang diminati dirinya. Dengan metode “cap cip cup” yang menurutnya paling tepat dan merasa diri paling hoki atas segala sesuatu, akhirnya Gibran sekarang menyematkan diri sebagai siswa tekhnik di salah satu sekolah yang ada di pelosok Sulawesi Selatan.

Setelah libur panjang kenaikan kelas berakhir, Gibran kembali bersekolah. Kini ia sudah beranjak dari kelas 1 ke kelas 2 SMK. Periode tengah, dimana tengah adalah hal yang rentan dengan kebimbangan, dilema, dan sebagainya, itupun kalau sebagainya ada.

Seragam putih abu-abu kini kembali membalut dirinya, memasukkan beberapa buku kosong ke dalam tas sekolah berwarna hitam dan tidak lupa buku kecil kesenangannya.

“Gibran, sarapan dulu,” sahut ibu dari ruang makan.

“Iya, bu.” Gibran mempererat kedua tali sepatunya lalu menuju ke meja makan.

Sudah ada ayahnya yang duduk diluan sembari membaca koran sore. Koran yang dilemparnya sore tapi baru dibaca saat pagi hari. Koran sore hampir kehilangan esensinya jika datang kerumahku, lebih tepatnya rumah ayah dan ibuku, tapi kudengar cerita dulu, ini rumah nenekku yang diberikan sebagai hadiah pernikahan ayah dan ibuku. Aduh, sebenarnya ini rumah siapa? sudah lupakan. Pikir Gibran setiap ayah membaca koran di ruang makan.

“Pagi, pak, bu.” Gibran menyapa keduanya bak mentari yang sedang cerah ceria pagi ini.

“Baca apa itu, pak?” Gibran menurunkan sedikit koran yang dibaca ayahnya dengan ujung telunjuknya.

“Ayahmu itu tidak membaca, dia itu cuma lihat gambar saja, Bran, coba saja tutup korannya terus tanyakan apa yang dibacanya tadi,” potong ibunya jahil.

Merasa tersinggung dengan perkataan barusan, sang ayah mengibas korannya keras dan menegakkan tubuhnya walau dalam keadaan duduk.

“Sudah, sudah. Mari makan,” kata ayahnya lalu menutup koran itu seketika. Gibran dan ibunya hanya bertatapan dan saling menahan tawa. Sambil menyantap sarapan sehat buatan ibu, Gibran melihat setumpuk perkakas dan alat bersih-bersih tergeletak di dekat pintu belakang.

“Habis ini ke ladang, pak, bu?”

“Iya, sekarang itu sudah mulai masuk musim hujan jadi sangat cocok untuk berkebun, apalagi bercocok tanam dengan ibumu.”

“Hah? Apa, pak?” tanya Gibran bingung. Sontak tangan sang istri mencubit lengan suaminya karena perkataan barusan.

Hush, sudah. Bapak ini.” kesal, tapi perempuan itu seperti menahan senyum yang ingin terlukis di wajahnya, manusia menyebutnya sebagai malu.

“Maksudnya bercocok tanam-tanaman di ladang dibantu ibumu biar cepat selesai.” Ayah menjelaskan maksudnya, walaupun sebenarnya Gibran tahu apa maksud kata yang sebenarnya.

Setelah menyantap hidangan sarapan, Gibran pun menyalami dan mengecup lembut punggung tangan ayah dan ibunya. Sudah menjadi rutinitas, sang ibu membuatkan bekal untuk Gibran dan sudah menjadi kewajiban bagi Gibran untuk memakannya sampai habis. Terlebih lagi, kotak makan itu tidak boleh hilang atau Gibran akan menemui kemurkaan ibunya.

Ia pun menyalakan mesin motornya dan memanaskan mesinnya sebentar. “Assalamualikum, Gibran berangkat.”

Lihat selengkapnya